Pesan Kehidupan

Inklusifisme

Peter F. Drucker mengatakan: The one-man top management job is a major reason why business fail to grow. (Satu orang di atas segalanya termasuk penyebab utama mengapa bisnis gagal bertumbuh). One man show, pemimpin tunggal, tokoh tunggal, bos tunggal, atau apapun istilahnya, bukanlah ide yang bagus untuk mengelola kelompok... kelompok apapun itu; bisnis, keagamaan, sosial, perkantoran, pertanian, dll.

Tidak ada manusia yang memiliki semua kelebihan, ada perencana yang baik, ada pemikir yang baik, ada eksekutor yang baik. Seorang manusia hanyalah satu dari sekian tipe. Masalah kelompok apapun, timbul ketika ada seorang manusia yang demikian mendominasi, memaksakan harus memakai caranya dan menyalahkan cara dan orang lain yang tidak sepertinya. Pemimpin adalah pengambil keputusan final, namun ia tidak boleh sendirian di puncak (lonely at the top), ia harus membuat dirinya dikelilingi orang² baik yang bersedia bekerja bersamanya.

Untuk itu, sangat penting bagi tiap manusia untuk menjadi inklusif (tidak eksklusif). Apa itu inklusif? Mudah diakses, mudah dihubungi, tidak membuat orang segan, tidak suka memerintah. Bagaimana mudah diakses? Tidak pemarah, tidak memaksakan pendapat. Bagaimana mudah dihubungi? Cepat membaca WhatsApp, handphone di-standby-kan. Bagaimana tidak membuat orang segan? Jangan bermegah-megahan. Bagaimana tidak memerintah? Buat kesepakatan, ajak orang berpikir, jangan menjadi pemberi instruksi tunggal. Dan lain-lain, dan lain-lain. Pelaksanaan dalam kesehariannya harus kita renungkan lebih jauh, dan kita lakukan, agar kita efektif!


WAG Diskusi AFAS, 17/3/21, 02:31

Jangan Melompat-lompat!

Di alam liar, musang sangat mendambakan untuk memakan landak. Namun, upaya musang tak pernah berhasil karena pertahanan kokoh sang landak. Akhirnya musang pun memutar otak untuk menangkap landak. Pikirannya melompat-lompat ke sana-sini! Fokusnya tidak jelas; cara sembunyi dari si landak, penyamaran yang tidak diketahui si landak, serangan kejutan untuk si landak.

Tapi tak satu pun yang berhasil menangkap si landak! Karena musang tidak mampu menembus pertahanan si landak; bulu-berdurinya! Sehingga tiap kali si musang menyergap, landak dengan santainya menggulung dirinya, sambil berkata dalam hati: "Mus.. mus... sang... sang... dari dulu sampai sekarang kamu nggak pernah belajar!"

Landak tidak mengetahui apapun kecuali 1 hal yang benar² penting: Cara agar tidak ditangkap musang. Musang, mengetahui segala hal kecuali 1 hal yang benar² penting: Cara menangkap landak. Sebenarnya kehidupan pun demikian. Dinamika-nya banyak, romantika-nya banyak, tapi substansi-nya sederhana, dan sering kali hanya 1 buah!

Apapun masalah yang kita hadapi, seringkali, akarnya sederhana dan penyelesaiannya sederhana. Namun, kerap kali kita gagal mendeteksinya. Mengapa? Pikiran yang melompat-lompat. Padahal sebenarnya, seringkali, bila kita fokus mengatasi yang benar² masalahnya, tidak melompat-lompat dalam berpikir dan berbicara, masalah itu selesai dengan cepat, baik, dan bahkan turut menyelesaikan masalah-masalah lainnya! Musang pikirannya melompat-lompat, landak fokus. Kita musang, atau landak?


WAG Diskusi AFAS, 15/3/21, 22:57

Biarkan Karya Bicara

Kehebatan seorang pelukis tampak dari lukisannya. Kehebatan seorang musisi tampak dari kemampuan musiknya. Kehebatan seorang penyair tampak dari syair gubahannya. Kehebatan seorang petani tampak dari kualitas padinya. Kehebatan seorang pemain bola tampak dari performanya di lapangan.

Kehebatan seorang pemimpin tampak dari kinerja anakbuahnya. Kehebatan seorang orangtua tampak dari kualitas anak²nya. Kehebatan seorang Nabi tampak dari kualitas umatnya. Kehebatan Sang Tuhan Semesta Alam tampak dari alam semesta ciptaannya.

Tak usah banyak bicara... perbanyak berkarya... biarkan karya bicara...

Tidak perlu menuntut pengakuan ataupun kepercayaan dari orang lain, biarkan karya bicara. Tidak perlu meminta dukungan dan sokongan, biarkan karya bicara. Ketika karya berbicara, orang terdiam, memahami, dan akhirnya mengakui. Tidak perlu klarifikasi, cukup berkarya sebanyak-banyaknya. Walaupun orang tak tau, biarlah! Walaupun orang tak mengakui, biarlah! Yang penting Allah ta'ala tau kita berkarya untukNya... 🙂


WAG Diskusi AFAS, 12/3/21, 22:42

Atasnama Tersakiti

Betapa banyak, manusia yang menjadikan tersakiti, terzalimi, terhinakan, sebagai alasan untuk menjadi jahat dan tidak bersyukur. Sampai populer sebuah jargon: Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti. Sebenarnya, kalau memang demikian adanya, agama Islam tak akan menyebar. Rasulullah saw adalah sosok yang paling disakiti, paling dihina, paling dizalimi, namun itu tak menjadikan alasan setitikpun bagi beliau untuk tidak bersyukur, tidak mengasihi, tidak baik, apalagi menyerah!

Mari kita sederhanakan saja, bila kita masih menjadikan disakiti, dikecewakan, dizalimi, dihina, dicaci, diperlakukan tidak adil sebagai alasan untuk menjadi jahat, tidak bersyukur dan uring-uringan, itu hanyalah tanda kita masih sombong; belum meneladani Rasulullah saw sepenuhnya. Selalu dikatakan bahwa hidup adalah 90% tentang bagaimana kita merespon, sedangkan 10% hanya tentang apa yang terjadi pada kita. Manusia adalah makhluk yang bisa memilih; respon baik atau jahat, respon syukur atau mengeluh. Sedangkan hewan dan tumbuhan adalah makhluk yang tidak bisa/sangat sulit memilih, karena mereka tidak dikaruniai akal.


WAG Diskusi AFAS, 10/3/21, 12:47

Kebijaksanaan Anak Kecil

Dari Abi Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari Muslim).

Setiap anak kecil itu fitrah. Setiap anak kecil itu bijaksana. Setiap anak kecil itu benar. Setiap anak kecil itu baik. Bahkan sangat mungkin pada hakikatnya setiap anak kecil itu beriman; mempercayai sosok Tuhan, keberadaan akhirat, keberadaan yang ghaib, dst. Sederhananya, bisa disimpulkan bahwa keimanan, kebijaksanaan, kebenaran, kebaikan itu "birth-given" atau "bawaan lahir" atau "bawaan tiap manusia."

Hanya... ketika kita mulai dewasa, lingkungan kita menjadikan kita "sesat." Sesat di sini tidak hanya terbatas pada pindah kepercayaan/keluar dari agama Islam. Sesat di sini bermaksud, kita tak lagi bijaksana, kita tak lagi baik, kita tak lagi benar, kita tak lagi percaya ketulusan, kita percaya konspirasi, kita meragukan ke-Maha Baik-an bahkan keberadaan Tuhan! Kita semua adalah korban lingkungan; kita berhenti mempercayai segala keajaiban dan menjadi sosok yang mengerikan dan menjijikkan, dan lebih menyeramkannya lagi, kita tularkan kerusakan berpikir kita kepada anak² dan kaum² muda lainnya!

Renungan menarik yang saya ingin angkat ialah: Jika kita bingung dalam mengambil sebuah keputusan, atau dalam memandang sesuatu, renungkan: Jika anak kecil yang masih polos berada di posisiku, apa yang dia pikirkan/putuskan/lakukan? Itu akan sangat membantu kita menjernihkan segala kebingungan. Bukan berarti kita memutuskan bulat-bulat/utuh dari cara berpikir anak kecil yang tidak matang. Namun, anak² kecil yang masih lugu, polos itu... mereka adalah guru-guru kehidupan! Kita harus selalu mempertimbangkan cara berpikir mereka, karena seringkali, mereka melihat dunia secara lebih jernih, daripada kita-kita yang sudah terkontaminasi dan dirusak oleh dunia dan gagasan-gagasan busuk yang beredar di dalamnya... 🙂


WAG Diskusi AFAS, 10/3/21, 01:48

Keheningan

Jalaluddin Rumi: "Silence is the language of God, all else is poor translation" (Keheningan adalah bahasa Tuhan, segala sesuatu selain darinya hanyalah terjemahan yang tak sempurna).

Baru-baru ini saya melihat sebuah video di youtube, tentang kemungkinan adanya dimensi yang lebih tinggi dari dimensi kita saat ini. Seorang profesor fisika memberi perumpamaan: Ikan di kolam tak nampak dunia manusia, dunia yang ia ketahui hanyalah dunia air; dengan sesama ikan, tumbuhan airnya, dst. Mari berkhayal, tiba² suatu hari si ikan digenggam oleh seseorang, dan si ikan dikembalikan lagi ke air, kira² apa yang si ikan ceritakan pada teman²nya sesama ikan?

"Teman-teman! Tadi saya dinaikkan! Saya dinaikkan oleh seseorang yang sangat besar! Ada dunia di atas sana! Ada hewan lain selain kita! Ada banyak tumbuhan lain selain di sini! Dunia atas selalu menaungi kita! Percayalah!" Lalu apa jawaban ikan lainnya? "Engkau gila!" "Oke, coba sekarang terbang lagi ke atas!" "Engkau bernafas tanpa air saja tak bisa!" Intinya si ikan tak bisa dipercayai teman-temannya, karena itu beyond fish logic (di atas logika ikan). Mungkin agaknya, kira-kira demikianlah nuansa yang terjadi saat Rasulullah saw bercerita bagaimana beliau dimi'rajkan, tiada yang percaya, karena itu beyond human logic (di atas logika manusia), itu beyond physic (di atas fisika, itu adalah meta-fisika).

Konsekuensi dari keimanan adalah mempercayai segala berita ghaib, salah satunya adalah Isra' Mi'raj. Dikatakan dalam hadis, kira-kira bunyinya; bahwa salat adalah mi'raj-nya orang mukmin. Kita percaya, kita mengimaninya, dan sangat mungkin dalam skala tertentu, nuansa meta-fisika Rasulullah saw itu pun dapat kita rasakan, nuansa ikan "ketika dinaikkan ke atas" itu, bisa kita rasakan. Di sini lah kita perlu berlatih dan menyengaja masuk; ke dalam keheningan, bermujahadah, beribadah, bermunajat, berpuasa, berzikir, berdoa, bertaubat, salat, dst.

Orang bijak berkata, bila mata tak tertabir, hasilnya penglihatan. Bila telinga tak tersekat, hasilnya pendengaran. Bila hati tak terhalang, hasilnya kebijaksanaan. Lebih jauh lagi, bila mata, telinga dan hati tak tertabir, tersekat dan terhalang, mungkin hasilnya adalah ketakjuban pada Allah Swt dan KerajaanNya Yang Maha Megah. Surga sendiri, dalam bahasa arab disebut Jannah, yang memiliki akar kata yang sama dengan al-Jinn, sehingga Jannah dan Jinn punya 1 kesamaan kesan bahasa, yakni: Tersembunyi, tak kasat mata. Mungkin, bila kita masuk dalam keheningan, yang masih berada dalam koridor dan panduan syari'at Islam; segala keindahan, akan tersingkap, terhampir, terasa, membuai, memabukkan, menaungi, menyelimuti, membungkus, menyertai kita.

Adalah momentum yang tepat, memperingati Isra' Mi'raj, terlebih di bulan Rajab, menjelang memasuki Ramadan, kita menghening-bening-kan kalbu kita, untuk apa? Ya Ridha Allah saja. Tidak perlu cari-cari selainnya. Karena sisanya, hanya karunia Allah ta'ala, terserah Dia. Kadangkala kita saja yang tak merasakan karuniaNya, padahal karuniaNya selalu menaungi kita, terlebih ke atas orang² yang selalu berusaha bermujahadah kepadaNya dan menggapai ridhaNya. Wallahua'lam... 🙂


WAG Diskusi AFAS, 9/3/21, 01:15

A Beautiful Mind

Judul tulisan ini sama dengan judul sebuah film yang berjudul sama, namun tidak berhubungan langsung dengan film tersebut. Yang ingin saya ceritakan ialah dari sekian banyak gagasan, konsep dan informasi yang tersaji di dunia ini, secara umum informasi itu hanya 2: 1. Positif, 2. Negatif. Yang positif adalah segala gagasan/konsep yang membangun kesyukuran, semangat, harapan, optimisme, keindahan. Adapun yang negatif adalah segala gagasan/konsep yang membangun keluhan, putus asa, kemurungan, pesimisme, kebusukan.

Demikian pula carrier (pembawa) gagasan, berupa manusia, film, bacaan, dan lain-lain, sebenarnya hanya terbagi 2: Yang indah/positif dan yang buruk/negatif. Ada teman² yang suka membangun harapan, ada teman² yang suka mematahkan harapan. Ada buku² yang suka membangun semangat, ada pula buku² yang menawarkan konspirasi yang berujung waswas tak berujung. Ada film² yang membangun kesyukuran, ada pula film² yang membangun kegelisahan.

Dan seringkali, orang yang positif, buku yang optimis, film yang membangun, justru tak dipandang di masyarakat modern, karena mereka dianggap kuno, tidak masuk akal, tidak sesuai realita, dst. Sejujurnya, saya secara pribadi beranggapan: Lebih baik menonton film kartun anak-anak yang membangun kesyukuran, daripada menonton film orangtua yang membangun prasangka buruk. Bagi saya, lebih baik dianggap tidak dewasa karena penuh optimisme dan kesyukuran, daripada dianggap dewasa karena kedahsyatan prasangka dan teori² konspirasinya.

Kesimpulan: Milikilah "A Beautiful Mind", milikilah "Pikiran Yang Indah", atau "Hati Yang Indah", atau "Jiwa Yang Indah", itu lebih memungkinkan kita mendekati Tuhan. Bukan kah Tuhan itu Maha Indah?


WAG Diskusi AFAS, 7/3/21, 23:26

Bekal Akhirat

Apa bekal akhirat? Salat, puasa, zikir, tahajjud, haji, dhuha, dst. Jawaban begitu cepatnya mengalir. Mengapa? Karena memang sudah demikian trend-nya. Bekal akhirat, ya, semua tadi itu! Saya setuju, 100% setuju dengan semua tadi itu. Namun, agaknya, bekal akhirat yang paling mendasar, yang paling utama, paling pertama, dan mungkin paling inti adalah; tau mengapa ia harus di dunia. Mengapa? Bagaimana mungkin orang berada di asrama haji, di pusat karantina (quarantine center), bila ia tak tau untuk apa dia di situ? Tanpa pengetahuan yang jelas untuk apa dia di situ, dia akan menjalani kehidupan di asrama haji dengan bermain-main saja.

Sering orang menasihatinya, "Belajar melempar jumrah! Belajar sa'i!" Nasehat² itu berlalu saja baginya. Ia pun ikut²an, tanpa menghayati segala praktek² tadi, dan tentunya melupakannya. Namun coba disadarkan padanya, kamu di sini untuk persiapan haji! Kamu di sini belajar berhaji! Begitu manusia sadar, manusia tak perlu lagi dinasihati, bahkan ia menciptakan nasihat dan rutinitasnya sendiri; ia belajar sa'i, ia belajar melempae jumrah, dan tiba² ia juga sudah menjadi guru berhaji. Demikianlah kita hidup di dunia ini selalu dalam keadaan tidak sadar tujuan keberadaan, kita lahir dengan tak menyadari misi, menikah dalam keadaan tak sadar misi, mempunyai anak dalam keadaan tak sadar misi, bekerja dalam keadaan tak sadar misi, menjalani rutinitas dalam keadaan tak sadar misi, dan nantinya mati dalam keadaan tak sadar misi!

Ya... kita semua tertidur, itu lah masalahnya. Kita tidak sadar apa tujuan keberadaan kita. Tak juga sadar misi kita. Padahal QS. 51: 56 telah diulang-ulang, bahwa tujuan diciptakannya jin dan manusia hanya untuk beribadah, namun kita juga tidak pernah menyadarinya! Kita larut dalam tips-tips, trend-trend, terbawa-bawa arus. Padahal, jika kita sungguh mengerti, sungguh sadar, sungguh bangun, sungguh paham akan tujuan keberadaan itu, kita lah yang akan menciptakan arus, dan manusia akan berbondong-bondong mengikuti kita! Poinnya sekali lagi, hanya dengan menyadari secara penuh; tujuan keberadaan kita di dunia, kita akan memperoleh kehidupan yang bermakna, dan pandai mencari bekal akhirat kita! Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS, 4/3/21, 15:52

Memaksakan VS Menunjukkan

Hak kita adalah menunjukkan, hak orang lain adalah memutuskan. Kewajiban kita adalah menunjukkan, hak orang lain adalah memutuskan. Menasihati adalah menunjukkan, keputusannya di tangan orang lain. Berdakwah adalah tentang menunjukkan, hati pendengarnya yang memutuskan.

Kekejaman dimulai ketika kita memaksa orang lain harus mengikuti isi dakwah kita, isi nasihat kita, isi pendapat kita. Dengan cara berpikir demikian, selamanya kita tak dapat bahagia, karena kita berusaha mengendalikan sesuatu yang selamanya tak mampu kita kendalikan; hati orang lain!

Di sini lah kita perlu menyadari dan menerima, kapasitas kita hanya menunjukkan, tapi hidayah ada di "Tangan Tuhan." Ketika kita menerimanya, justru di situ lah kedamaian sejati akan bermula, justru di situ lah nasihat² kita akan lebih mengena, justru di situ lah orang lebih mau mendengar kita.


Wallahua'lam... 🙂

WAG Diskusi AFAS, 4/3/21, 09:51

Sebuah Renungan Akhlak

Bila kita masih terganggu pada:

- Ketersinggungan orang lain

- Kemarahan orang lain

- Ketidakbahagiaan orang lain

- Kesombongan orang lain

- Akhlak buruk orang lain


Hanyalah tanda bahwa kita masih:

- Tersinggungan

- Marah

- Tidak bahagia

- Sombong

- Berakhlak buruk


☆ Mengapa ada orang yang tersinggungan, marah, tidak bahagia, sombong, berakhlak buruk, tidak sepatutnya ia demikian! Dalam hati kita

☆ Kita menyangka kesombongan kita adalah kebenaran

☆ Atasnama kebenaran tadi, kita terganggu, tersinggung, memarahi dan memaksa orang lain menjadi seperti yang kita inginkan

☆ Jangan-jangan kita hanya terusik; hanya akulah yang boleh tersinggung, marah, tidak bahagia, sombong dan berakhlak buruk! Tolong kamu jangan ikut²an hak eksklusif saya! Mungkin sebenarnya itu yang ingin kita katakan


Wallahua'lam


WAG Diskusi AFAS, 4/3/21, 09:27


Catatan-catatan dan renungan-renungan tentang Kesyukuran

1. Pernah dalam sebuah kelas, saya bertanya pada sekelompok perempuan yang sudah berumahtangga, yang kebetulan saya kenal juga dengan suami²nya, saya tanyakan; suami seperti apa yang anda harapkan?

- Tegas

- Tidak bertele-tele

- Ada yang bilang penyabar

- Lembut

- Intinya: Yang tidak seperti suaminya!

- Istri yang suaminya lembut mengharapkan suaminya tegas. Istri yang suaminya tegas mengharapkan suaminya lembut. Intinya mereka mengharapkan suami yang bukan seperti suaminya. Mengharapkan situasi seperti bukan yang sedang dia alami.


2. Seringkali kita dalam hal lainnya, melakukan hal yang sama.

- Dalam berkantor, kita berharap kantor sekarang seperti kantor yang dulu

- Saat bekerja, kita mengharapkan berlibur

- Saat liburan, kita mengharapkan bekerja

- Saat sibuk, kita mengharapkan lapang

- Saat lapang, kita mengharapkan sibuk

- Saat berada di masa kini, kita berharap berada di masa lalu

- Padahal, di masa lalu pun kita berharap berada di masa yang lebih lalu lagi!


3. Mengapa kita seringkali mengharapkan berada di situasi yang berbeda? Sebenarnya apa masalahnya?

- Masalahnya hanya 2: Tidak bersyukur dan sombong


4. Kita seringkali gagal melihat betapa situasi yang terjadi pada kita, adalah kurnia Tuhan!

- Untuk memahami hal ini, coba berlatih menuliskan 10 hal yang baik setiap harinya

- Diperkirakan, pada awal² kita akan kesulitan karena terlalu sering tidak bersyukur

- Saran: Coba masukkan juga keadaan baik di sekitar kita sebagai hal² yang disyukuri

- Contoh: Kita bersyukur karena teman sekantor kita memiliki hubungan yang membaik dengan orangtuanya, kita bersyukur karena rumah tetangga kita semakin bersih, ataupun kita bersyukur karena kucing yang sering mampir di rumah kita gemuk dan sehat

- Saat terbiasa melakukannya, kita akan terkejut karena ternyata kita hidup dikelilingi keajaiban

- Insya Allah, dengan berlatih melakukan yang demikian, kita akan mencintai dan mensyukuri keberadaan kita saat ini


5. Mengapa sombong? Karena kita memfokuskan hati, pendengaran dan penglihatan kita pada kekurangan, pada ketidaksempurnaan dan mengabaikan segala kurnia lainnya!

- Mata lalat hanya menuju kotoran, ia tak mengapresiasi taman bunga bila tiada kotoran!

- Dan lalat pasti menemukan kotoran, pada tempat yang betapa indahnya pun!

- Lalu sang lalat pun berkata; "di sini jorok, di sini kotor, padahal banyak bunga tetap aja kotor!"

- Mari renungi, jangan² kita lah lalat itu

- Ada sebuah ungkapan: "Ketika seseorang mengeluhkan hidupnya/bersedih atas hidupnya, maka seolah-olah ia sedang memarahi Tuhan Yang Maha Pengasih yang memberikannya hidup"

- Mari kita renungkan, jangan² kita adalah orang yang suka memarahi Tuhan, na'udzubillah


WAG Diskusi AFAS, 3/3/21, 23:53

Maha Misterius

Dunia keagamaan, tidak lepas dari mistisisme (mysticism), karena memang agama tegak dari keimanan pada yang gaib yang bersifat misterius, mistis, dan dasar dari semua rukun iman agama manapun adalah percaya pada Tuhan Yang Maha Gaib, yang berarti Maha Misterius, Maha Mistis, Maha Tak Diketahui, Maha Rahasia, Maha Batin. Berbagai kelompok mistikus agama, kalau dalam Islam, para sufi misalnya, tentu saja mendalami aspek-aspek ini.

Sebagai muslim, sebenarnya, semakin kita mendalami spiritualitas agama, sebenarnya kita akan semakin mengerti bahwa kita tidak mengerti spiritualitas. Rasanya, semakin kita bertuhan, rasanya justru kita semakin kerdil. Seakan-akan, semakin kita berusaha mengenalNya, semakin kita tidak memahamiNya, semakin kita berusaha mendekat kepadaNya, semakin kita takut padaNya, semakin kita tak berkutik di hadapan Ke-Maha-Agung-an dan Ke-Maha-Misterius-an-nya yang Maha Akbar, yang akhirnya meninggalkan kita hanya dengan kata-kata; "laa hawla wa laa quwwata illa billah" (tiada daya dan kuasa-ku, melainkan semuanya hanya milik Allah), setidak-tidaknya, itulah yang saya rasakan... 🙂

Mungkin, memang begitulah kehendak Tuhan itu; selamanya Dia menghendaki kita hambaNya yang tak tau apa-apa, dan selamanya Dia lah Yang Maha Segalanya. "Tapi, semakin jauh ku mencari, cinta, semakin aku tak mengerti," lirik lagu Arjuna oleh Dewa 19. Bayangkan, cinta yang urusan hati saja sudah misterius, apatah lagi Tuhan Yang Maha Misterius. Sudah lah, laa hawla wa laa quwwata illa billah itu sudah cukup, dan cukupkanlah pencarian hanya pada ridha Allah, bukan yang lain.


WAG Diskusi AFAS, 2/3/21, 10:48

Setia Kebenaran

Dalam wawancaranya, almarhum Artidjo Alkostar mengungkapkan kira-kira sebagai berikut: Substansi hukum adalah keadilan. Letak keadilan di dalam hati. Keadilan dalam hati dihidupkan dengan cara melembutkan hati. Makanya almarhum sebagai pengajar, menganjurkan mahasiswanya membaca buku² novel dan puisi! Untuk melembutkan hati. Abu adalah penggemar berat buku bertema-tema kelembutan hati; dalam daftar buku beliau, serial buku Chicken Soup For The Soul selalu memenuhi lemari-lemari.

Poin terpentingnya adalah; ternyata keadilan, kejujuran, transparansi dan kesetiaan pada kebenaran adalah sebuah rasa, yang terbit dari hati yang lunak, lembut, tenang. Sebaliknya, segala kesetiaan buta pada persahabatan, kelompok, keluarga, ras, klan yang membawa pelanggaran aturan, sejatinya terbit dari hati yang keras, labil dan kusut. Sangat penting bagi kita, untuk selalu melembutkan hati kita, sehingga kejujuran, keadilan dan kesetiaan pada kebenaran selalu bersemi dalam hati kita; yang mengantar kita menjadi insan berhati lembut, namun tegas dalam pendirian, setia pada kebenaran, dan tidak berkompromi dalam nilai-nilai kebenaran.


WAG Diskusi AFAS, 2/3/21, 01:04

Percaya; Penawar Kecemasan

Dalam buku Speed Of Trust, disampaikan sebuah teori bahwa semakin tinggi kepercayaan beredar di suatu organisasi semakin tinggi pula produktifitas dan semakin rendah pula pengeluaran keuangan. Sebaliknya, rendahnya kepercayaan berdampak pada rendahnya produktifitas dan tingginya pengeluaran keuangan. Betapa banyak pemimpin, bos, atasan di seluruh dunia yang memiliki kepercayaan yang rendah kepada bawahannya; biasanya hadir dalam bentuk mencampuri segala urusan teknis, ikutserta mengawasi segala kerja anakbuah, tidak menghidupkan SOP dan aturan, yang akhirnya akan menjadikan sang pemimpin cemas, stress, dan tak jarang menjadi sakit-sakitan. Sebenarnya solusinya sangat sederhana, buat SOP yang wajar, tegakkan, delegasikan hal² yang bisa didelegasikan, dan percayakan.

Seringkali, orang kehilangan kepercayaan kepada orang lain setelah dikhianati; uangnya dicuri, atau mungkin ditinggalkan tanpa penjelasan oleh orang yang amat dicintainya. Tidak sedikit orang yang memilih sikap tak mau lagi percaya pada orang lain; pada anakbuah, atau pada siapapun. Yang akhirnya itu menjadikannya letih, sakit²an dan selalu cemas. Banyak "what ifs" (bagaimana jika) hadir di benaknya: Bagaimana jika aku ditipu, bagaimana jika aku ditinggalkan, bagaimana jika pekerjaan tidak selesai, dst. Dan tak jarang pula, cara berpikir ini dibawakan sebagai orangtua; mengendalikan penuh hidup anak²nya.

Lagi-lagi, solusinya sederhana; setelah membuat antisipasi-antisipasi, percayakan saja. Ada yang mengatakan bahwa; lebih baik percaya orang kemudian ditipu daripada tak pernah percaya pada orang sama sekali. Orang yang memilih tak mempercayai orang lain sama sekali, akan hidup sendirian, terpencil, dan mengalami what ifs tak bertepi, kecemasan tak bertepi. Konsep yang sama berlaku juga dalam percaya pada rukun Iman... Sebenarnya seluruh isi rukun Iman itu adalah penawar kecemasan... Sering kita tertanya-tanya, bagaimana masa depanku, bagaimana jika aku meninggal, dll dst. Jawabannya sederhana saja: Dalam hal apapun, baik urusan dunia ataupun urusan akhirat, setelah dilakukan segala antisipasi; lepaskanlah, serahkanlah semuanya pada Tuhan Yang Maha Pengasih. Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS, 1/3/21, 22:55

"Sungguh-sungguh Menginginkan"

Pengarang Novel The Alchemist, Paulo Coelho berujar kira-kira, "When you truly want something, the universe will conspire to make it happen" (Ketika engkau sungguh² menginginkan sesuatu, alam semesta akan menolongmu mewujudkan/mencapainya). Kedengarannya indah sekali, tapi benar kah pernyataan tersebut? Dalam buku The Answer, Allan & Barbara Pease memaparkan hasil penelitian tentang cara kerja otak (mirip dengan konsep Visualisasi dan law of attraction-nya The Secret). Ketika kita sungguh² menginginkan sesuatu, otak kita akan memberikan fokus pada tujuan yang kita inginkan dan memerintahkan panca indera untuk berfokus kepada segala sesuatu yang berkaitan dengan tujuan kita. Misalnya kita sangat ingin ayam goreng KFC, entah kenapa tiba² kita akan sering mendengar, melihat segala sesuatu yang berkaitan dengan ayam goreng KFC. Entah kenapa kita melihat ayam goreng lainnya, mendengar tetangga kita membicarakannya, melihat iklan ayam goreng di televisi ataupun si youtube. Itu yang terjadi ketika kita sungguh menginginkan sesuatu.

Sebaliknya, apa yang terjadi ketika sungguh takut/tak menginginkan/membenci/mencemaskan sesuatu? Otak akan berfokus kepada segala potensi ancaman yang mirip dengan objek yang kita hindari. Misalnya kita baru nonton film Kuntilanak, kita langsung ketakutan akan kuntilanak. Dan otak akan memberikan antisipasi demi antisipasi; malam hari tiba² kita lihat rambut perempuan di pohon! Oh.. rupanya sapu. Lalu tiba² ada sekelebat jubah putih! Oh... rupanya tirai/langsir. Lalu tiba² ada suara perempuan tertawa tengah malam! Oh... rupanya teman kita yang ketawanya mirip hantu... 😃 demikianlah akibat dari berfokus menjauhi sesuatu, otak akan memberikan input antisipatif yang berkaitan dengan objek ketakutan/kecemasan kita. Itulah sebabnya ketika sebagian orang yang pernah ditipu, akan menaruh curiga berat pada semua orang, dan dalam level tertentu menjadi paranoid, curiga seakan-akan orang mau menipunya! Padahal seringkali itu semua terjadi dalam pikirannya saja...

Sekarang... bagaimana bila kita sungguh² menginginkan Tuhan sebagaimana doa kita Ilahi anta maqsudi waridhaka matlubi? (Ya Tuhanku hanya Engkau yang kumaksud dan hanya ridhaMu yang kutuntut). Dengan sendirinya kita akan terfokus, menarik dan tertarik pada segala hal yang mendatangkan Tuhan dan ridhaNya, tiba² kita akan dijumpakan dengan sahabat yang mendekatkan pada Tuhan, jodoh yang mendekatkan pada Tuhan, pekerjaan yang mendekatkan pada Tuhan, amalan yang mendekatkan pada Tuhan, ilmu yang mendekatkan pada Tuhan, dan jalan yang mendekatkan pada Tuhan. Sebagaimana dalam bahasa inggris "Good" (baik) dan "God" (Tuhan) memiliki kesamaan kata, demikian pula lah agaknya, bila kita sungguh inginkan Tuhan; tiba² kita akan ditarik/menarik segala bentuk kebaikan, dan dengan izin dan kemurahanNya, akan sampai pula pada Tuhan itu sendiri beserta keridhaanNya. Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS, 27/2/21, 13:34

Cepat Berkembang

Ada 2 jenis manusia, 1. Manusia yang memiliki pengalaman misalnya 10 tahun bekerja, 2. Manusia yang memiliki pengalaman 1 tahun bekerja yang diulang sebanyak 10x. Manusia 1 adalah manusia efektif, berkembang, dan biasanya sukses. Manusia 2 adalah manusia yang tidak pernah berkembang. Apa faktor pembedanya? Mendengar. Manusia 1 adalah manusia yang mau mendengar, menerima pendapat orang lain.

Apakah kita lebih banyak mendengar, atau lebih banyak berbicara? Untuk memeriksa apakah kita banyak mendengar, sederhana saja, tanyakan pertanyaan² ini pada diri:

- Bersedia kah saya dikritik?

- Bersedia kah saya masalah diselesaikan bukan dengan cara saya,

- Mau kah saya menerima pendapat orang lain?

- Mau kah saya menanyakan pertanyaan yang menunjukkan kebodohan saya?

Latih lah diri kita sedemikian bagus sehingga kita mengatakan "ya" untuk 4 pertanyaan di atas.

Manusia 1: Bekerja selama 10 tahun, memiliki pengalaman 10 tahun bekerja.

Manusia 2: Bekerja selama 10 tahun, memiliki pengalaman 1 tahun bekerja yang diulang 10x.

Nampaknya, ada juga manusia 3: Bekerja selama 1 tahun, memiliki pengalaman 10 tahun.

Ia sangat cepat berkembang! Rahasianya? Banyak mendengar.... banyak belajar.... dan biasanya dia rendah hati....


WAG Diskusi AFAS, 27/2/21, 09:19

Hukum Tanam-Tuai

"Kalau ada salah 1 dari 3 hal paling penting di dunia ini, salah satunya adalah memilih teman... yang kedua... hukum tanam tuai..." Tahun 2010 di mobil Livina merah Abu menyampaikan pada saya. "Yang ketiganya apa?" Saya tanya. "Entah lah, belum Papa pikirkan...😃" kata beliau... 😃 Dalam agama kristen lazim diangkat sebuah istilah "The Golden Rule" atau Aturan Emas, yakni, "Perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau inginkan." Kalau dalam agama Islam, banyak sekali hadis yang menyatakan demikian, misalnya sabda Nabi saw yang isinya kira-kira, "Demi Allah tidak beriman (diulang 3x), orang yang tetangganya tidak selamat dari kejahatan tangan dan lisannya."

Apa kaitan ini semua dengan tanam-tuai? Nasib kita adalah balasan dari perilaku kita pada orang lain... Bila kita senang memarahi orang lain, kita dijauhi orang atau bahkan dimarahi orang. Bila kita senang memberikan rasa hormat pada orang lain, kita akan dihormati. Persis sesuai QS. 99: 7-8. Masalahnya, terkadang yang menerima balasan perbuatan kita bukan hanya diri kita, menurut Abu istri kita, anak kita juga akan menerima balasan dari apa yang kita lakukan. Abu sering mencontohkan bagaimana aktivis demokrasi Filipina, Benigno Aquino Jr dibunuh oleh rezim diktatornya Ferdinand Marcos. Balasannya... Marcos digulingkan, kemudian istri Benigno Aquino Jr diangkat menjadi Presiden, dan kemudian anaknya pula diangkat menjadi Presiden...!

Maka, ingatlah selalu. Setiap orang yang kita sakiti adalah anak dari seseorang yang sangat menyayanginya. Sebagaimana kita menyakiti hati anak itu dan orangtuanya, suatu saat anak kita akan disakiti pula oleh orang lain dan kita pasti turut tersakiti! Karenanya, berhati-hatilah dalam berucap, dalam bertindak, sebab setiap kejahatan, walau kecil, yang kita arahkan pada tiap-tiap orang yang masuk dalam daftar kebencian kita, sangat mungkin suatu saat Tuhan akan hantamkan pula kepada orang yang sangat kita cintai, dan kita hanya bisa terdiam menyaksikan bagaimana orang yang kita cintai disakiti orang lain, semuanya karena hukum tanam-tuai... Maka, pastikanlah kita tidak menanam, mengucap, memberi apapun kecuali kebaikan, supaya orang-orang terkasih kita tidak tercederai oleh kejahatan yang kita lemparkan sendiri, yang kembali sebagai boomerang yang menyakiti kita dan orang yang kita kasihi. Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS, 27/2/21, 00:57

Kesenangan VS Kebahagiaan

Tidak pernah ada kajian khusus, apalagi kajian bahasa yang membedakan antara kesenangan dan kebahagiaan. Ini istilah yang saya kembangkan saja; kesenangan adalah segala bentuk sukaria, euforia, sifatnya tidak menetap dan biasanya cenderung bentuk pelarian. Biasanya datang dari hal² duniawi/materi/fisik seperti kuliner, gaya hidup mewah, suka dipuji, dalam bentuk yang lebih ekstremnya minuman keras, narkoba, petualangan seksual, dll. Ada pula kebahagiaan, yaitu segala bentuk sukacita, penerimaan, rasa syukur, keridhaan dan biasanya bersifat menetap/permanen. Biasanya datang dari aktivitas hati seperti berzikir, mengagungkan Tuhan, serahdiri, bersyukur, ridha, ikhlas, dll.

Dunia modern saat ini, cenderung mendorong kita untuk mencari kesenangan, bukan kebahagiaan. Perlombaan menuju yang paling kaya, paling ganteng, paling sukses, paling populer, paling berprestasi, paling bagus sekolah anaknya, paling besar rumahnya, paling mahal mobilnya, dll. Karena nilai² modern cenderung pada kesenangan materi, akhirnya banyak di antara penjunjungnya yang mengalami stress karena tak mampu mencapainya, dan memasuki dunia gelap; narkoba, alkohol dll. Sebenarnya diskotik, pub, kebanyakan (kalau bukan semuanya) berisi orang tak bahagia, yang mencari kebahagiaan di dalam kesenangan. Sayangnya, kesenangan materi tak mendatangkan kebahagiaan hakiki...!

Tahun 1989 dalam bukunya 7 Habits Of Highly Effective People, Stephen R. Covey mengatakan bahwa dalam 50 tahun terakhir nilai² yang berkembang di dunia banyak berputar pada aspek kesenangan materi. Artinya hampir 100 tahun (1940an-2021) kebahagiaan bukanlah trend nilai² umat manusia! Terlebih di zaman digital yang serba instan, serba mudah diakses ini, semakin mudah kita terjebak pada nilai² pencarian kesenangan. Ada baiknya kita berupaya mengubah hala-tujuan dan fokus kita dari pencarian kesenangan menuju pencarian kebahagiaan, yang kebahagiaan sejati itu, hanya ada di sisi Tuhan, diperoleh dengan mendekatiNya dan memperangaikan dan memanifestasikan nilai² dan ajaranNya. Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS, 25/2/21, 17:06

Probabilitas

Kita semua tau probabilitas/rasio kemungkinan. Misalnya, probabilitas/rasio kemungkinan sebuah pesawat berisi bom, sebut saja 1:2.000.000. Dan, studi yang mempelajari hal² seperti itu memang ada. Para ilmuwan telah mempelajari rasio kemungkinan, pada hampir segala hal: Rasio kemungkinan mobil tabrakan, kemungkinan pesawat jatuh, kemungkinan dalam pesawat ada teroris, kemungkinan seseorang berhasil membuka bisnis bahkan rasio kemungkinan seseorang diterima cintanya... 😃

Ini adalah dalil bekerja keras; sederhananya, berbuat saja sebanyak²nya, bila angka kita sudah mencapai rasio tertentu, pasti ada 1x kita berhasil. Misalnya, seorang lajang, perbanyaklah mengungkapkan cinta pada wanita salehah, jika ia lakukan misalnya 100x, pasti ada 1x yang diterima (walau mungkin 99 lainnya ia ditampar...😃😄). Seorang sales, perbanyaklah berjualan, dalam 200x ia berjualan, pasti ada 1x diterima. Inilah dalil, bahwa gagal mencoba lebih baik daripada gagal saat tak berbuat apapun. Gagal mencoba mendekatkan kita pada kemungkinan berhasil, sedangkan gagal saat tak berbuat apapun tak mendekatkan apapun.

Probabilitas/kemungkinan berhasil juga ditingkatkan dengan memiliki akhlak mulia. Bukan rahasia lagi, bahwa orang yang rendah hati, lemah lembut, bertanggungjawab, murah senyum biasanya lebih sukses dalam segala hal; bisnis, karier, rumah-tangga, mudah dapat jodoh, dll. Oleh karenanya, di samping meningkatkan semangat bekerja keras, tingkatkanlah juga akhlak mulia, karena probabilitas keberuntungan orang berakhlak mulia + pekerja keras bisa 6-7x lipat lebih tinggi daripada seseorang yang hanya bekerja keras saja. Dan, dasar dari itu semua, selalulah berserah kepada Tuhan, dan persembahkan segalanya pada Tuhan.


WAG Diskusi AFAS, 25/2/21, 15:21

Meluangkan Waktu Sendirian

Saya ingat sekali, tiap Abu hendak bepergian keluar kota menaiki pesawat, beliau mengosongkan waktu selama 1 hari. Jadwal beliau kosongkan, kecuali yang memang penting-mendesak seperti menandatangani surat² tertentu atau berjumpa orang dengan urusan tertentu. Alasan beliau mengosongkan? Mengantisipasi. Mengantisipasi ada barang yang lupa dibawa, agenda yang lupa dituliskan, rencana yang lupa dilakukan, dst. Hasilnya? Tidak tergesa-gesa, dan boleh dikata beliau nyaris tidak pernah "keteteran" atau kelupaan sesuatu hal. Menariknya, orang² dengan tingkat kesuksesan tinggi, seperti/kalau tidak salah Jeff Bezos, selalu meluangkan waktu tiap hari untuk mengosongkan waktunya tidak melakukan apapun. Hal ini, konon dikabarkan bisa membantu mengantisipasi berbagai hal, di samping juga membantu memeriksa kembali hal² mendasar seperti visi-misi perusahaan, visi-misi pribadi, kemana tujuan hidupku, untuk apa aku di dunia, dll.

Dalam dunia yang serba-sibuk dan serba-cepat seperti dunia modern kita saat ini, sangat bagus kita menyisihkan waktu secara menyengaja untuk meluangkan waktu, baik secara singkat, maupun secara panjang. Secara singkat, misalnya meluangkan waktu untuk hadir lebih awal di acara dari jam yang ditentukan, untuk mengantisipasi hal² buruk, apalagi jika kita panitia penyelenggara. Dalam keseharian, pergi menyendiri sejenak utk memeriksa kemana tujuan hidupku, apa tujuan keberadaanku di dunia, masih relevan kah visi-misi lama-ku? Dan dalam waktu yang panjang, sebagai muslim, tak lain dan tak bukan di antaranya adalah i'tikaf, baik i'tikaf umum maupun i'tikaf khusus Tarekat. Nabi saw diriwayatkan selalu menyempatkan i'tikaf di 10 hari terakhir ramadan, kebiasaan itu bisa kita tiru, dengan tidak mengabaikan protokol kesehatan di saat ini tentunya.


WAG Diskusi AFAS, 25/2/21, 15:21

Kebaikan

Pertengahan bulan ramadan tahun ke-3 hijriyah terdengar ledakan tangis anak lelaki pasangan muda Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az Zahra. Tak lama kemudian, kakeknya, Rasulullah saw pun bertamu dan meminta diperlihatkan wajah cucunya, yang sangat mirip dengan wajah Nabi saw sendiri! Ali bin Abi Thalib, yang memiliki background seorang jago silat dan ahli perang, mengusulkan kepada Nabi saw agar cucu Nabi saw sekaligus anak Ali ini diberi nama "Harb" yang artinya "Perang." Rasulullah saw bersabda, kira² isinya meminta agar cucunya itu tidak diberi nama Harb, tapi, ia dinamakan "Hasan" yang artinya "Kebaikan"...

Teko hanya mengeluarkan apa yang dikandungnya... demikian kira² sabda Nabi Isa as. Bila isinya pasir, ia keluarkan pasir. Bila isinya air keruh, ia keluarkan air keruh. Bila isinya air jernih, ia keluarkan air jernih. Demikian pula manusia; apa yang diucapkannya adalah isi hati, kalbu, jiwa dan roh-nya. Nabi saw adalah seorang yang cinta Tuhan, takut Tuhan, lemah lembut, rendah hati, gemar menyambung silaturrahim, gemar memberi maaf, maka tak heran, ide yang keluar dari beliau, adalah kebaikan, tercermin dari nama yang beliau usulkan pada cucunya... Bukan berarti Ali buruk, justru usulan nama beliau mencerminkan karakter beliau yang teguh pada kebenaran.

Namun, bila kita harus memeras seluruh isi ajaran Islam, seluruh kearifan kehidupan, seluruh intisari nasihat orang bijak ke dalam 1 kata singkat, mungkin "Kebaikan" sudah tepat. Dalam bahasa Inggris, Tuhan disebut "God" yang memiliki akar kata sama dengan "Good" atau "Baik", dimana setan disebut "Devil" dan memiliki akar kata yang sama dengan "Evil" yang berarti jahat. Mungkin ini sebuah pesan, bila orang yang tak mengenal Tuhan, bertanya apa ajaran Tuhanmu? Mungkin, kita bisa menjawabnya dengan sederhana: "Kebaikan." Demikian pula lah menjalani kehidupan, bila bingung terhadap sesuatu, ingat saja Nabi saw menamai cucunya "Kebaikan", dan ingat saja "Good" memiliki "God" sebagai akar katanya. "God, i know you're all good" kata sebagian orang kristen dalam berdoa. Ingat saja, "Kebaikan." Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS, 25/2/21, 01:50

Hidup Berkesadaran Penuh

Saya memulai tulisan "Bersahabat Dengan Kematian" dengan perumpamaan bermain game FPS (First Person Shooter) seperti CS, COD, Halo, namun saya lupa memberikan pemaparan lebih jauh dari maksud perumpamaan tersebut. Di tulisan "Bersahabat Dengan Kematian" secara cukup panjang kita membahas tentang keutamaan banyak mengingat kematian dan menjadikannya sebagai penasihat, sebagai sahabat kalau perlu. Konsekuensi logis dari menjadikan kematian sebagai sahabat adalah hidup dengan kesadaran penuh; maksudnya hidup dengan visi dan misi yang jelas (crystal clear), kemana tujuan kita, dan apa tujuan keberadaan kita selama di dunia. Akibatnya adalah kita akan menjalani hari-hari kita dengan kesadaran penuh menuju visi, dan menunaikan misi kehidupan kita di dunia. Ya lebih-kurang dengan materi "Visi-Misi Muslim" atau "Tujuan Hidup" di Kelas AFAS lah.

Hidup dengan kesadaran penuh, adalah hidup yang bermakna; karena kita melakukan aktivitas, bahkan sekecil-kecilnya dengan tujuan yang jelas. Mengapa kita memilih makan ini, bukan yang itu, memilih bangun jam sekian bukan jam segitu, memilih membaca ini bukan itu, memilih olahraga yang ini bukan yang itu, memilih menonton film ini bukan itu, atau bahkan memilih bermain game yang ini bukan yang itu, semuanya terintegrasi dengan satu kepaduan kesadaran visi dan misi, hidup bermakna pendeknya.

Dan, hidup bermakna, adalah hidup yang penuh tantangan, tapi membahagiakan! Bagaikan bermain game, kita akan men-setting tingkat kesulitan yang setinggi-tingginya. Bermain catur pun, kita ingin melawan lawan yang sejago-jagonya, kenapa? Asyiknya permainan mendorong kita untuk terus menyelesaikan masalah, bahkan ketika tidak ada masalah, kita malah mencari masalah untuk diselesaikan! Demikianlah hidup dengan kesadaran penuh; kita akan mencari tantangan baru, mencari masalah untuk diselesaikan, mencari peluang berbuat baik lainnya, dan kita merasakan terus keasyikan! Fisik kita lelah, tapi bagaikan main game tadi, kita tau ini hanya permainan dan senda gurauan. Bukan kah fisik kita pun bukan milik kita? Ya... tubuh, keluarga, status, harta, ilmu, prestasi, pencapaian, semua ini pinjaman saja. Maka gunakanlah pinjaman ini dengan seoptimal-optimalnya, nikmati permainan "berbuat baik"-nya, dan kembalilah dalam keadaan lelah tapi puas; "saya sudah memainkan permainan dan senda gurau ini dengan maksimal, ya Tuhan, hamba puas, terimakasih atas karuniaMu meminjamkan pada hamba kehidupan di dunia, ilahi.. anta maqsudi waridhaka matlubi (Tuhanku.. hanya engkau yang kumaksud, dan hanya ridhaMu yang kutuntut)." Wallahua'lam... 🙂


WAG Diskusi AFAS, 23/2/21, 02:29

Bersahabat Dengan Kematian

Orang yang sering bermain game PC 20 tahun terakhir pasti tau Counter-Strike, Call Of Duty dan Halo dan game² FPS (First Person Shooter). Saat bermain, kita justru berusaha mencari masalah! Dimana ada tembak-menembak, ke situ kita hadir, dimana ada masalah, ke situ kita datang, bahkan, bila kita menikmatinya, kita akan set difficulty-nya (tingkat kesulitannya) semakin tinggi; hard, expert, legendary! Dan setelah kita mengalahkan lawan, setelah kita memenangkan pertandingan, setelah kita membunuhi lawan² kita dalam game, kita sangat puas, dan setelah game kita akan berujar: "Luar biasa!", kalau orang Medan akan bilang: "Mantap kali ya!" Dan kalau ada kawannya dia bilang, "Mantap juga kau ya!" 😀 Mengapa kita bahagia? Karena itu hanya permainan. Kalau situasi tembak-menembak, membunuhi lawan dengan senjata itu nyata, sekalipun kita berhasil, kita tetap akan merinding ketakutan.

Mari bercerita kematian. Penelitian membuktikan bahwa 60 tahun terakhir life-expectancy (harapan hidup) manusia meningkat drastis karena ditemukannya pengobatan², alternatif², vitamin², dll. Trend ini pun diviralkan, di koran, di TV, di internet. "Ingin hidup lebih lama? Ikuti tips kakek ini yang berusia 102 tahun!" Seringkali kita temui di internet. Penjualan obat, diet panjang umur, dll pun menjamur. Tentunya itu semua bagus. YM. Abu berkata, adalah bagian dari rahmat Tuhan, manusia saat ini susah mati berkat meningkatnya ilmu kesehatan. Namun masalah lain yang timbul dari trend suka panjang umur ini adalah, kita menjadi sangat takut mati. Ya, nilai-nilai kehidupan modern saat ini adalah nilai-nilai yang cenderung menghindari kematian. Kita ingin hidup selama-lamanya di dunia ini dengan alibi, aku mau lihat pasanganku, anakku, cucuku, dst dstku bertumbuh. Seorang dokter yang jujur berkata, sebenarnya, dengan penemuan ilmu kesehatan memang hidup di dunia bisa diperpanjang, tapi kualitas hidup di dunia tidak bisa diperbaiki. Misalnya, ada orang yang terkena serangan pada otaknya menghendaki hidup di dunia yang lebih lama, ya bisa, tapi dia akan hidup dengan kualitas otak yang rendah. Ada orang berpenyakit kronis yang terobsesi panjang umur, ya bisa, tapi mungkin ia menghabiskan belasan bahkan puluhan tahun hidupnya di atas tempat tidur, dimana ia tak bisa telungkup, bahkan tidur miring saja sudah kesuksesan baginya! Mau kah kita hidup panjang umur seperti itu? Kalau saya tidak!

Dalam sebuah tulisan dikatakan, kehidupan dunia menjadi bermakna karena adanya kematian. Tanpa kematian, kehidupan manusia menjadi tak bertanggungjawab karena tidak ada arah-tujuannya. Mari lihat manusia modern, takut mati, sehingga hidup se-sehat-sehatnya, olahraga rutin, makan dijaga dengan tujuan hidup: "Hidup selama-lamanya." Tujuan hidup apa itu? Hidup selama-lamanya? Akhirnya, di luar dari upayanya menjaga kesehatan, ia justru hidup sesuka hatinya; terjerumus pada dunia materialistis, ingin karier setinggi²nya, kuliah setinggi²nya, uang sebanyak²nya, anak sesukses²nya dst. Bahkan tak jarang, itu semua pun tak ada, ia hanya ingin menikmati hidup, sehingga ia tak takut menyakiti sesama, melanggar batas moral, hidup secara tak bertanggungjawab, dll. Karena tujuan hidupnya adalah hidup selama-lamanya, akhirnya ia kehilangan arah tujuan hidupnya, hidup secara tak bertanggungjawab, dan akhirnya kehilangan kebahagiaan. Inginkah kita kehidupan macam ini? Kalau saya tidak!

Kematian adalah koridor, dia adalah penyadar, dengan mengingat kematian, kita menjadi menyadari/teringatkan, apa tujuan kita hidup? Untuk apa kita hidup? Apa yang saya harapkan terjadi setelah saya mati? Kemana saya inginkan diri saya ini setelah mati? Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda yang kira-kira isi pesannya, "Orang yang paling cerdas adalah orang yang selalu ingat mati." Ya... karena mati adalah koridor, mengingatnya tak pernah gagal untuk mengingatkan kita, mana yang perlu, mana yang tidak, mana yang penting, mana yang tidak. Bila kita menjalani kehidupan dengan kesadaran ingat mati, kita akan hidup secara total dan tidak menyia-nyiakan waktu. Uniknya... di saat kita menjalani hidup penuh kesadaran seperti itu lah, kita akan menjadi bahagia. Ya... banyak mengingat kematian, justru pada gilirannya akan membuat kita bahagia!

Buruk kah kematian? Tergantung bagaimana kita menjalani hidup. Di internet ada banyak kisah pengalaman mati suri, ada yang katanya ia melalui sebuah terowongan, ia melihat cahaya, lalu di ujung terowongannya ia melihat taman yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, dan di sana ada orang-orang yang ia sayangi, di sana hanya ada kedamaian dan kesejahteraan. Oh ya, pengalaman yang saya ceritakan di atas bukan pengalaman orang muslim. Poinnya, bahkan non-muslim saja bisa mengalami suatu kejadian mati-suri dengan fenomena yang sangat sesuai dengan deskripsi akhirat menurut Alquran, mengapa kita pesimis? Kita punya Alquran, kita punya Rasulullah saw, mengapa kita larut berpesimis-ria dalam mengenang kematian? Mengingat dosa wajib, beristighfar wajib, bertaubat wajib, tapi bersyukur, optimis dan percaya kasih-sayang dan ampunan Tuhan juga wajib! Bersahabatlah dengan kematian. Untuk meyakinkan kita, saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Al Ghazali dalam Kitab Bidayatul Hidayah, kira-kira bunyinya: “Aku tinggalkan untuk kalian dua pemberi nasihat: yang pandai berbicara (Alquran) dan yang pendiam (kematian).” Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS, 23/2/21, 01:49

Baik dan Benar

Pilih baik, atau benar? Lawan dari baik adalah jahat. Lawan dari benar adalah salah. Silahkan pilih; menjadi baik tapi salah, atau menjadi benar tapi jahat. Saran: Pilihlah opsi ke-3, menjadi Baik dan Benar. Ada manusia yang terobsesi dengan kebaikan semata dan melupakan kebenaran, ia menjadi terombang-ambing karena tak punya prinsip. Ada pula orang yang terobsesi hanya dengan kebenaran, sehingga sering sekali menjadi jahat, agaknya kebanyakan kita berada di posisi ini. Perlu kita catat: Manusia tidak mempedulikan kebenaran kita, sampai kita terbukti baik. Bila kita baik, manusia akan carikan dalil untuk membenarkan kita.

Namun bila kita hanya benar tapi tidak baik, orang tidak mempedulikan kita dan kebenaran yang kita bawa! Sekalipun kebenaran agama yang kita sampaikan, sekalipun kebenaran pesan Tuhan yang kita sampaikan, bila kita tidak baik, orang tak mempedulikannya, meninggalkan kita, atau bahkan lebih buruk dari itu: Mungkin mereka akan menuduh kita hanya klaim sepihak saja! Sebagai orang yang mencintai Tuhan, mencintai Rasulullah saw dan kebenaran yang dibawanya, kita perlu ingat untuk menjadi baik, bukan hanya benar. Karena ketidakbaikan diri kita, bisa mencederai kebenaran yang kita bawa.


WAG Diskusi AFAS, 21/2/21, 19:36

Memperjuangkan Kontekstualisme Agama

QS. Muĥammad (47):4 - Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir.

Apa maksud ayat di atas? Banyak kelompok teroris, menafsirkan ayat di atas sebagai izin, atau bahkan instruksi melakukan tindakan teror seperti membunuh, meledakkan, membom, sederhananya, mereka semata-mata melihat kepada teks, atau apa yang tertulis di dalam Alquran. Benar kah tafsir dan tindakan mereka? Sudah jelas tidak! Inilah bahayanya memahami dan melaksanakan agama hanya berdasarkan teks, baik itu teks Alquran maupun teks Hadis.

Sekarang, apa itu Alquran? Bagi saya Alquran adalah kumpulan nilai-nilai kebenaran, yang menjadi panduan hidup. Oleh karenanya, ada teks, ada konteks. Teks Alquran, tidak berubah, dan diturunkan sesuai kondisi pada zaman ia diturunkan. QS. 47: 4 di atas, memang diturunkan pada masa perang, dimana konteks ayat tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas juang umat muslim saat itu. Seringkali, ketika agama hanya dipedomani berdasarkan teks, orang kelihangan konteks. Inilah letak kewajiban mentadabburi/merenungi Alquran, untuk menggali apa konteks yang dimaksud oleh ayat tersebut, dan bagaimana mengaplikasikannya pada kehidupan kita yang kekinian dan kedisinian.

Lebih jauh lagi, Abu secara tegas menyatakan, hanya membaca dan memahami Alquran saja tidak cukup, karena harus juga disertai dengan membaca dan memahami hadis serta riwayat hidup Rasulullah saw sebagai orang yang paling melaksanakan Alquran! Oleh karenanya, pelajarilah dengan mendalam dan dengan sangat banyak; riwayat hidup Rasulullah saw. Baca hadis²nya. Baca pula buku² tentang riwayat hidupnya seperti karangan Amru Khalid dll. Ketika konteks agama dipahami, barulah ia akan menjadi solusi bagi hidup dunia, dan lebih menolong bagi hidup akhirat kita. Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS, 16/2/21 18.46

Alibi Penyangkalan

QS. Al-Kahfi (18):54 - Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.

Kapan kita menolak pendapat orang lain? Ketika kita tidak suka orangnya, orangnya lebih junior dari kita, pendapatnya kita anggap tidak masuk akal, pendapatnya sulit dikerjakan, agenda pribadi kita tergagalkan, sederhananya; kita selalu menolak pendapat orang lain. Kita menerapkan standar yang begitu rumit, sehingga menjamin kita hanya menerima pendapat kita sendiri. Menariknya, ungkapan penolakan yang seringkali muncul justru istilah-istilah agama, seperti: "Pendapatmu tidak sesuai dengan Alquran, dengan agama Islam, dll." Agaknya, itulah sebab utama nasib kita tidak pernah berubah. Periksa hidup kita 5 tahun ini; pernah kah kita mengubah pendapat kita, terhadap semua hal; cara berbicara, cara berolahraga, cara makan, cara menasihati orang lain, cara menyelesaikan masalah, dll. Bila kita tidak ada mengubah pendapat kita, bisa dikatakan kita adalah katak dalam tempurung.

Albert Einstein mengatakan lebih-kurang, "Jangan menyelesaikan masalah dengan cara berpikir yang sama seperti ketika anda menciptakannya", maksudnya, yang menyebabkan masalah adalah cara berpikir kita! Kalau Tuhan dalam Alquran membahasakan kira-kira; "Yang baik datang dariKu, yang buruk datang darimu", sederhananya, segala masalah kita; kesehatan, ekonomi, konflik rumahtangga, karier/bisnis, adalah produk dari kesesatan cara berpikir kita sendiri, dan bagaimana mungkin kita keluar dari cara berpikir yang sesat, bila kita selalu menolak pendapat orang lain? Jangan pernah merasa sudah wisuda/khatam dari sekolah kebenaran. Jangan menganggap 10x cfm, 1x kelas AFAS, bersekolah di pondok pesantren, berkuliah di tempat yang bagus, atau selalu mengikuti figur arif bijaksana, menjadi alibi kita untuk menyangkal pendapat orang lain, atau menjadi alasan kita menganggap konsep/interpretasi yang kita miliki sudah final.

Sewaktu Nabi Isra' Mi'raj, tepatnya ketika beliau dimi'rajkan, beliau dikaruniai kesempatan berhadap-hadapan, berpandang-pandangan, atau dalam bahasa arabnya bertawajjuh, dengan Allah Swt. Yang ditegaskan dalam QS. 53: 18 dengan kalimat "Laqad ra-a min ayati rabbihil kubra", yang artinya: "Sesungguhnya dia (Muhammad) telah melihat sebahagian tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang paling besar." Tuhan sendiri menyatakan, fenomena Rasulullah saw itu merupakan salah satu tanda kekuasaanNya yang paling besar! Namun, apa yang terjadi setelah Rasulullah saw mengalami fenomena akbar dalam hidupnya? Ia diperintahkan salat wajib 5 waktu! Dan di dalam salat itu, ia selalu membaca "Ihdinas siratal mustaqim" atau "Bimbinglah, hantarkanlah saya ke jalan yang lurus." Rasulullah saw, figur paling superior dalam sejarah manusia, sepulang mengalami fenomena paling akbar, justru terus diminta untuk selalu belajar, selalu introspeksi diri, tentunya juga selalu belajar menerima pendapat orang lain! Bagaimana dengan kita?


WAG Diskusi AFAS, 16/2/21 18.46

Choosing Anchor (Memilih Jangkar/Sauh)

Dalam buku 7 Habits Of Highly Effective People, Stephen R. Covey menjelaskan manusia memiliki beberapa jenis prioritas atau jangkar, sauh dalam bahasa Malaysia, anchor dalam bahasa Inggris. Jangkar, sauh, atau anchor menurutnya, bisa pasangan, keluarga, teman, komunitas sosial, uang, diri sendiri, bahkan musuh. Maksudnya secara sederhana; orang yang menjadikan pasangannya sebagai jangkar/sauhnya, akan mengambil keputusan dengan mengutamakan kebahagiaan pasangannya. Orang yang menjadikan keluarga sebagai jangkar/sauhnya, ia akan mengambil keputusan yang menyenangkan anggota keluarganya. Yang menjadikan uang sebagai jangkar/sauhnya, ia akan mengambil keputusan apapun yang membuat dirinya semakin memiliki banyak uang. Yang menjadikan temannya sebagai jangkar/sauhnya, dia akan mengambil keputusan yang membuatnya selalu dekat dengan temannya. Menariknya, ada pula manusia yang menjadikan musuhnya sebagai jangkar/sauhnya, setiap keputusan yang diambilnya, adalah untuk mengalahkan/mempermalukan musuhnya, dan lain-lain, demikianlah seterusnya pula jangkar/sauh yang lain.

Mana yang benar? Yang paling kuat. Dan tidak ada satu pun dari pasangan, keluarga, teman, musuh, komunitas sosial, uang, musuh ataupun diri sendiri yang cukup kuat untuk menjadi jangkar/sauh, karena, satu-satunya jangkar/sauh yang kuat adalah kebenaran. Kebenaran bagaikan koridor yang terbuat dari tembok kokoh yang meliputi hidup kita, bila kita berjalan di dalamnya, kita aman dari marabahaya serangan di luar tembok, dan bila kita mencoba menabraknya kita akan hancur berkeping-keping, belum lagi dihancurkan marabahaya dari luar tembok, begitulah kebenaran, ia adalah tembok! Alquran adalah kebenaran, ia adalah kumpulan nilai-nilai kebenaran, itulah mengapa Abu memperkenalkan kita kepada prinsip "Setia Pada Kebenaran", beliau ingin menyelamatkan kita dari menabrak tembok yang amat kokoh itu. Oleh karenanya, manusia yang akan aman dari marabahaya dan kekacauan dunia-akhirat adalah ia yang menjadikan kebenaran sebagai jangkar/sauhnya, sandarkanlah kesetiaan kepada prinsip, bukan kepada figur/sosok. Jadikanlah kebenaran sebagai jangkar/sauh, dan sandarkan kesetiaan kepadanya, bukan kepada figur/sosok.


WAG Diskusi AFAS, 16/2/21 18.20

Hidup Adalah/Hanyalah Pengabdian

Coba bayangkan, suatu sore setelah asar, bapak kita mengantar kita ke ladang, dia berpesan; "Berbuat baik di sini ya, nanti bapak jemput lagi maghrib. Oh ya, walaupun bapak tidak di sini, tapi bapak selalu mengawasimu." Bila kita anak yang baik, mencintai dan/atau takut pada bapak kita, tentunya akan kita taati dia, dan bisa diperkirakan kita akan pulang dijemput bapak kita dalam keadaan berpeluh keringat tapi gembira bahagia, sambip berujar, "Pak, saya puas. Saya lelah tapi puas sudah berbuat baik di sini. Terimakasih, saya ridha." Bapak kita, pun diperkirakan menyambut kita dengan ridha pula, sangat bahagia, saking bahagianya, dia mengantarkan kita ke rumah, hingga ke pintu kamar kita, dan dia sudah persiapkan hal² yang kita sukai di kamar kita.

Dalam beberapa hal, agaknya begitulah sejatinya situasi kita di dunia. Tuhan bersumpah demi waktu Asar di surat Al Asr, karena perumpamaan dunia ini bagaikan sesingkat waktu Asar. Dan, di dalam agama Kristen, Tuhan memang dipanggil Bapak. Kadang disebut "God The Father", yang artinya "Tuhan, Bapak kita." Tentu Tuhan bukan bapak, tetapi sosok bapak, agaknya sosok yang paling bisa merepresentasikan Tuhan itu sendiri. Dan kembali dengan keadaan puas, itulah yang diisyaratkan dalam QS. 89: 27-30 khususnya pada bahagian "Irji'i ilaa rabbiki radhiyatam mardhiyyah" (Kembalilah pada Tuhanmu dalam keadaan engkau ridha/puas dan Tuhanmu pun ridha/puas).

Tega kah kita, kembali kepada bapak kita dalam keadaan kita melanggar perintahnya, merusak ladangnya, menyakiti sesama anaknya, tentu bapak kita menjadi sedih, dan kita tak sampai hati melakukannya. Mungkin demikianlah bertuhan itu, yang paling menyiksa adalah kita dengan sadar menyakiti Tuhan. Oleh karenanya, kita perlu memperkuat kesadaran tentang ringkasnya waktu Asar kehidupan ini, dan menyadari hidup adalah pengabdian, dan memang hanya pengabdian. Kembalilah dalam keadaan puas, sehingga Dia pun puas. Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS 9/2/21 23.13

Penjara Psikologis

Tanggungjawab dalam bahasa inggris disebut Responsibility, yang terambil dari 2 kata: Response (Respon), Ability (Kemampuan). Sederhananya, tanggungjawab adalah kemampuan mengendalikan respon. Tanggungjawab adalah kemampuan khusus milik manusia, yang tak dimiliki hewan ataupun makhluk hidup lainnya. Hewan, tumbuhan hanya "bereaksi", namun tidak bisa memilih bagaimana caranya merespon. Sebagai contoh: Apabila seekor kucing memukul kucing lainnya, hampir dipastikan kucing lain tersebut akan membalasnya. Hewan tidak bisa memilih reaksinya, karena hewan tak mampu bertanggungjawab, karena mereka tak punya akal. Ketidakmampuan bertanggungjawab ini lah yang menyebabkan hewan memiliki nasib yang sama sejak dulu hingga sekarang. Monyet, rusa, kucing, dari zaman Nabi Adam as hingga sekarang, ya nasibnya gitu-gitu aja, karena mereka tidak bisa mengendalikan keputusannya, sehingga mereka tak bisa mengubah nasibnya!

Masalahnya, seringkali manusia meniadakan kemampuan bertanggungjawabnya, dengan membebankan tanggungjawab pada selain dirinya. Misalnya: Wajar saya pemarah/pemalas, karena pasangan saya menyebalkan, anak² saya bandel, boss saya pemaksa, anakbuah saya nakal, dunia sedang dilanda covid-19, dst dst. Kita seringkali mematikan kemampuan bertanggungjawab kita dengan menjadikan kita korban keadaan (mentality victim), kita memenjarakan diri kita dalam penjara psikologis yang kita buat sendiri; kita membiarkan diri kita bereaksi secara buruk; marah, ingkar janji, malas, dengan menyalahkan orang dan keadaan sekitar. Bahkan lebih parahnya lagi, kita terus bersikap buruk namun mengharapkan keajaiban terjadi atas diri kita! Kita malas namun mengharapkan keajaiban tiba² kita kaya, kita pemarah namun mengharapkan keajaiban tiba² semua orang memahami kita.

Pemenjaraan psikologis inilah yang disebut pengeluh. Dan sudah pasti, pengeluh tidak akan menyelesaikan masalahnya, karena masalah diselesaikan dengan tindakan, bukan keluhan. Kesukaan kita mengeluh, mematikan karunia Tuhan kepada kita; kemampuan mengubah nasib. Akhirnya, seringkali kita melihat seseorang memiliki nasib yang sama, bahkan terkadang lebih buruk dari pendahulunya. Sebenarnya, dalam Alquran, Tuhan sendiri mengancam perilaku ini dengan menyebutkan orang sejenis ini bagai binatang ternak, bahkan lebih sesat. Mengapa bagai binatang ternak? Binatang ternak; sapi, lembu, kambing agaknya memiliki kemampuan bereaksi paling lemah di kalangan hewan. Mobil melintas 200Km/jam di samping seekor sapi, sapi tetap saja tenang makan rumput, kesadarannya lemah, dan ia hidup tak bertanggungjawab. Manusia memiliki kuasa mengubah sifat, sikap, keputusan dan nasibnya, namun seringkali kita mematikan kemampuan tsb dengan mengeluh. Na'udzubillah.


WAG Diskusi AFAS, 9/2/21 21.36

Penemuan Atau Penyingkapan?

The Man Who Knew Infinity, sebuah film berdasarkan kisah nyata, mengisahkan penemuan rumusan baru dalam disiplin ilmu matematika, hasil kerjasama Prof. Hardy dari Inggris, dan Srinivasa Ramanujan, seorang jenius matematika dari India. Selama bekerja dengan Ramanujan, Prof. Hardy sering terheran-heran dengan kejeniusan Ramanujan, sering Prof. Hardy, yang kebetulan seorang ateis bertanya; "Ramanujan, bagaimana kau mendapat semua ilmu itu?" Ramanujan menjawab, "Saya tak menemukannya, tapi Tuhan saya meletakkannya di lidah saya, saya hanya mengucapkannya."

Jim Collins, penulis buku From Good To Great bertanya kepada penulis buku legendaris 7 habits of highly effective people, Dr. Stephen R. Covey. Jim bertanya, "Dr. Covey, bagaimana anda bisa menemukan 7 habit manusia efektif?" Dr. Covey menjawab, "Saya tak menemukannya. Itu semua adalah nilai-nilai, hukum-hukum, kebijaksanaan yang usianya sudah berabad, saya hanya merangkum dan menuliskannya."

Kejadian yang sama persis ketika Abu membuat 7ndy, kita semua terheran-heran; "mengapa bisa dibuat sesuatu yang demikian ringkas, sederhana, namun membekas?" Saya pernah bertanya lebih-kurang demikian pada beliau. Jawaban beliau? Kira-kira begini, "Saya tidak membuatnya, saya hanya menuliskan akhlak Islam yang saya pahami."

Kembali lagi ke S. Ramanujan, seorang hindu yang taat, dia berpendapat: Isaac Newton tidak menemukan gaya gravitasi, tapi keberadaan gaya gravitasi itu dijelaskan kepadanya. Sederhananya, sebenarnya tidak ada temuan, tidak ada penemu. Hukum-hukum itu sudah ada, Tuhan hanya menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskannya kepada orang yang tepat. Saya memiliki keyakinan, Wisdom, law, information, anything, is revelated, not founded. (Kebijaksanaan, hukum, informasi, apapun, adalah disingkapkan, dijelaskan, oleh suatu Kuasa Maha Besar, bukan ditemukan).

Banyak kita menyoal hak cipta, itu wajar, dan perlu, demi ketertiban. Namun, dalam batas tertentu, sebenarnya tiada lagi hak cipta. Apa pendapat kita jika rembulan menyombongkan cahayanya, "Berkat cahayaku, malam kalian terang benderang hai penduduk bumi", cahaya yang dimiliki bulan adalah pantulan dari cahaya matahari, bulan sejatinya tak memiliki cahaya! Demikianlah segala kearifan, bahkan segala karya. Segala kearifan itu sejatinya milik Rasulullah saw, makanya dalam Alquran, Rasulullah saw disebutkan bagai matahari yang menyinari; sumber inspirasi, sumber kearifan, yang pada hakikatnya, itu semua dari Tuhan. Demikian juga hal lainnya; kekayaan intelektual, mahakarya musik, dll, sebagai orang beriman, saya meyakini, sejatinya semuanya disingkapkan, bukan ditemukan.

Menyikapi informasi ini, saya ingin mengajak kita mengembangkan kerendahan hati. Tentu tulisan ini bukan bermaksud menentang UU Hak Cipta dll, maksudnya adalah, kembangkanlah kerendahan hati, karena sejatinya semua karunia yang kita cicipi saat ini, adalah pemberian Tuhan. Bukankah dalam Alquran Tuhan menjelaskan segala yang baik, datangnya dari Tuhan? Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS, 9/2/21 12.49

Warisan Sejati

Orang hebat itu seperti apa? Yang membuat karya yang berdampak pada banyak orang, demikian pendapat hidup dunia modern berkata. Film Titanic amat membekas bagi orang yang sudah menonton bioskop pada tahun 97an, namun bagi kebanyakan generasi milenial, Titanic cenderung hanya nama, bukan kesan. Seberapa besar, seberapa berpengaruh pun karya kita, manusia akan melupakannya. Kalau begitu, siapa lagi yang lebih hebat? Orang yang lebih hebat, mungkin yang paling hebat, adalah orang yang mencetak orang-orang yang terus membawa mimpinya. Dan orang seperti itu banyak; banyak perusahaan yang sudah berusia ratusan tahun, namun mereka masih menjaga kualitasnya dan terus berinovasi, sebut saja Toyota, Seiko, dll. Di sini lah letak kehebatan Rasulullah saw, yang sampai hari ini masih dijunjung dan terus dipelajari sosok serta nilai-nilainya. Tak diragukan, beliau adalah orang tersukses dunia-akhirat.

Hal lain, ketika seorang da'i berhasil mengajak puluhan atau bahkan ratusan orang bertaubat, siapa yang dipuji? Tentunya Rasulullah saw, bukan si da'i. Apakah si da'i tidak sukses? Tentu sukses, namun jangan berkecil hati. Karena semakin sering orang menyebutkan sumber asal kita, itu tanda semakin sukses pula kita. Taubatnya ratusan orang di sebuah penjuru dunia saat ini adalah tanda kesuksesan Rasulullah saw, karena masih mencetak da'i yang sukses. Itu sekaligus merupakan tanda suksesnya sang da'i, yang berarti ia telah menghidupkan nilai-nilai sang Nabi. Oleh karenanya, siapapun tidak perlu berkecil hati ataupun merasa gagal, ketika namanya tidak disebut berjasa. Semakin sukses sebuah organisasi, semakin tak dikenal figur/sosok di baliknya. Mengapa? Karena organisasi tersebut telah menjelma menjadi sebuah budaya, kumpulan nilai-nilai, cara hidup, cara berpikir, dst.

Sekali lagi, berbahagialah ketika nama kita tidak disebutkan, itu adalah tanda bahwa kerja kita benar-benar berhasil. Saya pernah menemukan sebuah hadis (yang saya tak menemukannya lagi) dimana Rasulullah saw bersabda lebih kurang; beliau iri pada orang yang tak dikenal, meninggal dunia tanpa meninggalkan warisan dan tetap tak dikenal. Alasannya? Agaknya karena keikhlasannya terjamin. Baru² ini pemilik duty free shop, Chuck Feeney, menyedekahkan nyaris semua hartanya utk kemanusiaan, secara diam-diam. Dia adalah manusia superkaya, yang mendedikasikan hartanya untuk kemanusiaan dan rela hidup jauh di bawah standard yang bisa ia capai. Mottonya dalam memberi: "Giving while living" atau jika kita terjemahkan: "Memberi mumpung masih hidup". Chuck Feeney tidak mau dikenal, dia mau berbuat baik. Yang penting baginya adalah perbaikan umat manusia, bukan dirinya.

Tentang diingat orang lain, ada sebuah fakta menarik: Yang diingat orang adalah performa kita bukan penampilan kita, seterusnya, yang diingat orang adalah hasil kerja kita bukan performa kita, seterusnya, yang diingat orang adalah kebaikan hati kita, bukan hasil kerja kita. Oleh karenanya, perbaiki saja kebaikan hati kita, sisanya akan memperbaiki dirinya sendiri. Dan sekali lagi, semakin kita tak disebut-sebut, bahkan tak diingat-ingat, semakin dekat kita dengan kesuksesan yang sejati, karena itu berarti hasil kerja dan kebaikan hati kita dirasakan orang. Dan bukan kah kebaikan hati/hasil kerja yang paling sempurna selalu kita sebut sebagai "Kerja Tuhan"? Maka, berbahagialah ketika kita tidak disebut, jangan-jangan itu pertanda Tuhan sendiri telah ikut campur dalam karya kita.


WAG Diskusi AFAS, 9/2/21 01.27

Nikmat Menyadari Kesalahan

Setiap kita mengetahui sebuah hal, kita juga akan menyadari bahwa kita tak tau sebuah hal lain. Sederhananya, orang yang ilmunya 100, dia akan menyadari bahwa ada 100 hal lain yang dia tidak ketahui. Bila ada orang yang ilmunya 1000, dia akan menyadari pula bahwa ada 1000 hal yang dia tidak ketahui. Oleh karenanya dalam sebuah artikel dijelaskan, untuk mengetahui apakah seseorang berilmu atau tidak, cukup tanyakan: 3 tahun terakhir hidup anda, sering kah mengetahui hal baru? Sering kah anda merevisi/mengubah keyakinan dan konsep hidup anda? Sering kah anda tersadar bahwa selama ini anda salah? Kalau jawabannya ya, diduga kuat orang tersebut adalah orang pintar dan akan terus berkembang. Sebaliknya, bila ia merasa tidak banyak hal yang dia ubah, itu justru tanda dirinya adalah katak dalam tempurung.

Banyak orang sulit mengaku salah, dan merasa sangat sedih jika bersalah, bahkan putus asa, menutup diri, dst. Sebenarnya, menyadari kita salah adalah nikmat Tuhan. Orang yang mengaku salah dan siap merevisi pendapatnya, adalah orang pintar dan akan terus berkembang. Artinya, sadar salah adalah tanda kita akan berkembang, dan tanda Tuhan masih perhatian dengan kita. Dalam sebuah hadis disampaikan pula bila ada suatu kaum yang tidak berbuat salah, Tuhan akan mewafatkannya dan menggantikan dengan suatu kaum yang bisa berbuat salah, lalu kaum tersebut memohon ampunan, hanya karena Tuhan suka hambaNya beristighfar dan minta ampun.

Ada sebuah pemahaman dimana pemimpin harus lah orang yang paling dalam segala hal; paling hebat, paling pintar, paling berpengalaman, paling baik, dst. Warren Buffet justru berpendapat, carilah pasangan, anak buah, teman yang lebih hebat dari kita, supaya kita bisa terus berkembang. Tujuan memimpin adalah mengubah menjadi lebih baik, bukan menunjukkan diri kita. Dilihat dari sana, ucapan WB sungguh perlu kita pertimbangkan, dan jangan takut jika pasangan, teman, anakbuah, anak, atau bahkan cucu kita lebih hebat dari kita. Justru bersyukurlah, karena mewujudkan kebaikan akan semakin mudah.

Oleh karenanya, dorongan kehidupan modern yang meminta kita memenangkan perdebatan, memenangkan adu argumen, menjadi sumber referensi tunggal, memang perlu kita abaikan. Justru kita menggantinya menjadi dorongan berbuat kebaikan, mewujudkan kebaikan, belajar dan siap mengaku salah. Bisa dibayangkan bila suatu penduduk, semua orang di sana siap dan mudah mengaku salah; tidak ada orang yang merasa terancam di sana, tidak ada orang yang takut menyampaikan pendapatnya. Orang pintar akan semakin banyak, berbicara di depan umum bukan masalah, dan orang tidak takut berbuat, karena ia tidak khawatir di-bully. Itu adalah sebuah masyarakat impian, dan mewujudkan impian itu, adalah tanggungjawab kita sebagai orang muslim. Dimulai dengan, belajarlah dan siaplah mengaku salah, itu adalah karunia Tuhan. Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS, 30/1/21 14.10

Menerima Masukan Orang Lain

Seringnya kita menerima kesalahan pendapat kita, seringnya mengevaluasi pendapat serta keputusan kita, adalah tanda bahwa kita adalah orang pintar yang akan terus berkembang. Sebaliknya, jika kita merasa pendapat kita jarang salah, dan kita jarang mengevaluasi pendapat serta keputusan kita, adalah tanda bahwa kita adalah orang bodoh yang tak sadar akan kebodohannya (katak dalam tempurung). Mudahnya kita menerima pendapat orang lain adalah kerendahan hati.

Orang rendah hati adalah orang yang tidak merasa diserang ketika pendapat dan keyakinannya dikoreksi. Semakin sulit kita menerima pendapat orang lain, semakin mudah kita tersinggung atas masukan orang lain, menandakan kesombongan kita masih besar.

Sifat ilmu adalah merendahkan hati pemiliknya. Itulah sebabnya orang yang berilmu cenderung merendah.

Sebaliknya, merasa nyaris mengetahui semua hal, tersinggung menerima pendapat orang lain, adalah tanda sedikitnya ilmu (tong kosong nyaring bunyinya). Doktrin yang diberikan pada manusia modern adalah memenangkan perdebatan, menjadi sumber referensi, menjadi pengajar/sumber kebenaran tunggal. Bisa dipastikan doktrin ini keliru, karena dorongan memenangkan perdebatan, menjadi sumber referensi tunggal, justru mendorong kita menuju kedangkalan ilmu. Agaknya, doktrin yang lebih tepat adalah rendah hati menerima kesalahan, terus belajar, dan berusaha berkontribusi pada perbaikan masyarakat.

Keberadaan Alquran dan Hadis adalah sebagai nilai rujukan/koridor.

Namun interpretasi, apalagi penerapan teknisnya adalah pembelajaran seumur hidup.

Itulah sebabnya Rasulullah saw sebagai gudangnya ilmu, tetap membaca ihdinas siratal mustaqim (bimbing saya ke jalan yang lurus). Di setiap sudut hidup kita, ada pembelajaran.

Di setiap keyakinan yang kita tancapkan, dan setiap keputusan yang kita ambil, ada evaluasi yang harus selalu kita sertakan.


WAG Diskusi AFAS, 30/1/21 08.40

Mukjizat Memaafkan

“Maukah aku ceritakan kepadamu mengenai sesuatu yang membuat Allah memuliakan bangunan dan meninggikan derajatmu? Para sahabat menjawab; tentu. Rasul pun bersabda; Kamu harus bersikap sabar kepada orang yang membencimu, kemudian memaafkan orang yang berbuat dzalim kepadamu, memberi kepada orang yang memusuhimu dan juga menghubungi orang yang telah memutuskan silaturahmi denganmu.” (HR. Thabrani)

Abu: Memaafkan adalah tiket VIP ke surga.

Sebagaimana Abu menyebutkan bahwa memaafkan adalah tiket VIP menuju surga, memaafkan itu sendiri juga bisa dianggap sebagai shortcut/jalan pintas/jalan tikus untuk menjadi seorang kekasih Allah. Bagaimana tidak? Memaafkan adalah akhlak Allah Swt! Yang pertama sekali mempraktekkan kemaafan adalah Allah Swt sendiri, dan Dia selalu memberikan maafNya, bahkan saking gemarnya memberi maaf, Dia menamai diriNya sendiri dalam asmaul husna dengan berbagai nama yang substansinya pemaaf! Seperti al Ghafur, al Ghaffar, ar Rauf, ar Rahim, dst.

Oleh karenanya, siapa saja yang mempraktekkan sikap pemaaf, automatically (secara otomatis), orang yang bersangkutan akan disorot Tuhan, karena ia telah mempraktekkan akhlak Allah sendiri, yang dalam hadis memang dianjurkan untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Oleh karenanya, bila kita memiliki peluang memaafkan, jangan sia-siakan, karena sesungguhnya Tuhan sedang menjamu kita dengan makanan yang bergizi bagi pertumbuhan ruhaniah kita. Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS, 27/1/21 22.53

Hari Esok (Pasti) Lebih Baik

QS. Ađ-Đuĥaá(93): 4

Dan sesungguhnya yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan.

Ini adalah kabar gembira. Yang harus disambut dengan kegembiraan. Dan harus ditampilkan dengan kegembiraan, dengan sikap menebarkan kegembiraan! Dalam sebagian tafsir ayat di atas, disebutkan akhirat lebih baik dari dunia, tapi konteksnya jelas adalah happy ending; akhir selalu lebih baik dari awal, apakah itu hari esok lebih baik dari hari ini, akhir lebih baik dari awal, dan tentunya termasuk akhirat lebih baik dari dunia. Adapun di dalam Injil, pada Ref Pengkotbah 3: 11 disebutkan "Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya". Jalaluddin Rumi pernah berkata apa yang dilakukan Tuhan, Dia lakukan dengan indah. Dari sini kita bisa menarik sebuah kesimpulan, bahwa happy ending itu, sepertinya sebuah sunnatullah.

Salah satu sikap yang wajib kita kembangkan dari konsep di atas adalah prasangka baik kepada Tuhan. Imam Syafi'i lebih kurang berkata: "Terlalu takut akan hilangnya sebuah nikmat/ditimpa masalah di kemudian hari adalah bentuk sangka buruk kepada Tuhan Yang Maha Pengasih." Prasangka baik pada Tuhan Yang Maha Pengasih berbeda dengan meringan-ringankan ataupun memudah-mudahkan agama. Prasangka baik adalah sebuah keyakinan Tuhan akan berbuat baik pada kita; memudahkan kita berubah, memudahkan kita menyelesaikan masalah, dll. Buah dari prasangka baik pada Tuhan adalah sikap tenang, tabah menghadapi tekanan, enjoy dengan situasi hidup yang tengah dihadapi, dan jauh dari stress, cemas serta gangguan kejiwaan lainnya.

Gus Dur pernah berkata lebih kurang: "Menghadapi masalah jangan dipikirin! Kalau kamu tidak tau jalan keluarnya jangan dipikirin, kan belum tau. Kalau sudah tau jalan keluarnya jangan dipikirin juga, kan udah tau jalan keluarnya?" Sikap sama yang juga diambil oleh Abu, pernah beliau berkata lebih kurang: "Bila belum tau jalan keluar sebuah masalah, ya saya "tidur-tidur dulu", biasanya besok ada itu jalan keluarnya." Dan kenyataannya kita saksikan sendiri, Abu adalah troubleshooter (penyelesai masalah) yang luarbiasa, dan itu juga ditampakkan Gus Dur. Ternyata, troubleshooter handal justru enjoynya lebih banyak, stressnya lebih sedikit dan hatinya lebih tenang. Agaknya itu adalah buah dari mengimani surat Ad Duha ayat 4 tadi, yang juga disebut dalam Injil Ref Pengkhotbah ayat 11.

Sekali lagi, agaknya happy ending adalah sunnatullah; cara kerja Tuhan itu memang membuat ending bahagia. Oleh karenanya, selama kita masih berusaha istiqamah berislam kaffah, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengembangkan prasangka baik pada Tuhan, sikap optimisme hari esok lebih baik, dan tidak terlalu pusing memikirkan sesuatu. Justru, kembangkanlah sikap suka zikir, suka salat, suka berdoa dalam segala situasi, terlebih saat menghadapi masalah yang membingungkan, di samping bertukar pendapat dengan orang-orang arif. Kesabaran akan sulit sekali dilakukan, tanpa optimisme hari esok akan lebih baik. Oleh karenanya, happy ending sekaligus percaya hari esok lebih baik, adalah sebuah universal wisdom, sebuah kearifan universal, di samping merupakan sebuah sunnatullah. Bi idznillah. Insya Allah. Alhamdulillahirabbil'alamin.


WAG Diskusi AFAS, 24/1/21 02.20

Mukjizat Alquran

Di sekolah dasar dulu, tepatnya pada mata pelajaran agama Islam, pasti ada kisah para Nabi serta mukjizatnya. Yang populer: Nabi Ibrahim tak mempan dibakar, Nabi Musa membelah laut, Nabi Daud pandai besi dan membuat senjata, Nabi Isa menghidupkan orang mati, dan... Rasulullah saw? Alquran. Dulu sewaktu masih kecil saya tertanya-tanya, mengapa para Nabi lain mukjizatnya seakan lebih keren, dan sebenarnya apa maksud Alquran itu merupakan mukjizat? Tanya saya dalam hati. Apa itu Alquran? Dalam pelajaran buku agama Islam sekolah menengah atas selalu disebutkan: Wahyu dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw oleh Jibril as yang berpahala bila dibaca. Demikianlah definisi Alquran dalam buku agama Islam sekolahan, terus terang saya semakin bingung. Tentu kita menyetujui Alquran memang berpahala bila dibaca, namun, dimana letak kemukjizatannya itu? Tanya saya dalam hati.

Masalahnya adalah, kita diberikan definisi Alquran yang kurang lengkap ataupun kurang menyeluruh. Bertahun-tahun kemudian, barulah saya diperkenalkan kepada sebuah konsep, dimana Alquran merupakan way of life, sebuah kumpulan nilai-nilai, kode etik, prinsip hidup, dimana bila kita setia memegangnya, kita mendapatkan kemenangan dunia-akhirat! Oo... ini dia kemukjizatan Alquran, dalam hati saya. Kalau memang ini kemukjizatan Alquran itu, memang luarbiasa! Bagaimana tidak, kehebatan Nabi Musa membelah laut adalah sesuatu yang eksklusif-untuk beliau-tidak bisa dikerjakan orang lain. Namun, pelaksanaan Alquran dalam pengertian setia pada prinsip hidup dan nilai-nilai yang diperintahkannya, bisa membuat kita mengalami kejayaan yang dialami Rasulullah saw, sesuai sejauh mana nilai-nilai Alquran itu kita kerjakan.

Bila kita umpamakan, Rasulullah saw mengerjakan 100% nilai-nilai Alquran, maka kemukjizatan yang ditimbulkan adalah 100 pula, dalam bentuk: Keselamatan akhirat, dan kejayaan duniawi; menaklukkan Jazirah Arab dalam 23 tahun, menaklukkan negara adidaya Romawi dan Persia dst. Nah, apabila seseorang mengerjakan 80% nilai-nilai Alquran, maka ia juga akan memperoleh 80% kemukjizatan Alquran dalam bentuk yang sama, yakni keselamatan akhirat dan kejayaan dunia, dalam skala yang lebih kecil. Misalnya jika Rasulullah saw menaklukkan dunia, mungkin ia bisa mengubah kaumnya. Itulah alasan mengapa tadabbur dan pelaksanaan nilai-nilai Qurani adalah penting-mendesak; karena itulah trigger kemukjizatan dalam hidup kita. Sederhananya, bila kita mengharapkan kemukjizatan, laksanakanlah nilai-nilai Qurani, maka kemukjizatan akan kita rasakan sesuai sejauh mana kita kerjakan nilai-nilai tersebut. Apa nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran? Singkatnya itulah Islam Kaffah; Tauhid, Akhlak Mulia, dan Fiqih. Dan bila di-breakdown lebih teknis lagi, agaknya akhlak mulia yang menelurkan paling banyak sub nilai-nilai seperti bersyukur, sabar, patuh, rendah hati, dan seluruh akhlak Nabi saw lainnya.

Inilah sebuah konsep, ataupun definisi Alquran yang perlu dibiasakan kepada anak sekolah, bahkan kepada kita-kita yang sudah tamat sekolah. Betapa banyaknya orang yang binasa hidupnya karena gagal memahami makna ini, meskipun mereka sering membaca Alquran berulang-ulang. Secara literal, memang Alquran itu sendiri artinya adalah "bacaan" ataupun "bacaan yang bagus", namun, konteks dari bacaan yang bagus itu adalah; bagus bila dipahami dan diamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Jika tidak? Bisa dipastikan kemukjizatan Alquran tidak terjadi. Sama halnya dengan Pancasila, ataupun kode etik kementerian tertentu, menghafalnya di luar kepala, melantunkannya dengan lagu yang indah tidak akan membuahkan apapun, kecuali bila dipahami dan dilaksanakan, agaknya demikianlah Alquran. Dan umat muslim saat ini, benar-benar berada dalam kondisi darurat mukjizat Alquran. Kita darurat redefinisi Alquran dan reinterpretasi memahami Alquran. Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS, 23/1/21 07.39

Generator Kebajikan

Sebuah genset dengan besaran tertentu, mampu menghidupi listrik sebuah kampus dengan besar 7 hektare. Dengan besaran tertentu, kapasitas yang lebih besar, ia mampu pula menghidupi satu kota. Agaknya demikian pula cara kerjanya berlaku di dunia manusia. Manusia dengan kadar kebajikan tertentu, mampu menginspirasi atau memberlangsungkan kebajikan di keluarganya, sementara di pihak lain mampu sebesar sebuah kota! Agaknya sistem syafaat juga demikian, dikisahkan pada zaman tertentu ada seorang tukang sepatu yang tak pergi berhaji karena mendermakan uang haji yang sudah ia kumpulkan lebih dari 20 tahun, justru mendapat pahala haji mabrur, dan karena kedahsyatan amalnya, Tuhan memabrurkan ratusan juta jamaah haji lainnya, karena dirinya! Bagi saya, agaknya ini adalah dalil kebenaran adanya manusia pemberi syafaat.

Sekarang bayangkan, apabila kita bersama sahabat-sahabat kita bertekad menjadi generator kebajikan, tidak usah besar-besar, cukuplah untuk menginspirasi diri kita dan seseorang lainnya, namun dikerjakan secara bersama-sama; akan terjadi penerangan masif! Dan, kata Martin Luther King Jr; dengan kehadiran cahaya, kegelapan akan sirna dengan sendirinya. Demikianlah salah satu cara kerja ayat "Innal batila kaana zahuqa" pada QS. 17: 81 yang artinya "Kebatilan pasti lenyap", yakni ia lenyap dengan menyalakan pelita generator kebajikan. Manusia sejatinya adalah Khalifatullah fil ardh (wakil Allah di bumi), maka tidak berlebihan jika kita, dalam level yang sangat ringan berusaha menjadi lemberi syafaat. Syafaat artinya pertolongan. Pertolongan itu bertingkat-tingkat. Ada tingkatan Nabi dan Wali. Ada tingkatan orang saleh, dan seterusnya. Maka, bertekadlah memberi syafaat (pertolongan) kepada orang lain, dalam konteks berupaya menyalakan cinta pada Tuhan dalam dirinya.

Caranya? Dengan melakukan kebajikan apapun, dan lestarikan kebajikan tersebut dengan cara memurnikan niat lillahi ta'ala dan mengistiqamahkannya. Kita perlu menjadi generator kebajikan, karena sangat mungkin ada hati suram milik orang lain yang tersinari oleh cahaya kebajikan yang kita nyalakan. Dan yang terpenting adalah, jangan melakukannya sendirian, tetapi ajak teman-teman untuk bersama-sama menjadi generator kebajikan. Great things tend to happen when people work together. Hal besar, biasanya terjadi ketika orang-orang bekerjasama.


WAG Diskusi AFAS, 23/1/21 07.39

Jangan Terlalu Serius

QS.Al-Furqān(25): 63

Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.

Hamba Allah itu, apabila dicela dia membalas dengan kedamaian. Yang sering terjadi adalah, belum dicela kita sudah tersinggung. Bila ada orang yang berbeda pendapat dengan kita, kita anggap itu sebuah tantangan, bila ada orang yang tidak menyahut saat kita panggil, kita anggap sebuah hinaan, saat rapat orang lupa mengundang kita, kita anggap kita sudah disingkirkan, saat orang makan-makan kita tidak diajak, kita anggap kita sudah dikucilkan. Jangankan membalas celaan dengan kedamaian, membalas kedamaian dengan kedamaian saja pun kita seringkali gagal!

Seorang filsuf mengumpakan hati kita bagaikan wadah, jika hati kita sesempit cawan/gelas, bila dituangkan garam se-sendok makan dia akan terasa asin. Bila hati kita sekadar ukuran bak mandi, kita tuangkan garam sebesar sendok makan memang belum asin, namun bila 10 sendok makan dituangkan garam ia akan terasa asin. Namun bila hati kita seluas danau/tasik, berapa banyak garam pun dituangkan, tidak akan menjadi asin dia! Demikianlah hati itu, bila sempit, sekedar ditertawakan pun bisa membuat kita emosi berhari-hari lamanya.

Oleh karenanya, penting bagi kita memperluas hati kita. Sederhananya, apabila ada orang yang berbeda pendapat dengan kita, jangan anggap itu sebuah serangan. Apabila ada orang yang memaksakan pendapatnya yang paling benar, terima saja, biarkan dia menikmati rasa bangga menjadi yang paling benar. Apabila ada orang yang menyengaja menjebak kita dengan pertanyaan yang tak mampu kita jawab; jawab jujur saja apa adanya katakan bahwa kita tidak tau. Jangan terlalu serius, don't sweat the small stuffs, it's all small stuffs, kata Richard Carlson.


WAG Diskusi AFAS, 22/1/221 21.10

Menjadi Pengikut Yang Baik

Banyak forum membahas cara menjadi pemimpin yang baik, namun sedikit yang membahas cara menjadi pengikut yang baik, padahal sejatinya a good leader is a good follower (pemimpin baik adalah pengikut yang baik pula). Kecenderungan ini mengakibatkan orang² memuja pemimpin yang dianggap berhasil dan mengkritik habis-habisan pemimpin yang dianggap gagal. Semua beban kegagalan ada pada pemimpin dan sebaliknya semua prestasi keberhasilan ada pada pemimpin. Benar kah demikian?

Sebenarnya, keberhasilan suatu organisasi ataupun suatu masyarakat adalah pencapaian bersama, bukan hanya pencapaian 1 orang. Dengan perkataan lain; ada jasa pengikut yang baik pada kesuksesan sebuah kelompok! Bahkan penyebaran Islam oleh Rasulullah saw pun demikian suksesnya, juga karena dedikasi pengikut² bermental baja seperti Abu Bakar, Ali, Abdurrahman bin Auf dan lain-lain sebagainya. Oleh karenanya, sebenarnya sangat tidak adil hanya menghukumi pemimpin gara-gara bobroknya masyarakat, dan tidak adil pula hanya memuja pemimpin karena bagusnya masyarakat!

Oleh karenanya, bertekadlah untuk selalu menjadi pengikut yang baik; sehingga siapapun pemimpinnya menjadi tampak bagus jika kita pengikutnya. Bukankah Islam menganjurkan memudahkan dan tidak mempersulit? Maka sudah sewajarnya kita mempermudah para pemimpin kita dengan mengembangkan sikap kepengikutan yang baik seperti; tidak mengkritik-menyindir-mencela tapi memberi solusi, menepati amanah yang diberikan, mematuhi aturan yang ditetapkan dan memaklumi keputusan pemimpin yang tidak sesuai dengan keinginan kita, selama keputusan tersebut belum mendatangkan sangat banyak mudarat. Sederhananya, berakhlak mulia lah, sehingga siapapun mudah memimpin kita.

Termasuk juga; jangan suka membangun prasangka atas langkah yang diambil pemimpin, jangan hina kekurangannya tapi lengkapi sehingga sempurna, sekali lagi, jadikanlah pemimpin kita berprestasi gara-gara kepatuhan kita. Bukankah memang begitu akhlak Islam itu? Nilai-nilai modern menganjurkan kita memiliki-memborong semua prestasi, penghargaan dan puja-puji, namun Islam meminta kita untuk berbuat baik dan sangat diutamakan menyembunyikannya, sampai dikatakan tangan kanan berbuat tangan kiri tidak tau. Jadilah pembuat perbaikan dan penebar kedamaian, jangan menjadi perusak dan penebar perpecahan apalagi teror.


WAG Diskusi AFAS, 22/1/21 17.00

Antara Mengagumkan Dan Menginspirasi

Salah seorang legenda Barcelona (entah Xavi, atau Iniesta) pernah ditanya, siapa yang lebih hebat, Cristiano Ronaldo (CR7) atau Lionel Messi? Sang legenda menjawab lebih kurang: "Tergantung sudut pandang anda, kalau anda ingin melihat bakat, maka jawabannya Messi. Kalau anda ingin melihat pekerja keras, maka jawabannya CR7." Kira-kira, bila saya ingin membahasakan, bagi saya, Messi sepertinya lebih mengagumkan/menakjubkan/mengherankan, sehingga orang ramai menyebut Messi adalah alien. Namun, CR7 lebih menginspirasi, ia adalah atlet yang lebih baik, ia bekerja keras, disiplin, berkomitmen, benar-benar menunjukkan atlet sejati. Komitmen dan kedisiplinannya membuat orang lain, khususnya sesama atlet, terinspirasi, bahkan mendatangkan hormat kepadanya. Saya bukan seseorang yang lebih menyukai CR7 dibandingkan Messi, namun harus diakui, dalam hal etos kerja, komitmen dan kedisiplinan, CR7 sepertinya lebih menginspirasi dibandingkan Messi...

Sekarang, mari kita renungkan, seberapa lama orang akan mengenang kehebatan, ketakjuban, kekaguman yang kita ciptakan? Apakah kepandaian, ketampanan, kehebatan, atau segala kelebihan apapun, berapa lama orang akan mengingatnya dan membicarakannya? Ketakjuban, memang biasanya menjadi trending topic, atau viral, namun biasanya, tidak lama, paling lama mungkin sebulan saja, itu pun mungkin tak sampai. Namun, inspirasi yang kita berikan, seberapa kecil pun itu; apakah "hanya" inspirasi kebersihan, mematikan alat² elektronik, rajin salat dhuha, ataupun rajin senyum sekalipun, itu sangatlah membekas bagi orang lain, mungkin akan dia ingat seumur hidupnya, dan diwariskan kepada anak-cucunya. Memang inspirasi biasanya tidak membuat kita menjadi populer; menjadi trending topic, menjadi viral sebagaimana yang diciptakan oleh kekaguman, namun sekali lagi, inspirasi mengubah orang lain...

Dalam agama, inspirasi positif adalah sebuah perbuatan yang tinggi derajatnya! Nabi saw pernah bersabda yang isinya kira-kira; siapa yang menunjukkan kebajikan pada orang lain, ia memperoleh pahala yang sama dengan si pelaku kebajikan! Atau dalam kesempatan lain, disebutkan bahwa memberi makan buka puasa bagi orang yang berpuasa memberikan pahala yang hampir sama atau bahkan mungkin sama dengan orang yang berpuasa. Oleh karenanya, pahala menginspirasi, jangan pernah disepelekan. Maka, jadilah orang yang memberi inspirasi dan berbuat kebajikan, sebagaimana poin ke-5 dari 7ND YMA, semata karena kita mencintai Tuhan, dan mencintai sesama dan menginginkan kebaikan bagi sesama kita.


WAG Diskusi AFAS, 1/1/21 19.18

Beda Ambisius Dan Visioner

Dalam Islam, sikap ambisius, terlebih terhadap hal-hal duniawi, bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Tulul amal dalam bahasa arab atau panjang angan-angan, dalam literatur keislaman bahasa kita, disebutkan, tidak dianjurkan. Rasulullah saw dalam beberapa hadis disebutkan bahwa beliau tidak terlalu banyak memikirkan tentang hari esok karena belum tentu esok hari masih hidup. Seorang ulama, (kalau tidak salah Imam al Ghazali atau Imam Syafi'i) mengatakan, paling jauh cukuplah mengantisipasi kehidupan sampai dengan bulan depan. Itulah agaknya, sikap yang mendorong kita lebih mudah hidup sederhana, berserah diri kepada Tuhan, dst. Secara psikologis, sikap ambisius seringkali melahirkan perilaku kompetitif, yang bisa menyebabkan perpecahan. Dan tak jarang pula, orang yang terlampau ambisius mengalami sakit hati yang begitu mendalam ketika mengalami kegagalan! Tidak jarang sakit hati karena gagal menyebabkannya menjadi seorang yang beromong-besar, berkhayal, dan pada akhirnya mengalami gangguan mental bahkan gangguan iman.

Saya pernah membaca, di zaman kelahiran Nabi saw di Mekkah dulu, hidup seorang ahli kitab saleh, yang mengetahui pada zaman tsb akan datang seorang Nabi Akhir Zaman. Dan, sang ahli kitab berambisi untuk menjadi Nabi! Ia beribadah sekuat tenaga, dalam rangka mempersiapkan dirinya menjadi Nabi. Lalu, ketika ia mengetahui bahwa Nabi Akhir Zaman adalah Muhammad saw, bukan dirinya, ia segera merajuk dan langsung menjadi musuh Nabi dan pengancam Nabi. Demikianlah, ketika angannya yang terlalu panjang (ambisinya) gagal, ia segera membatalkan segala amal saleh yang telah ia tabung dan menjadi bersikap kontras-kebalikan dari sebelumnya. Dalam bahasa inggris sikap ini disebut all or nothing, sikap ini juga tampak pada orang yang memiliki ambisi besar untuk diet, ketika gagal, ia segera gagal secara kaffah (langsung makan sesukanya dan tidak berolahraga).

Demikianlah ambisi, pedang bermata dua (double-edged sword), ia bisa memicu kita bekerja keras, tapi ia juga bisa membunuh kita sendiri; menjatuhkan kita sendiri, memecahbelah persatuan, bahkan melahirkan dendam kesumat. Oleh karenanya, bukan sikap ambisius yang dianjurkan dalam Islam, tetapi yang dianjurkan adalah sikap memikirkan orang lain. Bahkan sampai disebutkan dalam sebuah hadis kira-kira; "Nabi saw bersabda: Yang bangun di pagi hari tidak memikirkan umatku, dia bukanlah umatku." Begitu mendalamnya pesan memikirkan orang lain dalam Islam, sampai² Nabi mengancam, orang yang tak memikirkan orang lain bukanlah orang Islam! Sikap memikirkan orang lain ini, melahirkan sebuah sifat, yang sekilas mirip ambisi namun sesungguhnya amat berbeda, yaitu sikap visioner, atau melihat jauh ke depan.

Abu mengatakan: Orang² visioner adalah orang yang selalu memikirkan orang lain, itu sebabnya ia bisa melihat jauh ke depan. Ada sosok² yang dianggap visioner, termasuk Bill Gates, yang terbukti telah memprediksi akan terjadi wabah pandemu jauh hari sebelum Covid merajalela, dan kabar gembiranya Bill Gates pula memperkirakan pertengahan 2021 dunia akan kembali normal. Sekali lagi, mengapa orang visioner itu mampu melihat 10 langkah ke depan? (Kalau istilah semen padang; anda memikirkan, kami sudah melakukan) Rahasianya adalah selalu memikirkan orang lain, sehingga selalu memberikan terobosan² pelayanan yang lebih baik dan lebih efektif. Itulah alasan, mengapa Rasulullah saw adalah manusia paling visioner yang pernah ada! Jangankan tiap bangun pagi, menjelang ajal saja ucapannya "umatku... umatku..." menunjukkan betapa beliau seorang visioner sejati; selalu berpikir memajukan dan menyelamatkan orang lain.

Mari kita simpulkan tulisan ini; jangan menyangka dengan berperilaku zuhud, dengan menjadi penghuni masjid, ataupun dengan menurunkan ambisi, kita akan menjadi orang yang statis, gitu-gitu aja, dan tidak melakukan banyak hal dalam hidup. Salah! Sama sekali salah! Karena Islam, para Nabi dan Ulama menunjukkan mereka memang bukan seorang ambisius, tapi mereka seorang visioner! Dan menjadi muslim artinya meneladani Rasulullah saw, termasuk dalam hal kesungguhannya melayani orang lain! Mungkin kita tidak sepintar dan secerdas Rasulullah saw, tidak masalah, karena bukan itu ukurannya. Ukurannya adalah kita selalu memikirkan orang lain sehingga kita selalu berkarya dan berusaha bermanfaat. Dan sebenarnya, orang² yang selalu memikirkan orang lain, dengan sendirinya, pasti, akan menjadi orang yang pintar. Karena pikiran akan terasah dengan banyak memikirkan solusi bagi orang lain, sebaliknya, pikiran akan menumpul jika dipakai untuk terlalu banyak memikirkan diri sendiri.


WAG Diskusi AFAS, 21/12/2020 06.26

Berhenti Mencari

"Aku mencari sesuatu", katanya. Mereka bertanya, "mencari apa?". "Entahlah, aku tak tau apa yang aku cari, aku kehilangan sesuatu, tapi aku tak tau apa itu." Katanya. Sebenarnya, bukan jawaban yang dicari, tapi kepuasan batin. Manusia memang aneh, sering ia merasa lapar padahal sebenarnya ia haus. Sering ia merasa sedih padahal sebenarnya ia rindu. Sering ia mencari dalil padahal sebenarnya yang ia perlukan adalah kepuasan batin. Sebuah pepatah filsafat berkata lebih kurang: Cara untuk sampai di tujuan adalah dengan berhenti.

Dalam buku berjudul "Awareness", penulisnya, Pastor Anthony De Mello berkisah: Seekor ikan teri (ikan bilis) gelisah berenang ke sana-sini seperti sedang mencari sesuatu. Maka ikan paus pun menjumpainya dan menanyakan apa yang hendak dicari oleh ikan teri? "Aku mencari lautan." Kata ikan teri. "Nak, kita sekarang berada di lautan." Ikan paus menjawab. "Tidak! Ini hanya pinggiran pantai!", bantah ikan teri. Sampai terjadi perdebatan di antara mereka, akhirnya ikan paus pun menyerah dan berkata: "Ya sudah lah, terserahmu saja." Dan kemudian ikan teri seumur hidupnya hidup dalam kebingungan pencarian yang tak berujung.

Seorang Arif Billah pernah berfilsafat: "Di saat kita mulai mencari, di situ lah kita mulai tersesat." Senada dengan pepatah yang disebutkan di awal; hanya dengan berhenti lah pencarian dan kebingungan kita berakhir. Dan, seringkali, kebingungan kita, pencarian kita, berhenti dengan cara-cara yang tidak terduga sama sekali, menampakkan bahwa, sejatinya bukan dahaga intelektual yang menghinggapi kita, tetapi dahaga spiritual. Seorang sahabat Nabi saw ada yang masuk Islam hanya karena alasan "Wajah Nabi saw bukan wajah pembohong", sesuatu yang tak diterima intelektual maupun verbal. Tapi begitulah memang prosesi terjadinya pemuasan spiritual.

Cendekiawan muslim barat terkemuka, Sheikh Hamza Yusuf berkata lebih kurang: Iman bukanlah teologi dialektika, Iman adalah tentang rasa. Demikianlah adanya, sebutlah tentang sebuah makanan; ayam penyet. Ayam penyet itu memiliki setidak-tidaknya 10 citarasa sekaligus; pedas, asin, gurih, manis, dst. Dan, orang yang makan ayam penyet, akan menceritakan citarasa sesuai perasaannya yang dominan saat itu. Masalah dimulai ketika seorang yang tak pernah memakan ayam penyet bertanya perihal rasa ayam penyet. Kita jelaskan pedas, ia bertanya apakah itu rendang. Kita jelaskan asin, ia bertanya apakah itu gulai. Kesimpulannya, ajaklah ia makan ayam penyet, ia akan berhenti bertanya.

Kegelisahan yang tampil dalam bentuk dahaga intelektual seperti pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab, seringkali, sejatinya hanyalah dahaga spiritual. Sama seperti orang jatuh cinta; ia bisa saja baru dipecat kerja, baru bangkrut, namun ketika ia jatuh cinta, semua masalah itu sirna, hanya ada kepuasan dan kebahagiaan. Demikian juga ketika kita gemar mempersulit berbagai hal, sejatinya kita sedang tak bahagia, sedang tak bersyukur, ketika kesyukuran dan bahagia kita bangun, tiba-tiba kerumitan itu terurai dengan sendirinya. Sama halnya dengan dahaga intelektual, mungkin, kita perlu meneguk air dari telaga ilahiyah, masuk ke dalam taman rabbaniyah, dan tiba-tiba, sirnalah segala masalah.


WAG Diskusi AFAS, 19/12/2020 23.06]

Ramai Atau Sepi?

Komunitas agama, khususnya Islam, sangat akrab dengan pengumpulan massa (perkumpulan orang beramai-ramai). Apakah itu kegiatan isra' mi'raj, kegiatan maulid, ataupun sekedar salawatan dan ceramah keagamaan. Apakah keramaian tersebut bagus? Tentu saja bagus, apabila niat yang hadir memang mencari keridhaanNya, namun bisa tidak bagus, jika ada yang hadir karena mencari suasana ramai, suasana megah, atau bahkan hanya sekedar ingin relasi, ingin populer. Terkadang, kita menjumpai orang yang hadir di saat acara besar dan ramai, namun tidak hadir dalam peribadatan salat 5 waktu berjamaah di masjid, tidak hadir saat gotong royong bersih-bersih lingkungan.

Pertanyaannya: Kalau Rasulullah saw ada saat ini, kira² beliau menjadi muslim yang bagaimana? Rajin ke masjid kah? Rajin bergotong-royong kah? Suka keramaian kah? Suka kemegahan kah? Berbagai riwayat dan literatur menampakkan, bahwa beliau adalah orang yang mencari keridhaan Allah semata, dan itu tampil dalam kepribadian beliau yang sederhana, suka salat, suka membantu sesama. Rasa²nya kita bisa memastikan Rasulullah saw bukanlah seorang yang gemar mencari perhatian, ataupun ingin populer. Beliau adalah pribadi sederhana, dengan kehidupan sederhana dan memiliki impian yang sederhana, yaitu seluruh umat Islam diridhai Allah Swt.

Pertanyaan berikutnya: Kira² kegiatan seperti apa yang Allah ridhai? Salat berjamaah kah? Gotong royong kah? Perkumpulan massa kah? Kegiatan akbar/masif kah? Kalau kita melihat teks Alquran maupun Hadis, sangat tampak jelas bahwa ridha Allah itu ada pada pelaksanaan islam kaffah; salat, zikir, syariat, akhlak mulia, rendah hati, taat aturan, sabar, menolong orang lain, bersyukur, dst. Tidak disebutkan bahwa ridha Allah ada pada tempat yang lebih ramai, dan tidak pula disebutkan ada pada tempat yang lebih sepi. Dengan perkataan lain: Ukuran turunnya rahmat bukanlah ramai atau sepinya, tapi seberapa kaffah islam itu dikerjakan, dan seberapa tulus mencari ridha Allah Swt!

Dengan informasi di atas ini, bisa dilihat, bahwa sebenarnya menjadi orang Islam yang diridhai Allah itu sederhana sekali, tak perlu biaya mahal, dan tak perlu simbol yang banyak. Cukup 2 modal: 1. Tulus, 2. Islam Kaffah. Ajaibnya, ketika ada sekelompok orang yang tulus berislam kaffah, Tuhan justru mengaruniai keramaian, keberlimpahan dan kejayaan kepada sekelompok orang tadi, selama mereka istiqamah. Oleh karenanya, perjuangkan saja ketulusan dan islam kaffah, dengan izinNya, menurut rumusnya pasti keberlimpahan, keramaian dan kejayaan itu terjadi. Jangan dibalik dengan malah memperjuangkan keramaian, kejayaan, keberlimpahan, itu justru menjauhkan kita dari hal² tersebut! Bahkan, bagi yang tampaknya sudah jaya dan berlimpah sekalipun, ketulusan dan islam kaffah, tetap merupakan perjuangan.

Kesimpulannya: Lebih bagus ramai atau sepi? Yang bagus adalah: Keramaian dan kesepian yang diridhai Allah Swt dan meniru Rasulullah saw. Yang tak bagus adalah: Keramaian dan kesepian yang tak diridhai Allah Swt dan tak meniru Rasulullah saw.


WAG Diskusi AFAS, 19/12/2020 18.4

Investasi Dunia-Akhirat

Membahagiakan orang lain adalah investasi dunia-akhirat. Mari renungkan sedikit: Kita dikurniakan Tuhan harta, waktu, dan rezeki. Kita diberikan Tuhan kebebasan untuk menghabiskan 3 hal tersebut, untuk apapun. Harta bisa dibelikan bermacam-macam, waktu bisa dihabiskan untuk bermacam-macam, dan rezeki bisa dipergunakan untuk keperluan yang bermacam-macam pula. Study kasus: Menjelang hari raya haji kita mendapat rezeki uang yang cukup banyak, kemana uang tersebut kita alihkan? Para pakar keuangan berkata: Sebaik-baiknya uang adalah berputar, bukan diam di tempat. Itu sebabnya para pebisnis tidak suka menabung di rekening tabungan, karena uangnya nganggur, mereka lebih suka menginvestasikannya dalam bentuk usaha lain, agar uangnya berputar. Nah, Abu pernah berkata: Jika sedang bingung, tidak ada bisnis yang bisa dilakukan, uang itu bisa kita titipkan di kantong Tuhan, caranya sedekah. Berangkat dari gagasan ini, sangat jelas ketika kita memiliki rezeki berlebih menjelang hari raya haji, berkurbanlah, dan utamakan dagingnya dimakan oleh orang yang jarang makan enak, itulah cara mengalirkan/memutarkan rezeki.

Ada banyak pilihan menghabiskan waktu dan uang; jalan-jalan ke negara lain, membuat arisan, membeli kendaraan baru, membeli perhiasan baru, mencoba makan di tempat mahal, dan lain sebagainya. Jika dihadapkan pada pakar ekonomi, sebaik-baiknya uang/harta adalah diputar dan manfaatnya berkesinambungan, maka jangan habiskan dengan sesuatu yang habis begitu saja tanpa manfaat ikutan! Makanya, jangan sampai memiliki harta yang menganggur, rugi! Mobil, rumah, bahkan pulpen, semuanya harus bermanfaat! Kembali ke uang, salah satu cara menghabiskan waktu dan uang adalah, dengan berbuat baik dan membahagiakan orang lain. Saat menjelang renovasi surau bawah di Medan tahun 2014, Abu berkata pada saya lebih-kurang: Uang kita akan banyak keluar untuk membiayai makan orang yang berubudiyah, tapi tidak apa-apa, memang itulah gunanya uang, untuk berbuat baik. Bila kita teruskan, itulah guna waktu, untuk berbuat baik. Akhirnya, uang dan waktu yang dihabiskan untuk berbuat baik itu, memutar begitu banyak kebaikan; orang kenyang, ilmu orang lain bertambah, sahabat bertambah, terjadi lapangan kerja, terjadi hubungan persahabatan-bisnis-kadang² hubungan rumah tangga, karena sebuah keputusan membelanjakan uang dan waktu untuk berbuat kebajikan!

Sederhananya, bila kita simpulkan: Uang dan waktu gunanya adalah untuk diinvestasikan untuk keuntungan akhirat. Lebih jauh lagi, sebenarnya hidup hanyalah investasi untuk akhirat. Ajaibnya: Yang menginvestasikan hidupnya untuk akhirat dengan mengamalkan islam kaffah, malah ditambahi Tuhan dengan keuntungan-keuntungan duniawi! (QS. 42: 20). Sadaqallahul'azim.


WAG Diskusi AFAS 6/12/2020 02.55

Sukses Berjualan

Fakta: Semua pemimpin sukses pernah menjadi sales. Ya, semua pemimpin sukses pernah berjualan. Jack Ma, pebisnis, orang terkaya di Cina berkata lebih kurang: Salah satu penyebab saya sukses berbisnis adalah karena saya pernah menjadi guru/cikgu. Seorang guru, cikgu, dosen ataupun lecturer, sejatinya juga berjualan, berjualan gagasan. Demikian juga seorang da'i, seorang penceramah, dia berjualan, berjualan gagasan, berjualan nilai-nilai. Pemimpin itu pun berjualan; jualan konsep, jualan target, kepada anak buahnya dan kepada pelanggan (customer). Nah, pertanyaannya, bagaimana menjadi penjual yang sukses?

Ada 3 tips berbicara dari Abu: 1. Jangan berbicara untuk dikagumi, tapi berbicaralah agar orang paham, 2. Cintai pendengar, 3. Bahagia. Dengan terlebih dahulu memohon ampun pada Allah ta'ala dan Abu, tanpa bermaksud mengurangi kesempurnaan pesan beliau, saya ingin menambahi 2 tips lagi, yakni: 4. Jangan memaksa orang setuju dengan kita, 5. Jujur. Sekarang, mari kita tulis ulang 5 hal di atas:

1. Jangan memaksa orang setuju dengan kita.

2. Jangan berbicara untuk dikagumi, bicaralah agar orang lain paham maksud kita.

3. Cintai pendengar.

4. Bahagia.

5. Jujur.

Bisa dipastikan, orang yang secara komplit mengamalkan 5 hal di atas, pasti menjadi seorang pembicara yang menarik, bahkan dirindukan.

Sekarang, mari bahas kembali soal berjualan, dengan mengambil 5 tips berbicara di atas dengan sedikit penyesuaian:

1. Jangan memaksa orang membeli produk kita.

2. Jangan menjelekkan produk lain, tapi cukup ceritakan kebaikan dari produk kita.

3. Cintai pelanggan (customer).

4. Bahagia (bersyukur).

5. Jujur.

Saya tidak pernah berjualan, tapi saya bisa memperkirakan orang yang mengamalkan 5 tips ini, jualannya akan laku, dan lebih dari itu, hidupnya akan bahagia dan rezekinya akan berlimpah. Bahkan, bila kita periksa Al Qur'an dan Hadis, sebenarnya kita akan menemui 5 hal di atas merupakan akhlak Nabi saw, sekaligus merupakan perintah untuk kita laksanakan! Bukan kah Nabi saw seorang yang mengamalkan 5 tips di atas? Beliau menjelaskan produknya yang cacat, yakni pakaian yang sobek/robek, beliau jujur, beliau kerjakan 5 tips tadi, akhirnya produk beliau laku, dan beliau menjadi seorang pedagang/pebisnis sukses yang lancar rezekinya, dan lebih dari itu; hidup beliau bahagia, dan yang terpenting; Allah ridha pada beliau!

Sebenarnya, seluruh akhlak Rasulullah saw itu adalah tips berjualan. Sudah tepatlah Al Qur'an mendeskripsikan beliau sebagai uswatun hasanah (sebaik-baiknya contoh, suri tauladan). Betapa indahnya beragama, betapa indahnya meniru Rasulullah saw, bahkan berusaha menirunya saja sudah indah. Akhir kata, selamat berjualan, selamat menjalani hidup dalam ridhaNya.


WAG Diskusi AFAS, 6/12/2020 02.19

Bersama Rasulullah Saw

Ulama Turki, Fethullah Gulen pernah berkata lebih kurang sebagai berikut: Kita harus optimis dengan umat saat ini. Kriminalitas yang terjadi di zaman Nabi saw jauh lebih buruk daripada di zaman ini. Di zaman Nabi saw, mengubur anak perempuan hidup-hidup itu adalah hal biasa. Di zaman dulu tawaf dengan telanjang tanpa sehelai pakaian pun adalah hal biasa. Kejahatan dan kejahilan yamg terjadi pada zaman Nabi saw, jauh lebih mengerikan dan dipandang biasa daripada di zaman kita sekarang. Sangat benar yang dikatakan Fethullah Gulen itu, artinya, jarak dan waktu yang membatasi fisik kita dengan fisik Nabi saw, bukanlah alasan untuk tidak memperoleh cinta beliau, bahkan bukanlah sebuah alasan untuk tidak bersama-sama beliau!

Bahkan Abu pernah berkata lebih kurang: Kadang saya membayangkan betapa enaknya sekiranya hidup di zaman Nabi saw, kita bersama beliau. Tapi bukan kah saat ini pun secara substansi beliau masih bersama kita? Ajarannya, dan lain sebagainya masih bersama kita? Sebenarnya sama saja. Nelson Mandela dalam puisinya yang sangat terkenal, berjudul Invictus, memberikan nasehat yang intinya: Saya adalah kapten dari jiwa saya. Bagaimana Jiwa kita adalah kehendak kita, walau fisik kita dikendalikan, disiksa, dizalimi sekalipun, jiwa kita tidak bisa dikendalikan. Demikianlah, waktu, jarak, membatasi kita dengan Rasulullah saw, tetapi jiwa orang bertaqwa, sejatinya tidak berjarak dengan beliau. Jangan biarkan ruang dan waktu, bahkan takdir sekalipun, membatasi kita dengan Rasulullah saw. Adalah hak kita untuk selalu bersama Rasulullah saw.


WAG Diskusi AFAS, 24/11/20, 22;41

The God Space

Dalam hidup kita, hampir semua hal menyisakan ruang kosong bernama ketidakpastian yang membuat kita cemas dan sangat mungkin menggagalkan segalanya. Misalnya, setelah kita menyusun program dan action plan lengkap, dan sudah berusaha maksimal, selalu ada satu ruang kosong bernama ketidakpastian; akan kah upaya kita berhasil? Apakah rencana kita sudah tepat? Demikian juga ketika kita membangun rumah, kita menyusun pagar dengan sebaik-baiknya dengan harapan tidak terjadi kejahatan pada kita dan keluarga kita, tetap saja ada ruang ketidakpastian; aman kah rumah ini? Aman kah kami ini? Demikian juga ketika kita berusaha mendidik anak/teman/istri/dan lain-lain, tetap saja menyisakan pertanyaan; akan kah berhasil? Bagaimana jika ada yang kurang? Dan lain-lain sebagainya.

Agaknya, ruang kosong itu lah, yang merupakan The God Space atau ruang Tuhan. Maksudnya, dalam ketidakpastian itu lah, kita menyandarkan keyakinan kita secara penuh, kepada Allah Swt, atau kalau dalam bahasa agamanya, disebut tawakkal, berserah diri. Saya teringat kepada seorang sahabat, waktu itu beliau ditugaskan Abu untuk sebuah tugas yang mengakibatkan dirinya sering meninggalkan anak-istrinya. Beliau bertanya pada Abu; bagaimana saya menjaga anak-istri saya ketika saya jauh dari mereka? Abu menjawab lebih kurang seperti ini: "Hai Fulan, walaupun kau hadir di depan anak-istrimu, anak-istrimu tetap saja bisa hilang, kau tak mampu menjaga mereka, yang mampu menjaga mereka adalah Allah Swt, oleh karenanya, hiduplah di jalanNya, dan kerjakan perintahNya! Dan tugas yang akan kau kerjakan ini, adalah termasuk pekerjaan di jalanNya!"

QS. 'Āli `Imrān(3): 159

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri kepada-Nya.


WAG Diskusi AFAS, 24/11, 21:59

Semangat

Dalam sebuah film fiksi terkenal, ada satu adegan dimana ada seorang yatim piatu suka berdiri di depan "cermin ajaib", dalam cermin tersebut, ia melihat kedua orangtuanya yang meninggal di saat ia dilahirkan. Selama berhari-hari, ia duduk berjam-jam lamanya memandangi cermin ajaib; yang menampakkan dia sedang bersama orangtuanya. Hingga satu saat ia ditegur oleh seorang tua bijak; orang paling bahagia tidak melihat apapun di cermin ini melainkan dirinya sendiri. Cermin ini bukan kenyataan, ia hanya menunjukkan impian terdalam kita. Harus aku ingatkan padamu, banyak orang menjadi gila gara² duduk termenung di depan cermin ini. Silahkan engkau mengenang masa lalu, namun jangan larut dalam masa lalu sehingga engkau lupa bahwa engkau hidup di hari ini. Ini adalah cuplikan dalam film Harry Potter. (Ternyata film fiksi sekalipun bisa memberi hikmah jika kita mau mencarinya).

Mari sejenak mengingat. Ingat 3 kenangan masa lalu, kenangan masa² terbaik kita, yang rasanya tak ternilai dan amat ingin kita kembali ke sana. Bila kita mengingatnya sejenak; kita akan bahagia. Namun bila kita mengingatnya terlalu lama; sangat mungkin kita menjadi sedih bahkan larut dalam kesedihan, dan malah memandang hari esok tak mungkin seindah hari kemarin! Akibatnya kita menjadi pesimis, kurang berteman, kurang berkarya, dan akhirnya merugi! Bukan kah Nabi saw bersabda yang artinya lebih kurang: Orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin adalah orang yang merugi. Oleh karenanya; pastikan, jangan sampai kita menjadi orang yang duduk termenung di depan cermin ajaib yang bernama kenangan masa lalu; kita duduk termenung, memandangi indahnya masa lalu, hingga lupa untuk hidup di masa kini. Bangkitlah! Semangatlah! Itulah mengapa kita dalam madrasah/pelatihan selalu mengulang-ulang jargon "selamat pagi!".

Akhirnya, saya ingin mengingatkan: Dalam surat Al Fatihah kita berdoa pada Tuhan; tunjukilah jalan yang lurus, jalan orang yang Kau beri rahmat, bukan jalan orang yang Kau murkai dan yang tersesat. Menariknya, dalam QS. 15: 56, Tuhan berfirman, mengabadikan pernyataan Nabi Ibrahim as sebagai berikut: Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat". Ternyata, keberputus-asaan adalah bagian dari ketersesatan. Dan, lupa hidup di masa kini karena terpana memandang masa lalu; bisa mengundang keputus-asaan. Akhirnya; jadikanlah masa lalu sebagai pengingat, sebagai pedoman, bukan hanya sebagai kenang-kenangan untuk diceritakan kepada anak-cucu dan teman di kala sedih melanda.

Nabi saw itu semangat, Nabi saw itu prajurit. Betapa beratnya pun cobaan menimpa beliau; beliau tak pernah larut termenung memandang masa lalu, atau kesedihannya akan orangtua, istrinya yang telah tiada, menghalanginya dalam menyampaikan risalah Tuhan Yang Maha Agung. Saya teringat motto marinir/paskhas/pasukan katak (intinya angkatan laut TNI), yang bunyinya kira-kira: "Saya siap bertempur dimanapun saya ditugaskan, dan dimanapun saya bertempur, saya akan menang." Agaknya, itulah mentalitas Rasulullah saw. Dalam mengerjakan tugas Tuhan; sukses itu bukan pilihan, tapi kewajiban. Oleh karenanya, tidak ada setitikpun kata gagal dalam kepala, yang ada hanya bagaimana saya mensukseskan ini? Bagaimana saya menunaikan amanah ini? Itu prajurit sejati, dan kita semua, orang-orang beriman, sejatinya adalah prajurit Allah ta'ala. Akhir kata, jangan sampai apapun menjadi penghalang semangat juang untuk menjadi hamba yang diridhai, yang berbuat kebaikan bagi sesama makhluk dan seluruh alam.


WAF Diskusi AFAS, 11/11/20, 23;45

Membahagiakan Orang Lain

Mengapa pelawak (comedian) biasanya kaya? Karena mereka membahagiakan orang lain. Orang yang membahagiakan orang lain dicintai manusia bahkan Tuhan. Tuhan cinta orang yang menghapus kesedihan orang lain, apalagi jika menambah kebahagiaan orang lain, apalagi jika membahagiakan yatim. Semua pekerjaan, adalah untuk membahagiakan orang lain. Manusia diciptakan untuk menjadi khalifah; maksudnya memastikan semua orang, bahkan hewan dan tumbuhan berbahagia. Peternak yang baik, adalah yang membahagiakan hewan ternaknya. Dan hewan ternaknya akan membalasnya dengan memberikan susu dan daging kualitas super. Dan Tuhan akan membalasnya dengan mencintainya.

Mengingatkan kita pada tausiyah Abu, lebih kurang seperti ini:

Muslim yang baik adalah; apabila orang lain bertemu dengannya, orang lain tsb menjadi semakin bahagia. Muslim yang tidak baik adalah; apabila orang lain bertemu dengannya, orang lain tsb menjadi semakin tak bahagia. Misalnya, ada seseorang yang semula memiliki skor kebahagiaan 50, karena kita marahi, kita kritik, kita koreksi, kebahagiaannya menjadi 30, itu tanda kita bukan muslim yang baik. Muslim yang baik membahagiakan orang lain, tak soal itu nasrani, yahudi, ateis atau siapapun. Tuhan ingin memastikan tidak ada orang tersakiti di dunia ini, itu alasannya Tuhan melarang menghardik yatim. Orang berbuat salah, untuk kita taubatkan, bukan untuk dimarahi.


WAG Diskusi AFAS, 11/11/20, 10;09

Cinta

Umat muslim se-dunia heboh dengan pernyataan sebagian politisi di barat saat ini. Dan memang tokoh² muslim moderat pun jelas tidak menyetujui pembelaan atas penggambaran Nabi saw. Dan, didorong rasa "cinta" banyak umat muslim melakukan tindakan² reaktif; marah, dan seterusnya. Saya pikir, wajar memang, ketika kita amat mencintai seseorang, hati kita sakit ketika orang yang kita cintai diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Maka, wajar pula seseorang kesal, bahkan marah jika kekasihnya, yang dikasihinya, dipandang atau diperlakukan tak sebagaimana mestinya. Masalahnya adalah; hari ini banyak orang memandang cinta mendalam itu ditunjukkan dengan bersuara lantang, yang suaranya lebih lantang, berarti dia lebih cinta, bahkan yang bertindak lebih "agresif" dianggap memiliki cinta yang lebih mendalam. Benar kah demikian? Benar kah semakin dalam cintanya, semakin agresif dan anarkis ia bersikap?

"Apalah artinya cinta tanpa kenyataan" kata The Mercy's dalam lagunya berjudul "Semua Bisa Bilang". Saya kira demikian juga mencintai Nabi saw; semua bisa bilang cinta Nabi saw, semua bisa bilang, tapi apalah artinya pernyataan cinta tanpa kenyataan? Bagaimana kenyataan? Menurut saya, wujud cinta tertinggi kepada Nabi saw adalah dengan menerapkan ajarannya; memaafkan. Sederhananya begini; cinta itu pengorbanan. Setuju? Baik, sekarang, mana yang lebih besar pengorbanannya, melampiaskan emosi kepada orang yang mencela kekasih kita, atau justru memaafkannya karena kekasih kita menyukai kita memaafkannya? Saya kira pengorbanan yang kedua lebih besar, kemaafan lebih membutuhkan pengorbanan dan kedewasaan mental yang lebih tinggi. Oleh karenanya, sangat mungkin, orang yang paling cinta Nabi saw saat ini, yang paling tersakiti hatinya, jangan² adalah orang² yang paling pendiam di antara kita, dia tak pernah membicarakannya, bahkan ketika orang membicarakan isu itu, dia mengalihkannya, karena bahkan dia pun tak tahan membahasnya, di sisi yang lain dia berusaha menghidupkan kebiasaan kekasihnya!

Cinta tanah air pun demikian; apa tanda cinta tanah air? Apakah mengatakan dengan lantang, negeriku lebih baik dari negerimu? Apakah dengan berkata aku cinta negeriku di whatsapp dan sosial media? Apakah cinta itu berarti bersuara lantang? Apakah cinta itu berarti meninggikannya dan merendahkan selainnya? Saya berpendapat itu bukan cinta, itu sombong saja. Cinta adalah berusaha mengharumkan tanah air, bukan dengan meninggikannya sembari merendahkan lainnya. Masalahnya adalah, sekali lagi; hari ini orang menafsirkan cinta tanah air adalah dengan merendahkan kaum atau mungkin negara lain. Sangat mungkin, yang paling mencintai tanah air adalah dia yang selalu diam saat orang membahas keunggulan negaranya sendiri. Sangat mungkin, yang paling cinta tanah air, justru yang sering mengucap kelebihan negara lain, karena ia jujur dan ingin masyarakat di negaranya belajar.

Kalau begitu, apa itu cinta? Apa tanda cinta? Apa bentuk cinta tertinggi? Wujud cinta tertinggi adalah mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dari agamanya, dari negaranya, dari Nabinya, dari kekasihnya. Tanda cinta itu sering disebut-sebut, bila masuk tingkat yang lebih tinggi; pesan²nya diamalkan, mungkin pada level tertinggi ia hanya fokus mengamalkan pesan²nya dan mewujudkan cita²nya, ia tak lagi menyebut²nya dengan bibir, justru hatinya yang selalu menyebut² dan selalu beserta dengannya. Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS, 8/11/20, 01;24

Dunia Adalah Penyakit

Saya pernah membaca joke (guyonan) di internet, seorang pria berkhayal: Bagaimana jika penuaan (aging) adalah sebuah penyakit yang ada di muka bumi, dan kita belum menemukan obat untuk menyembuhkannya? Walaupun itu adalah candaan, tapi itu sungguh penuh makna, terlebih bagi kita orang yang beriman akan keberadaan negeri akhirat yang kekal abadi. Mari kita lihat internet; ia adalah sebuah tempat yang pada dasarnya tanpa aturan, negeri kebebasan, itulah internet. Dengan segenap kebebasan itu, bagaimana ciri² orang yang aktif di internet/pegiat sosial media? Tidak sedikit di antaranya adalah tukang kritik, tukang pamer, dan lain sebagainya. Konten internet juga begitu banyak; dan tak sedikit yang negatif seperti teori konspirasi, prasangka, pornografi, dsb. Namun, tak sedikit pula yang menyukai hal² tersebut bahkan membelanya! Dalilnya adalah kebebasan berpendapat, seni, dan lain-lain. Sebenarnya, internet adalah representasi dari dunia; sebuah negeri tanpa aturan, hasilnya? Tentu ada orang baik di dalamnya, namun biasanya orang baik, apalagi yang benar² baik, biasanya tersembunyi.

Itulah sebabnya, semua orang di dunia pernah mengalami kekecewaan, bahkan pada dasarnya semakin lama kita hidup di dunia, semakin banyak kita akan menemui hal² yang mengecewakan. Oleh karenanya, bagaikan penyakit; kita selalu berusaha membuang penyakit. Dan pada akhirnya, kita memang harus meninggalkan penyakit terbesar; yaitu dunia itu sendiri. Dalam bahasa arab sendiri, dunia memiliki arti rendah/hina dan pendek. Itulah mengapa Nabi saw bersabda redaksinya lebih kurang; dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir. Maka sudah sewajarnya, dunia yang kita tinggali hari ini, jangan kita pandang sebagai tempat peristirahatan terakhir, tapi pandanglah ia sebagai tempat menanam kebajikan, tempat menebar rahmat Tuhan, dan sebagai tempat berteduh untuk kembali ke sisiNya.

Dan ambil lah bekal dari dunia secara sewajarnya, karena memang dunia pada dasarnya adalah penyakit. Buya Hamka pernah berkata lebih kurang: Harta yang kau makan akan menjadi kotoran, harta yang kau simpan kelak akan menjadi rebutan, harta yang kau sedekahkan kekal abadi. Demikianlah memperlakukan dunia ini, jadikanlah ia tempat melakukan kebajikan, tempat mencari bekal untuk pulang kampung; akhirat di sisi Allah. Akhir kata, jangan takuti negeri akhirat, tapi justru rindukanlah, karena memang, semakin kita tadabburi Alquran, semakin lama kita hidup, akan semakin terasa bahwa dunia adalah penyakit yang suatu saat harus kita lepas. Seorang ulama, kalau tidak salah Maulana Jalaluddin Rumi, atau mungkin Imam al Ghazali pernah berkata lebih kurang: Meninggal dunianya orang mukmin, bagaikan burung yang lepas dari sangkar.


WAG Diskusi AFAS, 1/11/20, 18;52

Klarifikasi

Seberapa penting klarifikasi? Hal apa yang perlu diklarifikasi? Dari 100 hal, berapa yang perlu diklarifikasi? Sore ini, saya keluar dari mall, berhubung pembayaran non-tunai di Malaysia, caranya adalah dengan menempelkan kartu uang non-tunai (di Malaysia disebut Touch n Go) di tempat yang disediakan. Masalahnya, sudah 5 menit berlalu, sudah 3 kartu berbeda saya coba, tempat menempelkan kartu tersebut sepertinya bermasalah. Di tempat menempel kartu ada tombol meminta tolong petugas, saya pun berhubung dengan si petugas; dimana petugas meyakini saya menempelkan di tempat yang salah! Saya jelaskan; cik, saya dah tempel di tempat yang benar! Akhirnya dia pun datang, kartu saya dia ambil dan tempelkan di tempat menempelkan kartu; anehnya sekali coba langsung berhasil! Dia pun menjelaskan; cik, tempelnya di sini, bukan di sebelahnya. Sebenarnya saya sudah melakukan apa yang dilakukannya, dan saya tidak pernah melakukan apa yang dia sangkakan, namun saya hanya meminta maaf dan berterimakasih lalu berlalu, dalam hati saya; aku sudah menempel di tempat yang dia tempel, tapi tak berhasil.... 😄

Terkadang hidup menempatkan kita di situasi seperti itu; tidak bisa klarifikasi. Mari kita kembangkan beberapa pertanyaan: Kalau saya klarifikasi, akan kah dia percaya? Untuk meyakinkannya, perlu waktu lama kah? Kalau saya berdebat di sana, apakah pengemudi mobil di belakang akan marah? Bahkan sebenarnya, apakah si petugas ataupun pengemudi di belakang saya mempedulikan saya benar atau salah? Agaknya yang mereka pedulikan hanya 1: Ingin kembali ke rumah dengan selamat, dan sejujurnya itu pula yang saya pedulikan. Akhirnya, hal-hal ini menuntun saya untuk tidak mengklarifikasi. Kita teringat pada pesan Abu: Klarifikasi tidak perlu, kecuali jika menyangkut kepentingan orang banyak. Benar sekali, apalah artinya kita memenangkan sebuah adu pendapat, hanya untuk dianggap benar atau baik? Bukan kah yang penting adalah Tuhan menganggap kita baik, dan Tuhan sayang pada kita?

Ini adalah suatu cara berpikir. Dan agaknya cara berpikir ini, bisa menghindarkan kita dari berbagai konflik. Hindari adu argumen, kecuali untuk hal yang menyangkut kepentingan umum. Ibadah, menolong orang lain jauh lebih membahagiakan daripada adu argumen. Ibadah, menolong orang lain, jauh lebih mendekatkan kepada ridha Allah. Bahkan, bila berhadapan dengan orang yang sulit mengalah; biarkanlah ia menikmati kebahagiaan mengalahkan kita dalam adu argumen, kebahagiaannya lebih berarti daripada memenangkan sebuah adu argumen, bukan kah Nabi saw menjanjikan rumah di puncak/tengah surga bagi orang yang meninggalkan debat meski dirinya benar? Bahkan lagi, sekiranya hak kita diambil pun, sebaiknya relakan. Kita suka urusan kita dimudahkan Tuhan di dunia lebih-lebih di akhirat, dan salah satu caranya adalah dengan meringankan bahkan merelakan hak-hak kita. Bukankah sebagai orang Islam, apalagi orang Tasawuf, kita meyakini Allah saja sudah cukup? Wallahua'lam...


WAG Diskusi AFAS, 27/10/20, 23;25

Jangan Ada Penyesalan

Dalam terminologi tasawuf, kita mengenal 3 peringkat spiritualitas manusia, yakni: Nafsul Ammarah (Jiwa yang tersesat), Nafsul Lawammah (Jiwa yang menyesal/mencela dirinya sendiri), Nafsul Mutmainnah (Jiwa yang puas/tenang). Di sini bisa kita lihat, untuk mencapai derajat yang lebih tinggi dari peringkat ter-rendah, seorang manusia harus menyesali perbuatan buruknya yang telah dia lakukan (istighfar), namun saat kembali menghadap Allah, hendaklah ia telah memasuki peringkat tertinggi, yakni tenang atau puas; tenang karena ia telah meninggalkan keburukan, tenang karena ia telah menabung banyak kebaikan, tenang karena percaya pada Allah, dan puas, karena tidak ada penyesalan.

Sekitar tahun 2008-2010, Abu pernah membaca, membagikan dan membuat bedah buku berjudul 5 rahasia yang harus anda ketahui sebelum mati, karangan John Izzo, sebuah buku yang bagus, dan tentunya menjadi forum bedah buku yang mencerahkan. Buku tersebut disusun dengan cara yang menarik; penulis (John Izzo) dan team-nya mewawancarai 200 lebih orangtua berusia 60 tahun ke atas, yang dianggap telah menemukan kearifan hidup, di seluruh dunia! Dari seluruh wawancaranya, mereka mencoba menarik 5 kearifan, yang kemudian disebut sebagai 5 rahasia, yang salah satunya adalah jangan ada penyesalan. Dalam buku tersebut, ada satu ungkapan menarik oleh seorang tua yang arif; "di ranjang kematianmu, yang kau tangisi bukanlah takut akan mati, tapi tangis penyesalan atas hal-hal yang seharusnya dulu kau lakukan/tak lakukan."

Sangat menarik, bila kita lihat, sepertinya perjalanan psikologis manusia, memiliki proses yang mirip dengan perjalanan spiritual manusia, dan yang lebih menariknya, ternyata orangtua arif dari berbagai latar belakang dan agama, bisa memiliki kesimpulan yang mirip dengan para ulama tasawuf! Tentulah, seorang manusia tidak bisa memiliki ketenangan batin, tanpa ada penyesalan atas kesalahan yang dilakukannya ataupun atas kebaikan yang tak sempat dilakukannya. Namun, jangan sampai perasaan bersalah itu mendominasi kita. Rasa bersalah yang mendominasi, secara psikis bisa mengakibatkan gangguan kejiwaan seperti kecemasan dan depresi, yang menariknya dalam terminologi tasawuf, orang yang larut mencela dirinya sendiri ataupun larut dalam penyesalan, belum mencapai peringkat spiritual tertinggi.

Dalam QS. 10: 62 Tuhan menegaskan, para wali Allah itu tak khawatir dan tak bersedih! Bahkan ini tak eksklusif hanya bagi wali Allah, orang yang beriman, berserah diri, berbuat baik, dan patuh pada Tuhan pun mendapat jaminan yang sama! Ini tercermin dalam QS. 2: 38, 2: 112, dan banyak lainnya. Oleh karenanya, pertanyaan terpentingnya adalah: Bagaimana cara "naik peringkat" dari diri yang penuh penyesalan menjadi diri yang tenang/puas/ridha? Sebenarnya ini adalah topik yang sangat menarik utk di-cfmkan, kita bisa melemparkan 2 pertanyaan saja: 1. Apa yang akan membuat kita menyesal? 2. Apa yang akan membuat kita puas/tak menyesal? Lemparkanlah pertanyaan ini pada forum, kita akan memperoleh banyak sekali jawaban, banyak sekali kearifan! Dan, utk keluar dari penyesalan, sangat sederhana... lakukanlah yang membuat kita puas, dan jangan lakukan yang membuat kita menyesal!

Hati yang tiada penyesalan, itulah dia hati yang tenang, "qalbun salim", yang bisa berarti hati yang tenang, ataupun hati yang bersih, ataupun hati yang selamat. Qalbun salim ini lah, aset kita utk menghadap Tuhan kelak (QS. 26: 89). Dan qalbun salim ini lah, menurut Yahya bin Mu'adz, seorang sufi, kita menempuh perjalanan di akhirat kelak, beliau berkata: Padang di dunia ditempuh dengan kaki, padang di akhirat ditempuh dengan hati. Fisik yang obesitas, memiliki beban berat badan banyak, sulit berjalan jauh dan cepat. Agaknya demikian di akhirat, hati yang memiliki beban berlebih sulit berjalan jauh dan cepat. Akhir kata, jangan ada penyesalan, mengingatkan kita pada satu deret syair lagu My Way karangan Frank Sinatra, yang sering dinyanyikan Abu: "Regrets, I've had a few, but then again, too few to mention. I did, what I had to do, and saw it through, without exemption." (Penyesalan, aku memilikinya, namun, begitu sedikit. Aku telah lakukan, apa yang harus kulakukan, semuanya kulalui tanpa pengecualian).


WAG Diskusi AFAS, 19/10/20, 11;47

Bahagia, satu-satunya pilihan

Ada seorang ilmuwan sains. Pengetahuannya tentang sains begitu banyak. Di perusahaan tempatnya bekerja, dia amat sering diminta memberikan pengarahan dan pengajaran sains. Ia dekat dengan pemilik perusahaan, yang kebetulan juga senang dengan sains, yang menyebabkannya semakin sibuk karena sang pemilik terus memberi proyek, bahkan sering mengundang meski sesekali hanya untuk berdiskusi bersama. Namun si ilmuwan memiliki satu kelemahan; ia terkenal angker (menyeramkan), sehingga tak banyak orang yang ingin bergaul dengannya. Namun kekurangan itu tertutupi dengan banyaknya kelebihan lain yang dimilikinya; ilmunya, pengalamannya, dll. Suatu saat sang pemilik perusahaan meninggal, dan perusahaan ini pun tutup pula, sehingga sang ilmuwan kehilangan tempat bergantungnya selama ini; sang pemilik perusahaan. Dulu ia senantiasa tersibukkan karena senantiasa dipekerjakan oleh sang pemilik perusahaan. Sepeninggal sang pemilik perusahaan, diri aslinya barulah tampak; keangkerannya membuatnya sulit mencari teman, sulitnya ia mendapatkan teman membuat ia sulit mendapatkan proyek, sehingga sepinya proyek menjadikannya pengangguran terselubung! Beberapa waktu yang lalu ia biasa lalu-lalang keluar kota, memberikan ceramah, berdiskusi di gedung elit perusahaan, kini ia terdiam sepi, menganggur di rumahnya, bersama istrinya yang juga telah berumur, dengan kondisi keuangan yang perlahan semakin merosot!

Ketidakmampuannya bergaul dan ketidakmampuannya memperoleh proyek, ia kompensasikan ke dalam kegalauan demi kegalauan. Ia merasa masa keemasan hidupnya telah berlalu, sebenarnya ia berada dalam situasi tak sedap tapi ia bingung bagaimana keluar dari situ! Kesedihan yang berlarut itu pun mengantarnya pada situasi depresi, sehingga ia terpaksa menemui psikiater dan ia dianjurkan untuk minum obat. 3 bulan lamanya ia minum obat, dalam keadaan depresi, ia mulai lelah. Ia bertanya pada psikiaternya; aku lelah dengan ini semua, bagaimana aku mengakhiri semua ini? Sang psikiater berkata: "Hanya bila engkau meridhai segalanya, kesedihanmu bisa berakhir." Ridha... pikir si ilmuwan. Terus terang ia tak bisa menemukan bagaimana caranya utk meridhai segala kehilangan yang telah dialaminya. Namun, ia sudah sangat lelah berada dalam situasi depresi! Akhirnya, dia pikir, "aku tak tau bagaimana caranya ridha, yang jelas aku tak boleh selamanya seperti ini, biarlah aku menyibukkan diri sendiri setidaknya agar hilang galauku walau sesaat!" Akhirnya, perlahan ia menurunkan keangkerannya; wataknya yang pemarah, perlahan ia lembutkan, sifatnya yang keras, ia lunakkan, sikap perfeksionisnya ia tundukkan sehingga ia mampu memaafkan, bertoleransi, dsb.

Di saat dia mulai memperbaiki akhlaknya, ternyata perlahan teman-temannya mulai membanyak. Ia pun segera dimintai nasehat-nasehat oleh teman-temannya, tentang apapun; ilmu sains, pengalaman hidupnya, tentang manajemen perusahaan. Lambat-laun, ia menjadi sangat sibuk, dan tanpa disadari ternyata teman-temannya yang dulu sering bekerja bersamanya mulai kembali bersama dan mereka pun akhirnya secara kecil-kecilan memulai perusahaan mereka sendiri! Tak disadari, 2 bulan telah berlalu dengan penuh kesibukan, hingga ia telah lupa bahwa dirinya mengalami gangguan depresi, sehingga dirinya baru sadar bahwa dia sudah tak minum obat selama hampir 1 bulan yang lalu! Obatnya ia tinggalkan karena ia lupa, terlalu sibuk bekerja. Dia pun menjumpai sang psikiater, menceritakan keadaannya, maka sang psikiater pun berkata: "Engkau telah sembuh, tidak perlu kau minum lagi obat itu. Engkau sekarang sibuk, sekarang kerjamu banyak, temanmu banyak, pendeknya sekarang engkau bahagia. Memang, jika engkau ingin sembuh, bahagia adalah satu-satunya jalan, dan kau telah menempuhnya." Bukan main senang sang ilmuwan, tak hanya ia mendapat banyak teman, banyak proyek, banyak rezeki, bahkan kini ia telah sembuh! Hidupnya berubah ketika ia mulai memperbaiki akhlaknya.

5 tahun telah berlalu... kini ia berbaring di tempat tidur rumahnya, yang berada di samping kantor perusahaannya sendiri! Visi-misi perusahaannya sederhana saja; meneruskan impian dan cita-cita pemimpinnya dahulu. Sambil berbaring, ia merenung: "Dulu aku tak tau caranya meridhai." Bahkan sebenarnya sampai detik ini, ia pun tak tau bagaimana ia berhasil meridhai rintangan terberat dalam hidupnya. Hingga akhirnya dia berpikir: "Jangan-jangan bukan aku ridha, tapi Tuhan telah memampukanku ridha. Karena Tuhan menurunkan kasih sayangNya padaku." Mengapa? Pikirnya. Mengapa Tuhan Yang Maha Tinggi itu rela menurunkan kasihNya yang begitu mahal kepada dirinya yang hina-dina? Pikirnya. "Mungkin hanya gara-gara hal kecil... aku berhenti marah, aku tak lagi keras kepala, aku kini toleran dan pemaaf... mungkin...."


WAG Diskusi AFAS, 17/10/20, 17;44

Optimis

Optimisme adalah DNA orang beriman; karena orang beriman sejatinya mempercayai keajaiban. Keimanan itu memicu orang terus berbuat sesuatu yang akibatnya tidak kontan/tunai, misalnya salat, zikir, puasa, memperbaiki akhlak, dll. Sebaliknya tidak beriman ataupun ateisme, sejatinya memiliki DNA pesimis; tidak mempercayai sesuatu yang tidak/belum bisa dijelaskan dengan sains/logika/akal. Oleh karenanya, orang beriman, harus optimis, ini diabadikan dalam Alquran Surah Yusuf (12): 87, ucapan Nabi Ya'qub as ketika meminta anak²nya mencari Yusuf as: "Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".

Orang beriman wajib optimis. Apa itu optimis? Optimis itu bersyukur. Optimis itu memandang hari esok lebih baik dari hari ini, dan hari ini lebih baik dari hari kemarin. Optimis itu tidak baperan, tidak nelongso, tidak menangisi apa yang telah tiada. Prof. Quraish Shihab pernah mengatakan lebih kurang: Mengenang kejayaan masa lalu adalah cara untuk meredam kesakitan yang tengah dialami hari ini. Dalam umat Islam, cukup banyak yang merasa bahwa orang baik/saleh, hanya ada di masa lalu dan tidak mungkin lagi ada sekarang, oleh karenanya pintu ijtihad tidak bisa dibuka lagi. Dalam hal ini, pernah Abu menyatakan: Saat ini orang baik/saleh masih banyak, bahkan yang sekelas penggembala kambing yang ditawari Sayyidina Umar ra dibeli banyak gembalaannya namun menolak karena ia merasa walaupun tuannya tidak tau, tapi Tuhan tau (silahkan cari sendiri kisah lengkapnya).

Demikian juga kebiasaan di komunitas kita, di masyarakat kita, bahkan mungkin di negara kita. Orang-orangtua, senior-senior, bahkan kita sendiri sangat suka mengulang-ulang: Tak ada yang sebaik masa lalu, masa keemasan sudah berlalu, orang dulu jauh lebih baik dari orang sekarang. Sebenarnya, ungkapan seperti ini di samping menggambarkan pesimisme dan kesedihan, ia juga menggambarkan kesombongan; betapa banyak orang baik hari ini di komunitas, masyarakat dan negara kita, yang rela mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawanya, namun para pesimis tetap mengatakan: "ah tetap tak sebaik dulu", ia menafikan segala kebaikan yang telah terjadi hanya karena sekarang bukan lah dulu. Sebenarnya dengan kritis kita bisa bertanya: Apakah Tuhan hanya ada di hari kemarin? Bukan kah Tuhan selamanya ada? Maka bukan kah berarti kasih sayangNya selalu ada? Maka bukan kah berarti setiap hari adalah hari terbaik?

Sebagai penutup, saya terkenang Abu pernah bertutur kira-kira: Saya membayangkan, betapa enaknya zaman Nabi saw, betapa bahagianya seandainya bisa hidup di zaman Nabi saw; bisa memandang Nabi, bisa bersama Nabi, dst. Namun, kemudian saya berpikir lagi; bukan kah sejatinya, sekarang Nabi saw juga tetap ada? Ajarannya ada bersama kita, hadis-hadisnya bersama kita, salawat-salawat bisa kita haturkan dengan mudah, dst. Bukan kah Nabi saw sejatinya juga bersama kita? Demikianlah penyampaian beliau. Oleh karenanya, kita bisa mengambil kesimpulan, sebenarnya kebahagiaan dan keutamaan dulu tetap bisa kita peroleh sekarang bila kita mau bersungguh-sungguh. Lebih jelas lagi, Tuhan lebih luas dari masa lalu, untuk menggapai Tuhan kita tak harus kembali ke masa lalu, Tuhan selalu melapangkan TanganNya bagi siapa yang hendak berpacu menujuNya.


WAG Diskusi AFAS, 14/10/20, 17;18

Peradaban

Peradaban (per-an + adab , posesif ku, mu, nya; partikula: kah, lah):

1. Kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin:

bangsa-bangsa di dunia ini tidak sama tingkat peradabannya

2. Hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa

(Sumber: Wikitionary)

Peradaban, ataupun sebuah masyarakat yang teratur, makmur, adalah impian semua orang dengan berbagai latar belakang, berbagai standar moral, dan berbagai keyakinan. Kepala negara, kepala daerah, kepala keluarga, bahkan kepala sebuah rumah makan, menginginkan kemakmuran pada institusi dan masyarakat yang dipimpin/ia di dalamnya. Menariknya, orang baik, orang jahat, orang tulus, koruptor/pelaku rasuah, pun menginginkan kemakmuran/kemajuan, atau setidaknya jika ditanya pasti mereka menjawab mereka inginkan kemajuan. Persoalannya ada 2, yang pertama tidak semua orang berhasil membangun peradaban, mungkin kurang dari 20% manusia berhasil membangun peradaban, dan persoalan kedua adalah semua orang merasa cara yang ditempuhnya benar, bahkan tak jarang merasa cara yang ditempuhnya merupakan satu-satunya cara. Oleh sebab itu, sebelum kita mempertengkarkan cara mana yang benar, lebih baik kita pelajari siapa yang berhasil membangun peradaban dan apa kesamaan di antara mereka?

Dalam sebuah hadis disebutkan setidak-tidaknya Tuhan mengutus setidak²nya 124.000 orang Nabi dan 313 orang Rasul. Dalam sebuah hadis juga disebutkan, tidak ada suatu kaum melainkan pernah diutus kepadanya seorang Nabi. Apa yang dibawa para Nabi? Sebagai orang Islam, kita meyakini yang pertama adalah pesan² monoteisme (hanya ada 1 Tuhan Yang Maha Esa). Dan, di samping itu, adalah pesan² kebajikan, pesan² moral, pesan² tentang akhlak dan tentang adab. Menariknya, dalam sebuah artikel, kata Abu ditemukan, bila masyarakat telah sampai pada puncak kerusakannya, akan hadir seorang pembaharu utk memperbaiki situasi di masyarakat tersebut. Di perkampungan narkoba, seorang Ibu memberantas narkoba setelah anaknya meninggal karena narkoba, seorang Ibu, seorang diri berjuang melawan kartel narkoba di perkampungan tersebut, melewati berbagai bahaya dengan satu semangat: Jangan ada anak lain yang meninggal karena narkoba. Ada pula orang² tua yang membuat yayasan merehabilitasi pemabuk, setelah anaknya ditabrak pengemudi mabuk, alasannya hanya 1: Jangan sampai anak orang lain juga meninggal gara² pemabuk. Di India, pernah ada seorang pria yang membelah bukit agar desanya mendapatkan air. Mereka fokus membangun dan menyiarkan kebajikan, mereka itulah para pembaharu!

Oleh sebabnya pernah Abu berkata, kenabian telah berakhir, tapi manusia selalu membutuhkan Tuhan, itu sebabnya Tuhan terus mengirim para Auliya. Jangan mengartikan Wali dalam pengertian hanya terbatas ahli zikir saja. Dalam kesempatan lain Abu turut mengatakan, orang yang berbuat baik, mencegah kemungkaran, mengajarkan kebaikan, orang bertaqwa, mereka itu juga wali-wali Allah. Wali Allah jauh lebih banyak dari yang kita kira. Sangat mungkin ada orang baik di sekitar kita, ternyata ia adalah wali, mungkin saja? Kembali kepada membangun peradaban, tentu kita tidak menganggap semua orang adalah Nabi ataupun Wali, tapi satu hal yang tak bisa dipungkiri, mereka memang membawa pesan² ketuhanan, pesan² kenabian, pesan² kewalian, yaitu tentang membangun akhlak mulia. Menariknya, kata peradaban sendiri berasal dari kata adab. Artinya, tanpa adab, tiada peradaban.

Tempat yang tertinggi (Al-'A`rāf):96 - Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.


WAG Diskusi AFAS, 7/10/20, 12;25

Bully

Bully adalah masalah manusia dari masa ke masa. Bully adalah masalah kita saat ini. Dimana-mana terjadi bully. Senior pada junior, yang lantang pada yang pendiam, yang berkemampuan pada yang pemula, yang tua pada yang muda, dan seterusnya, dan seterusnya. Begitu banyak guru dalam berbagai disiplin ilmu, yang gemar membully. Guru musik, guru masak, guru beladiri, guru sekolah, gemar membully, dengan sebuah alasan: Membangyn mental. Benarkah membangun mental? Mungkin lebih tepatnya sakit hati. Ia menerima begitu banyak sakit hati dari gurunya sebelumnya, dari seniornya sebelumnya, dari pendahulunya sebelumnya, hatinya sakit, tapi ia tak mampu membalas, hatinya sakit, ia ingin semua orang tau, dan ia beritahukan dengan segala cara: Curhat, bergunjing, berwajah masam, upload status, mempersulit orang lain, termasuk dengan cara membully murid/juniornya.

Sebenarnya, saya ingin berpendapat; segala tata-krama yang tidak substansial, yang tidak berkaitan dengan langsung dengan pesan agama, dan tidak berkaitan langsung dengan keselamatan, sejatinya juga merupakan wajah² lain dari sakit hati. Manusia gemar menciptakan peringkat, gelar kehormatan, dan lain sebagainya. Betapa banyak orang yang ingin mendapat gelar kehormatan yang banyak, hanya karena satu alasan: Ingin balas dendam! Amat sakit ia menerima perlakuan dari atasan, dari seniornya dulu, sehingga ia ingin menjadi boss, agar ia bisa membalasnya! Demikian juga peraturan, betapa banyak peraturan yang di luar sadar terbuat, karena ingin balas dendam, ingin mempersulit orang yang dulu mempersulitnya, kalau tidak bisa mempersulit orangnya langsung, mempersulit keluarga, teman, atau kaumnya pun, jadi lah!

Namun, banyak juga senior, guru, dan orang berkemampuan yang tidak demikian: Mereka memudahkan begitu banyak hal, mereka tidak membangun kasta, tidak membangun tata-krama yang tidak substansial, mereka tidak suka membully. Dimana bedanya mereka dengan jenis yang satunya? Pemaaf. Mereka menerima bully dari senior mereka, tapi mereka justru memutuskan, untuk tidak membully kemanapun. Pemimpin, senior, dan tokoh seperti ini sangat disukai dan cepat mendapatkan posisi di hati masyarakat, sebut saja Jurgen Klopp, manager Liverpool saat ini. Orang mencintai Klopp, karena ia tidak membully, ia tidak eksklusif, ia berwajah ceria, ia memudahkan. Ia bisa saja menjadi seperti manager yang suka membully. Pasti ia pernah menerima bully dari manager atau seniornya, namun mengapa ia putuskan tidak demikian? Pemaaf, itulah kurikulum yang harus dimasukkan dalam setiap pelajaran sekolah, pelajaran kuliah. Kalau tidak? Siklus/cycle bully akan terus berulang.

“Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah SWT akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim no 2588)


WAG Diskusi AFAS, 27/9/20, 02;25

Menyalurkan Kebaikan Dengan Tepat

Seorang pakar bisnis (kalau tidak salah Bill Gates atau Warren Buffett) pernah mengatakan lebih kurang: Perbedaan orang sukses dan orang super sukses adalah, orang super sukses selektif. Demikianlah, bahkan saking selektifnya, terkesan pelit. Aktor² top juga demikian, Meryl Streep, Clint Eastwood, dikabarkan tidak mau bermain di sembarang film. Reza Rahadian di Indonesia juga sama, ia tidak mau sembarangan main film, bahkan ia menolak banyak tawaran main di sinetron FTV kalau tidak salah. Sekilas, orang-orang seperti itu seperti sombong, namun bila kita dalami bukan sombong, tetapi itu bagian dari komitmennya untuk memberikan yang terbaik. Sebenarnya konsep menyalurkan kebaikan secara tepat ini sangat dilakukan oleh Nabi saw, terabadikan dalam kisah: Suatu ketika orang datang minta uang/makanan, Nabi saw berikan. Lalu setelah berturut-turut 3 hari, di hari ke-3 Nabi saw memberinya kapak untuk bekerja. Apakah Nabi saw pelit? Tidak! Beliau selektif! Beliau ingin menyalurkan kebajikan secara tepat! Agaknya sunnah Nabi saw yang satu ini lah yang kurang dikerjakan umat muslim namun banyak dikerjakan oleh orang-orang sukses seperti aktor² ternama tadi.

Dengan perkataan lain, Nabi saw tidak ceroboh/gegabah. Banyak orang ceroboh/gegabah mengatasnamakan niat ingin membantu, niat menolong, dst. Betapa banyak orang memasuki pernikahan dengan calon pasangan yang belum ia kenal pasti, diatasnamakannya tidak mau pacaran, begitu menikah, mereka menderita! Itulah ceroboh. Sama halnya dengan memulai bisnis; banyak orang baru menonton film apa, diajak temannya, dia memasuki bisnis tanpa tau resikonya, tanpa tau akibatnya, akhirnya bisnsinya gagal dan ia menjadi seorang yang penug hutang! Komitmen untuk menyalurkan kebajikan secara tepat, sesungguhnya adalah bagian dari respek; tidak ingin mengecewakan orang lain dan merupakan ketulusan juga. Oleh karenanya, bila kita dirasa kurang dalam hal ini, kita perlu meningkatkan respek, dan meningkatkan ketulusan.


WAG Diskusi AFAS, 16/9/20, 20;47

Menjadi Orang Efektif

Abu pernah berkata kepada kami: Ada 3 tipe manusia: 1. Politisi, hanya melakukan yang "baik"; 2. Ilmiawan, hanya melakukan yang "benar"; 3. Eksekutif, hanya melakukan yang "mungkin"; manusia efektif, adalah yang bertipe eksekutif. Tipe manusia politisi, hanya berusaha mengambil hati orang, melakukan yang mencuri perhatian orang. Orang jenis ini biasanya dikenal sebagai orang ramah, pemurah, dermawan, enak diajak bicara, namun kelemahannya kadang mau mengorbankan prinsip, bahkan berlaku tidak jujur, pada level yang akut, bisa menipu. Tipe manusia ilmiawan, hanya berusaha melakukan segalanya sesuai aturan, sesuai buku. Orang jenis ini biasanya dikenal sebagai orang yang rigid/ribet/saklek, cenderung kurang kawan, tidak enak diajak bicara, namun kelebihannya adalah cenderung jujur dan setia pada prinsip. Tipe manusia eksekutif, adalah manusia yang berhasil memadukan antara "baik" dan "benar" menjadi "mungkin". Proporsional. Dan memiliki keramahan dan kemurahan hati seorang politisi, namun memiliki kejujuran dan kesetiaan prinsip seorang ilmiawan. Dan ia berhasil mengelakkan kecenderungan menipu maupun kecenderungan rigid/ribet. Manusia yang efektif di kantor, jelas manusia tipe eksekutif. Dan, yang lebih banyak perbuatan baiknya, harus kita terima, adalah tipe eksekutif.

Politisi, ilmiawan, eksekutif, itu semua hanya istilah saja. Jangan gara² membaca tulisan ini citra politisi dan ilmiawan menjadi buruk, itu hanya pengistilahan saja; karena banyak politisi dan ilmiawan baik dan efektif. Pelajaran yang ingin ditekankan adalah: Kita perlu berjuang menjadi orang yang fokus pada berbuat baik, bukan fokus mengambil hati orang, ataupun terlalu kaku dengan standard atau aturan yang kita buat sendiri, sehingga malah menyulitkan orang lain! Pelajaran lainnya: Belum tentu orang yang dikenal ramah ataupun dermawan itu benar-benar baik. Di sini banyak orang terjebak. Banyak orang merasa jika sudah ramah dan dermawan, dia sudah menjadi oramg berakhlak mulia. Dengan tegas kita katakan: Belum cukup! Dia juga harus jujur, harus setia kebenaran, harus amanah, dia harus ber-7ndy. Ini sebabnya mengapa, terkadang kita temui ada orang pemurah dan ramah, nasibnya sulit, karena masih banyak cacat akhlaknya, dan sangat mungkin pemurah dan dermawan ini sendiri, bukan berangkat dari keinginan tulus membantu, namun untuk membangun imej/image bahwa dirinya adalah seorang dermawan, dengan perkataan lain, tidak tulus. Pelajaran lainnya lagi: Betapa sering kita bingung, mengapa proyek kita tidak juga berhasil; khususnya MZ, atau masjid, yang kita urus tak banyak orang datang, padahal seluruh aturan telah kita ikuti? Terkadang, kita terlalu fokus memenuhi syarat² administratif dan melupakan tujuan, yaitu memudahkan orang lain. Pelajaran lainnya lagi: Sangat mungkin orang yang benar-benar baik itu, terkadang bukan orang yang terlampau ramah, tapi justru adalah orang yang biasa-biasa saja. Sekali lagi, ternyata baik menurut kita, belum tentu baik menurut Tuhan, maka, ber-7ndy-lah, berislam kaffah lah. Wallahua'lam.


WAG Diskusi AFAS 16/9/20, 20;27

Merasa Mendengar Suara Tuhan

Banyak orang yang terlalu mengandalkan intuisi, dan mengabaikan fakta dan logika² penting, saat mengambil keputusan penting dalam hidup. Masalahnya, sering sekali orang menuduh Tuhan telah memberinya petunjuk; dengan ia telah istikharah, datang mimpi kepadanya, dan lain-lain, dianggapnya sebagai suatu petunjuk, atau suara Tuhan kepadanya. Ini terjadi dalam berbagai usia; tua maupun muda, dan terjadi dalam berbagai jenis keputusan yang hendak diambil; pernikahan, bisnis, dll. Biasanya terjadi di kalangan pemuda yang hendak menikah, ia sudah melakukan istikharah, lalu dibilangnya saja Tuhan sudah menunjuki saya untuk menikahi pujaan hatiku! Banyak pertanyaan kritis yang bisa diajukan di sini: Apa benar itu dari Tuhan? Bagaimana jika itu perasaan kita saja? Dan pertanyaan yang paling penting; bagaimana cara mengetahui apakah itu memang petunjuk/suara Tuhan?

Bagi saya, yang benar-benar ahli "mendengar suara Tuhan" hanyalah para Nabi dan Rasul. Mereka lah yang mendapat wahyu, mendapat suhuf (lembaran), dan sebahagiannya mendapat kitab suci. Di luar dari itu, kita tidak berani mengatakan pasti pendengarannya akan suara Tuhan, atau setidaknya kita tidak berani mengklaim secara publik dan lantang, seorang pun yang bukan Nabi dan Rasul; 100% tepat pendengarannya akan "suara Tuhan". Bahkan sekaliber Nabi Ibrahim as pun, ketika mendapati wahyu 3x berturut-turut untuk menyembelih anaknya; tetap meminta pendapat anaknya! Padahal ia seorang Nabi, usianya sudah 90an, dan usia anaknya hanya sekitar 7 tahun! Di sini, tampak sebuah sikap kehati-hatian dan tidak mengabaikan fakta dan logika. Nabi Ibrahim as, seorang ulul azmi, bergelar Khalilullah, derajat dan pangkat kenabiannya di bawah Nabi saw, dengan gelarnya bapak para Nabi sekalipun berhati-hati. Berbanding terbalik dengan kita; yang bukan Nabi, bukan pula orang saleh, masih muda, dll, terkadang justru begitu percaya diri dan mudahnya mengambil keputusan atas dasar intuisi, dan menuduh Tuhan telah menunjuki kita!

Kembali pada pertanyaan awal: Bagaimana cara manusia awam, hina-dina seperti kita mendengar "suara Tuhan?" Saya kira, satu²nya cara yang paling bertanggungjawab adalah; memeriksa rujukan, Alquran dan Nabi saw. Oleh karenanya, setiap sebelum mengambil keputusan, cocokkan dengan Alquran, cocokkan dengan akhlak Nabi saw, lontarkan pertanyaan ke dalam diri: Apakah keputusanku sesuai Alquran? Jika Nabi saw berada di situasi ini, akan kah beliau mengambil keputusan seperti aku? Keputusan mana kira² yang akan diambil Nabi saw? Setelah merenung, kemudian kita tanyakan pula pendapat orang yang punya pengalaman, dan orang yang kita anggap arif bijaksana, kemudian kita kaji resikonya dan manfaatnya, dan cocokkan sesuai kaidah para ulama: Menolak mudarat lebih baik daripada mendatangkan manfaat, Lalu, setelah duduk logika dan matang keputusannya, barulah kita beristikharah memohon bimbinganNya, dengan mindset seperti ini, akan sangat banyak berkurang orang-orang yang gambling (bertaruh) saat mengambil keputusan, dan tentunya banyak hidup orang, bisnis orang, maupun RT orang yang membaik.


WAG Diskusi AFAS 14/9/20, 10;08

Seni Mengarungi Hidup

Bayangkanlah, kita hendak menuju laut dengan berlayar di atas sungai yang airnya mengalir deras. Kita hendak ke laut untuk mencari segala keindahan dan kenikmatan di sana; makanannya yang lezat, pemandangannya yang biru, perhiasan yang ada di dalamnya. Kita pasti akan tiba dengan sejahtera, apabila kita fokus menujunya, dan tidak terganggu, atau tidak terlalu takjub dengan apa yang kita temui di sungai. Memang di sungai tetap ada keindahan dan kenikmatan, yang tak seberapa, kenikmatan kelas sungai; pemandangan, makanan kelas sungai, dan hampir pasti tidak ada perhiasan. Amat pedih perjalanan kita, apabila kita menambatkan hati kepada apa yang disediakan sungai, bahkan kita bisa mengalami kecelakaan, ketika kita terlalu mencintai sesuatu di sungai, sehingga kita berpegang teguh kepadanya; kita bisa terseret, luka, dst, sekali lagi, kita berlayar menuju laut, di sungai yang alirannya deras.

Sebenarnya dunia ini seperti sungai itu, yang ada padanya adalah harta, kedudukan, perhiasan, puja-puji, keluarga, anak-istri, perusahaan, dan lain sebagainya. Kita akan mengalami luka-luka, apabila kita tidak bersedia melepaskannya, karena seberapa kuat pun kita menggenggam dahan yang ada di sungai beraliran deras, kita akan kalah oleh aliran sungai tersebut. Oleh karenanya, bebaskanlah hati dari belenggu cinta dunia, maka kita pasti hidup bahagia di dunia, dan pasti akan tiba di akhirat dengan damai sejahtera. Sayyidina Umar pernah berkata lebih-kurang: Semakin sedikit dunia di hatimu, semakin bebas engkau hidup. Dan satu lagi; pandanglah serius perkara non-dunia, yaitu mencari ridha Allah. Temukanlah kenikmatan dalam perbuatan yang mendatangkan ridha Allah; zikir, salat, puasa, tersenyum, membantu orang, melaksanakan islam kaffah.

Dan ketahuilah, kenikmatan yang kita peroleh dari gabungan seluruh dunia dan seisinya + kenikmatan yang kita rasakan dari berislam kaffah, itu hanya dialirkan Tuhan kepada kita sebesar sapu lidi saja, bahkan mungkin lebih kecil. Oleh karenanya, jangan ragu atau bimbang pada keagungan dan kasih Tuhan, ingatlah bahwa kita sedang berlayar menujuNya.


WAG Diskusi AFAS, 11/9/20, 06;15

Memperoleh Kemudahan Dalam Berbagai Urusan

Sebuah video yang belum lama ini viral di komunitas kita mengungkapkan bahwa ternyata keberuntungan ada pola-nya, atau dengan bahasa lain, keberuntungan bisa dipelajari. Dalam video tersebut, seorang ahli membuat penelitian dengan melibatkan sejumlah orang; 50 orang yang merasa hidupnya penuh kemudahan (beruntung), dan 50 orang yang merasa hidupnya penuh kesukaran (sial). Menariknya, ternyata orang² yang beruntung memiliki kesamaan cara berpikir, kepribadian dan cara bersikap, demikian pula sebaliknya.

Dalam video terungkap bahwa orang² yang beruntung adalah orang yang santai, tidak serius, tidak tegang, senang bergaul, mendengarkan kata hati, sering bermeditasi, percaya keajaiban, percaya pada kebaikan, suka mengambil hikmah, dan sebaliknya orang yang hidupnya penuh kesialan adalah orang yang serius, tegang, tidak percaya kebaikan, percaya dunia penuh kebusukan, suka berkeluh-kesah, dst. Ternyata keberuntungan bisa dipelajari. Oleh karenanya, pernah Abu berkata: Bagi saya ilmu sosial dan ilmu sains sama-sama eksakta (ilmu nyata). Gravitasi itu eksak, demikian juga orang baik hati bernasib baik, itu pun eksak.

Bila kita lihat Al Qur'an pun demikian, sering Al Qur'an menutup ayat dengan kalimat "la 'allakum tuflihun" yang terjemahannya kira-kira: Agar/supaya kamu beruntung. Sekali lagi, ilmu sosial, sejatinya juga merupakan ilmu eksakta. Dan... sebagai orang beriman, bagi kita, apa memang keberuntungan itu ada? Tidak ada, yang ada ialah di-untungkan, atau dibuat Tuhan ia beruntung. Apabila kita merangkum sejenak beberapa pesan dalam ayat-ayat Al Qur'an yang menutup dengan "la'allakum tuflihun", atau agar kita beruntung, ada pesan untuk banyak² berzikir (QS. 62: 10 dan QS. 8: 45), bersabar (QS. 3: 200), bertakwa (QS. 2: 189), bertaubat (QS. 24: 31).

Uniknya, dalam Al Qur'an memang anjuran banyak-banyak berzikirlah yang banyak diikuti "la'allakum tuflihun", inilah mengapa pengamal zikrullah yang istiqamah, hidupnya selalu dipenuhi keajaiban dan keberuntungan. Bahkan, bersesuaian pula dengan video yang menyebut banyak meditasi, berhubungan dengan keberuntungan. Oleh karenanya, jika kita merasa hidup kita masih diliputi kesialan, kita harus memeriksa apakah kita kurang berzikir? Atau kah akhlak kita kurang baik? Sebaliknya, istiqamah dalam zikir dan akhlak baik, pasti mendatangkan keberuntungan dunia-akhirat, itu eksakta, realita, bukan khayalita....


WAG Diskusi AFAS, 6/9/20, 07;39

Baik Dan Terlihat Baik

Ada orang baik. Ada orang yang terlihat/dianggap baik. Orang baik belum tentu terlihat baik. Dan orang yang terlihat baik belum tentu benar-benar baik. Abu sering mengingatkan kami: Orang baik bukanlah orang yang selalu ramah pada kita, melayani kita dan menyanjung kita, orang baik adalah orang yang ber-7ndy. Terkadang... orang benar-benar baik itu dianggap jahat; seorang jujur dan lugu, akan dianggap penjahat di tengah² orang yang memiliki agenda terselubung. Masalahnya, cukup sering orang yang memiliki agenda terselubung, berlaku ramah, melayani dan menyanjung, sementara orang jujur yang tidak ada agenda, melakukan keramahan, pelayanan dan sanjungan yang masih wajar saja.

Dalam batas tertentu, terlihat ataupun menampilkan kita baik, tetap perlu, bahkan memang bagian dari akhlak Nabi. Kita penting menampilkan diri yang mudah diakses, yang ramah, yang melayani, supaya orang tidak segan dengan kita, supaya orang mau bekerjasama dan meminta pertolongan kita. Itu semua ditampilkan, karena ingin meneladani Nabi saw, bukan karena ingin terlihat baik (pencitraan). Orang barat/eropa/bule, sering kita anggap tidak baik. Sebenarnya mereka lebih baik dari kita (dalam hal ketepatan janji, tidak bergunjing, profesional, dll). Tapi mereka tata krama-nya rendah; tidak banyak panggilan gelar seperti kak, bang, dik, dst. Itu nampak dalam gaya film-nya yang terus terang (to the point).

Ada 2 hal yang perlu kita tindaklanjuti dari renungan ini: 1. Kita perlu melakukan semua akhlak Nabi, semuanya. Kita perlu mengerjakan akhlak barat; menepati janji, jujur, dst. Dan perlu mengerjakan akhlak timur; sopan santun, kesusilaan, dst. Di zaman Nabi dulu, tidak ada istilah akhlak barat atau akhlak timur, yang ada hanya akhlak Nabi, atau akhlak Islam, nah, ke sana lah kita menuju. Kemudian yang ke-2: Kita perlu memastikan, bahwa kita bersahabat/dikelilingi orang-orang yang benar-benar baik. Mengulangi pesan Abu tadi: Ukuran baik semata bukan yang menyanjung, melayani ataupun ramah pada kita. Tapi ukuran baik adalah 7ndy. Ukuran baik: Kejujuran, ketepatan janji, kepatuhan pada pemimpin dan aturan, tidak banyak kasus dalam rekam-jejaknya, dll.


WAG Diskusi AFAS 3/9/20; 14:24

Kemerdekaan Sejati

31 Agustus 2020. Selamat hari kemerdekaan Malaysia bagi rakyat Malaysia. Sempena kemerdekaan ini, mari kita hadirkan renungan: Setiap bangsa, bahkan setiap diri, menginginkan kemerdekaan. Telah kita ketahui sebelumnya, ternyata kemerdekaan sebuah bangsa secara formal, belum tentu mendatangkan the real goal (tujuan sebenar), yaitu kemakmuran. Demikian pula kemerdekaan diri; andai kita diberi segala anugerah kekayaan, facility, status yang tinggi, belum tentu lah kita memperoleh kebahagiaan.

Sebenarnya perkara ini lah yang berlaku di dunia, a pursuit of happiness (sebuah pengejaran kebahagiaan), dengan upaya maksimum mengumpulkan kekayaan, pasangan yang lawa, anak-anak bersekolah tinggi, kendaraan yang elok. Tak hanya itu, bahkan kita berusaha melakukan segalanya sebebas-bebasnya; ingin travelling, ingin makan yang enak, ingin membangun rumah yang besar, bahkan terkadang kita mengorbankan orang lain, mengorbankan morality kita untuk memperoleh bahagia tersebut. Intinya, kita ingin merasa merdeka, merasa memiliki kuasa atas hidup kita. Namun, apakah itu semua mendatangkan bahagia?

Sebenarnya the pursuit of happiness, yang menyasar kebahagiaan duniawi, berkembang banyak pula di tempat lain. Bahkan pada orang yang tak beragama, terlebih di masyarakat yang tak meninggikan syariat Islam, cenderung lebih berani melakukan happiness experiment yang jelas melanggar universal morality standard (standar kepatutan yang diakui banyak orang), seperti minum arak, hidup bersama pasangan tanpa ikatan pernikahan, transgender, dan lain-lain, sangat menakutkan! Namun, apakah mereka memperoleh the real goal, yaitu happiness itu sendiri?

Kenyataannya, banyak yang berakhir sedih, sakit, intinya; semakin kita bereksperimen mencari kebahagiaan, semakin kita jauh darinya. Viktor E. Frankl, psychiatric penyohor ilmu logotherapy yang amat popular, pernah mengkritik pembuatan statue of liberty (patung kebebasan) di Amerika Syarikat. Ia berkata lebih-kurang, harus dibuat pula patung lainnya: statue of responsibility (patung pertanggungjawaban). Karena baginya, liberty without responsibility is dangerous, kemerdekaan, kebebasan tanpa tanggungjawab, itu berbahaya....

Demikian pula kemerdekaan sejati, apakah kita akan bahagia bila kita hidup sebebas-bebasnya, memilih sebebas-bebasnya? Dari perkara² yang telah kita dedahkan di atas, tampaknya bukan itu yang menghadirkan bahagia. Lalu, dimanakah adanya the real freedom itu? Real freedom lies in total surrender to God. Tiada kemerdekaan tanpa penyerahan diri pada Tuhan. Ketundukan sempurna pada Tuhan lah, yang menghadirkan kemerdekaan hakiki. Hanya pada Tuhan lah, segala pusaka kebahagiaan, kemerdekaan, kemakmuran. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un: Sesungguhnya, aku dari Allah, dan kepada Allah, aku kembali. Hanya orang-orang yang paham benar ayat ini lah, yang merasakan kemerdekaan yang benar-benar manis.


WAG Diskusi AFAS, 30/8/20, 23:00

Antara Boleh Dan Pantas

Manusia akan menjalani kehidupan yang hambar dan kering, apabila hidupnya sekedar melakukan yang boleh dan menghindari yang tak boleh. Sebaliknya, manusia akan menjalani kehidupan yang berwarna dan penuh karunia, apabula hidupnya didedikasikan untuk melakukan yang pantas dan menghindari yang tak pantas, meskipun boleh. Orang yang se-awal mungkin memutuskan melakukan pola hidup sehat, akan mengalami banyak keajaiban; kebugaran, kesehatan, dan lain-lain, dibandingkan dengan yang tidak memutuskan demikian. Orang yang menghindari yang makruh dan berusaha memborong yang sunnah, akan mengalami lebih banyak keajaiban ketimbang yang sekedar menghindari yang haram dan mengerjakan yang wajib.

Dalam Islam pun diatur demikian, ada Fiqih, yang memberitahukan mana yang boleh-tidak, hal-haram. Ada Akhlak, yang memberitahukan mana yang pantas, mana yang tidak pantas. Beragama ini amatlah kering, apabila dihabiskan sekedar untuk melakukan yang boleh dan menghindari yang tak boleh, di samping kering; juga sangat mudah terjerumus pada kebenaran tunggal dan menyalahkan yang bukan kelompoknya. Akan tetapi, beragama akan mencapai dimensi yang lebih indah, tatkala kita berusaha melakukan yang pantas, berusaha memantaskan diri di hadapan Tuhan. Bahkan, pada orang yang berusaha memantaskan diri, sebutan beragama pun tak sering terucap, justru lebih sering ia menyebut; bertuhan.

Demikianlah segala aspek kehidupan; seorang pekerja, ataupun murid, tidak akan pernah menguasai bidang kerja atau bidang ilmunya, jika sekedar melakukan boleh dan menghindari tak boleh, ia harus masuk pada dimensi pantas dan tak pantas. Bagaimana memulai menjadi manusia yang berusaha menjadi pantas bukan sekedar menjadi boleh? Jawabannya lebih banyak dari jumlah huruf pada tulisan² ini, tapi agaknya salah satu caranya ialah dengan merenung: Pantas kah aku hidup seperti ini, padahal Tuhanku telah memberiku sangat banyak?


WAG Diskusi AFAS, 28/8/20, 14:29

Rendah Hati

Kehidupan ini dirancang cocok untuk dijalani orang rendah hati, dan tidak cocok sebaliknya. Bagaimana tidak? Menghadapi seorang yang keras, status sosialnya lebih tinggi dari kita, tidak ada jalan lain, kita harus rendah hati. Berjualan-berdagang, harus rendah hati pula. Bahkan, kalau kita lihat pedagang eceran (retail), mereka puas menelan protes, caci-maki, atau kalau memakai bahasa pasarnya: mereka puas dipijak-pijak (kehormatannya), dan mereka terpaksa rendah hati, kalau tidak rendah hati, mereka tidak makan. Dan anehnya, pedagang, penjual yang tahan protes, bahkan tetap melayani dengan baik, jualan mereka laris.

Tak hanya menghadapi orang ataupun situasi keras, menghadapi orang berilmu sekalipun, tidak ada manfaatnya jika kita tidak rendah hati. Kita tidak akan menyerap ilmu, jika kita tidak mau mendengar, tidak mau menerima nasehat, tidak mau bertanya. Murid yang berkembang, adalah murid yang selalu penasaran hatinya, haus akan ilmu, dan rasa penasaran serta haus ilmu itu sendiri, sesungguhnya merupakan bagian dari kerendahan hati, yang tampil dalam sikap suka bertanya dan suka mendengar secara tulus.

Bertuhan pun demikian.... Guru Kehidupan pernah mengatakan: Tuhan dan orang sombong bagaikan air dan kucing. Kucing, tidak mau dekat² air, benci air, benci basah. Demikianlah Tuhan. Oleh karenanya, memang Tuhan tidak mau mendekat kepada makhluk yang ingin menunjuk-nunjukkan diri, pamer. Bahkan pamer (riya') dikategorikan sebagai syirik kecil, karena fokusnya mengagungkan Tuhan, beralih menjadi mengagungkan dirinya.

Tepatlah sudah beberapa peribahasa: Padi semakin berisi, semakin merunduk. Bila tak berisi, ia mendongak, menjulang tinggi. Ini sesungguhnya bisa kita balik: Merunduklah, dengan sendirinya kita akan diisi/berisi. Maka, mulailah merunduk dari sekarang. Dan itu anjuran Islam, dalam bahasa arabnya, tawadhu'. Hasan al Bashri pernah berkata, lebih kurang: Rendah hati adalah, engkau keluar rumah dan jumpa orang lain, dan engkau anggap orang itu lebih baik darimu.


WAG Diskusi AFAS, 27/8/20, 13:51

Tidak Angker

Ketika kita berada di posisi/status sosial rendah, ada orang² tertentu, petinggi² yang amat kita segani/takuti; karena sikapnya yang superior terhadap kita. Contoh: Baru² ini viral di sosial media, seorang mahasiswi curhat tentang betapa sulitnya menghubungi seorang dosen. Di situ tampak sang mahasiswi mengajukan pertanyaan² normal, sesungguhnya. Kira²: "Bu, skripsi sudah saya perbaiki, bisa saya jumpai Ibu?" Namun Bu dosen malah menjawab lebih kurang: "Lah kamu kok ngatur² saya? Sudah, jangan hubungi saya lagi ya, saya sibuk." Bingung harus berbuat apa, akhirnya sang mahasiswi mengupload percakapan whatsapp tersebut ke sosial media, yang tentunya mengundang amarah kebanyakan netizen. Demikianlah, ada sosok² angker (menyeramkan), yang sebab dari keangkerannya adalah: Menolak berkomunikasi, sulit diakses, dsb.

Anehnya, betapapun kita takut terhadap petinggi/senior yang demikian, ketika kita menjadi petinggi/senior, kebanyakan dari kita justru memperangaikan perilaku yang sama, seakan-akan kita menyimpan dendam terhadap senior kita, dan melampiaskan dendam tersebut pada junior kita. Hal serupa juga banyak terjadi dalam dunia perkuliahan, betapa sering masa orientasi/pengenalan menjadi ajang perpeloncoan dan bully. Itulah sebabnya, semua orang dengan segera menyukai petinggi/pemimpin/senior yang merakyat, mudah diakses, dan ramah. Perilaku inilah yang diperangaikan Jurgen Klopp, manager Liverpool FC saat ini. Ternyata, bersikap ramah, membawa efek positif, team yang dirawat Jurgen Klopp umumnya membaik; Borussia Dortmund yang melaju di Bundesliga dan menjadi runner-up Liga Champion, kemudian Liverpool saat ini, yang termasuk team paling gahar. Dan lebih dari itu, yang terpenting, orang-orang mencintainya karena sikapnya, banyak sekali pemain-pemainnya yang mencintainya.

Perilaku sejenis juga diterapkan pada sebuah perusahaan Jepang (kalau tidak salah Toyota). Dimana pemimpin biasanya berdiam seharian di kantornya, para manager di perusahaan tersebut justru diminta untuk berkeliling, berada bersama-sama team. Mereka meyakini, pemimpin harus bersama team, dan pemimpin harus mudah diakses. Kalau kita lihat dalam Islam, dari sebuah hadis sahih sebenarnya jelas sudah, isi hadis tersebut kira-kira: Pemimpin adalah pelayan. Dari hadis tersebut, kita sudah bisa menyimpulkan, orang bagaimana, khususnya, pemimpin yang bagaimana, yang lebih baik kepemimpinannya? Tentu yang tidak angker (menyeramkan), tidak sulit diakses, dll. Karena pada hakikatnya, pemimpin adalah pelayan. Demikianlah doktrin Guru Kehidupan kepada kita, lewat 7NDY, fatwa² beliau dan kelas² yang beliau dirikan. Bahkan sering beliau mengingatkan: Balas lah miss call, balas lah WA/SMS, cepatlah dalam membalas pesan orang, karena boleh jadi orang memerlukan kita.

Rasulullah SAW bersabda, Mudahkanlah dan janganlah engkau persulit orang lain dan berilah kabar gembira pada mereka, jangan membuat mereka menjadi lari (karena ketakutan) (HR. Bukhari).

Rasulullah SAW juga bersabda, “Barangsiapa yang meringankan penderitaan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah akan meringankan penderitaan (kesulitan)nya kelak di hari Kiamat dan barangsiapa yang memudahkan urusan orang yang mengalami kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat (HR. Muslim).


WAG Diskusi AFAS, 21/8/20, 18:02

Budaya Merendah

Di sebagian masyarakat, seperti Jepang, ada budaya merendahkan diri, dan meninggikan serta melayani orang lain. Lihat saja, saat meminta maaf karena melakukan kesalahan, mereka melakukan gestur mirip ruku' dalam salat. Saat mengucapkan terimakasih pun, mereka juga lazim melakukan gestur seperti ruku' terhadap orang yang diterimakasihi. Bahkan, menariknya lagi, di Jepang, saat sebuah kelompok/keluarga memohon bantuan pada seseorang, si anak yang memohon bantuan pun "ikut merendahkan" saudara, bahkan orangtuanya sekalipun. Jepang kental dengan panggilan penghormatan scr bertingkat, seperti kun, san, sama, mungkin kalau di Indonesia seperti "Pak/Bu". Artinya, di Jepang, ketika seorang anak meminta tolong, ia terbiasa merendah, dengan tidak menambah gelar "Pak" atau "Bu" pada nama orangtuanya. Mungkin mereka menyebutnya cukup dengan "Orangtua saya" atau bahkan mungkin mereka pun menyebut nama orangtua mereka tanpa tambahan gelar apapun, bila mereka bermohon. Ini budaya merendah.

Tentu, tidak semuanya kita tiru, kita yang menganut budaya Islam, tentu berusaha memuliakan orangtua, dimanapun. Namun, budaya merendah, benar² perlu kita renungi dan terapkan. Ada sebagian orang, yang terbiasa bekerja dengan orang Jepang, ia tidak mau turun dari mobil di depan rumah seseorang, tapi ia turun beberapa meter dari rumah orang yang dikunjunginya, sehingga ia tampak berjalan kaki menuju rumah orang yang dikunjungi. Teknik-teknik merendahkan diri dan meninggikan tamu seperti ini, juga diterapkan oleh banyak penjual/pedagang. Dalam berjualan, ada teknik, menyebut nama pelanggan bila bercakap dengannya, bila lebih tua anggap sebagai orangtua, bila sebaya sebagai saudara, bila lebih muda sebagai adik. Dan, pedagang yang benar² merendah dan menghormati secara tulus, memang biasanya berhasil; orang senang dengannya, sehingga dagangannya laku. Inilah yang disebut Abu: 80% orang membeli bukan karena memerlukan produk, tapi karena suka pada si penjual. Ya... orang senang pada orang yang merendahkan diri, dan meninggikan lawan bicaranya.

Budaya merendah dan meninggikan orang lain bukan hal asing di Jepang, karena ada semacam budaya pada mereka; tamu adalah raja, pemimpin adalah dewa, memang orang Jepang menganggap raja/kaisar mereka sebagai titisan dewa, jadi mereka ta'zim setinggi-tingginya pada kaisar, dan membawakan adab kepada kaisar mereka di kantor mereka terhadap pimpinan-pimpinan mereka. Sebenarnya, dalam Islam, pesan-pesan tentang merendah dan meninggikan orang seperti ini juga sangat kental. Dalam sebuah ayat: "Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu......" (QS. 26: 215). Di sini tampak, sebenarnya level penghormatan Islam adalah di atas Jepang, karena dalam Islam, bukan hanya terhadap atasan/tamu, bahkan terhadap bawahan pun; pembantu rumah tangga, supir, pengikut, pelayan, office boy, anak, keponakan, dst, kita harus merendah! Maka, wajar jika Nabi saw menyebut para pengikutnya sebagai "sahabat" dimana Nabi Isa as dalam Injil biasa diriwayatkan menyebut pengikutnya "murid" dan demikian pula Nabi-nabi lain, tidak ada yang se-merendah dan se-memuliakan Nabi Muhammad saw.

Muhammad itu sendiri terambil dari kata Hamd, yang artinya banyak memuji, atau terpuji. Di sini seakan-akan ada hukum tanam-tuai; Nabi Muhammad saw adalah yang paling banyak memuji, memuliakan, meninggikan orang lain, dan Tuhan. Maka balasannya, semua orang, dan Tuhan pun meninggikan, memuliakan, dan memuji-mujinya. Nama yang benar² sesuai dengan realita: Muhammad (terpuji lagi suka memuji).

Untuk menutup renungan ini, saya terkenang dialog Abu dengan seorang teller/customer service di sebuah bank. Seperti yang kita tau, orang bank rata² memang benar² sempurna melayani pelanggannya. Merasa puas dengan pelayanan pihak bank, Abu bertanya pada sang teller/customer service kira-kira: "Bagus sekali kamu melayani saya, kira-kira kamu di rumahmu melayani suami, anak, dan orang² di rumahmu seperti ini juga kah?" Tentu saja, tidak, kata si teller. Maka Abu menjawab: "Kenapa begitu? Bukan kah mereka yang paling memerlukan penghormatan dan pelayananmu? Saya dan pelanggan² bank, sebenarnya bukan kami yang sangat memerlukan penghormatanmu. Bukan kah suami, anak, orang² yang kerja di rumahmu, mereka itu yang lebih memerlukan penghormatan dan pelayananmu?" Teller/customer service tadi pun hanya tertunduk diam... Demikian pula kita, seberapa hormat kita pada orang² yang ada di sekeliling kita; anak, orangtua, yang bantu di rumah, suami, dll. Menariknya, bahkan Abu pun tidak mau menyebut petugas cuci piring, masak, dll di rumah beliau sebagai khaddam, atau pembantu. Tapi beliau menyebutnya sebagai: yang bantu-bantu saya.


WAG Diskusi AFAS, 17/8/20, 14:21

Mensyukuri Kemerdekaan

75 tahun sudah Indonesia merdeka, bambu runcing tetap menjadi simbol 17 Agustus. Kita layak bertanya: Mengapa? Aktivitas perlawanan, kekerasan, bukan kah sudah 75 tahun yang lalu? Namun mengapa kita masih mengaitkan kemerdekaan dengan bambu runcing? 75 tahun telah berlalu kita masih menyimbolkan bambu runcing, seakan-akan menyiratkan bahwa kita gemar memberontak dan keras. Wallahua'lam. Bagi yang mengupload gambar bambu runcing, tidak perlu dihentikan, lanjutkan saja, bukan itu poin dari tulisan ini.

Mari merenung: Kemana kemerdekaan telah membawa kita? Apa dampak kemerdekaan pada kita? Banyak negara, wilayah, daerah di seluruh dunia, yang sangat terobsesi dengan kemerdekaan. Sekarang mari kita melihat dengan jujur: Negara² yang telah memerdekakan diri, apakah mereka lebih makmur daripada sebelumnya? Apakah mereka lebih baik ekonominya dari sebelumnya? Apakah negaranya semakin aman? Apakah mereka semakin bahagia? Akhirnya: Apakah mereka lebih baik dari sebelum merdeka?

Jawabannya beragam, sesuai negaranya masing-masing. Tapi satu hal yang bisa dipastikan, rasa-rasanya hampir tidak ada bedanya. Bila sebelumnya mundur, kurang makmur, kemerdekaan tidak memberikan banyak kepada negara tersebut. Kalau begitu, apa yang sebenarnya bisa membuat perubahaan di suatu negara? Jawabannya tak lain tak bukan: Revolusi Mental. Sebuah perubahaan sikap, mengeluh menjadi bersyukur, acuh menjadi melayani, ingkar janji menjadi amanah, egois menjadi dermawan, malas menjadi bekerja keras, pembangkang menjadi taat aturan, kasar menjadi lemah lembut, hal-hal ini lah yang bisa mengubah nasib suatu kaum, bahkan suatu negara.

Kemerdekaan yang telah kita miliki, wajib kita syukuri, dan memang layak kita banggakan. Namun, kita perlu merevisi cara kita mensyukuri kemerdekaan, yakni dengan cara memperbaiki akhlak. Situasi yang kita alami, Covid dengan segala dinamikanya, kita jauh lebih bahagia dan lebih baik dari berbagai tempat di seluruh dunia. Banyak hal-hal yang layak dan harus disyukuri. Dan kesyukuran itu, kita ekspresikan dengan perbaikan akhlak. Perbaikan akhlak, atau revolusi mental itu lah, yang akan mengantarkan kita: Kepada kemakmuran, kepada keselamatan ekonomi, kepada pulihnya kita dari Covid-19.

Pada 17 Agustus 2020 besok, sempatkanlah waktu, untuk mengheningkan cipta, bahkan pemerintah menganjurkan 10.17-10.20 WIB berdiri tegak di tempat masing-masing, kalau tidak ada uzur ataupun kendala, laksanakanlah. Kita cinta tanah air, dan kita mensyukuri kemerdekaan. Dirgahayu RI 75. Selamat menyambut hari kemerdekaan.


WAG Diskusi AFAS 16/8/20, 19:58

Periksa Nasib, Periksa Akhlak

Peliharalah merpati, biarkan ia terbang, esok ia akan kembali membawa yang sejenisnya. Manusia pun demikian; orang kasar, suka bergunjing, secara alami menemukan orang yang kasar dan suka bergunjing juga. Bagi pegunjing, hanya dalam hitungan jam, dia akan tau seluruh aib orang di sekelilingnya, karena ia menarik sejenisnya. Orang bahagia, orang sukses, atau orang saleh pun sama, ia menarik yang sejenisnya, kabarnya, sesama ninja saling mengenal. Hal-hal ini sebenarnya sudah kita pelajari mendalam di CFM² dan Kelas² AFAS.


Sekarang, mari kita dalami dari sudut yang berbeda: Ketika kita berbisnis, siapa yang menjadi rekanan kita? Apakah client-client yang sukses, atau client-client "nanggung" atau "mediocre"? Bila kita di bawah sadar selalu menarik client yang demikian, perlu diwaspadai, jangan² kita memang jenis "nanggung" atau "mediocre", karena merpati pasti menarik merpati, elang menarik elang. Client besar, adalah client yang menjanjikan pelayanan prima (excellent), dan tidak mau menjanjikan keuntungan secara berlebih-lebihan (bombastis). Sebaliknya, client nanggung atau mediocre, suka menjanjikan untung besar, tapi tidak menjaga kualitasnya. Ketika hati kita dipenuhi hasrat keuntungan besar yang instan, secara alami kita menarik client nanggung/mediocre, karena memang mindset seorang mediocre adalah mencari keuntungan sebanyak²nya.


Deepak Chopra seorang penulis, berkata: Leader who aim only for external goals such as money and power will fail. Pemimpin (dan siapapun) yang hanya menginginkan hal² luaran seperti uang dan kekuasaan, pasti gagal. Bagaimana mindset orang sukses sejati? Ikhlas, memberi, dsb. Mari periksa relasi kita, dipenuhi orang jenis mana? Ketika client kita dipenuhi orang² nanggung/mediocre kita perlu berhati-hati: Jangan² kita terlampau menyukai uang dan kekuasaan.

Sebenarnya Abu sudah mengingatkan ini, dengan bahasa yang sangat indah: Uang lebih suka berada di kantong orang yang bahagia dan berakhlak mulia. Kesehatan, kekuasaan, rezeki, dll lebih suka menghinggapi orang bahagia dan berakhlak mulia. Pastikan kita berpikir, bersikap dengan cara orang-orang yang sukses dunia-akhirat, maka karunia Tuhan pun akan dilimpahkan pada kita, sebagaimana Dia telah limpahkan pada orang-orang yang berpikir dan bersikap dengan cara Rasulullah saw.


WAG Diskusi AFAS, 11/8/20, 15:55

Ikhlas

Guru Kehidupan: Dunia ini masih berputar karena masih ada orang ikhlas.

Dalam kitab klasik salaf (kalau tidak salah durratun nasihin) disebutkan bahwa ciri orang ikhlas, adalah kehadirannya tak terasa, tapi kepergiannya terasa. Contohnya? Office Boy, penyapu jalanan, penyedia teh, orang² yang menyediakan baju pemain bola, panitia² dll. Kalau pemain bola, back (bek) lah posisi yang secara DNA-nya paling mendekati keikhlasan; tak disebut, tak dilihat, tapi bila lemah dimaki, bila tiada dicari. Striker selalu mendapatkan puja-puji, sebaliknya bila team kalah, back dan lini pertahanan mendapat caci maki.

Kalau dalam bahasa arab sendiri, ikhlas terambil dari kata khalish yang artinya bersih. Artinya: Ikhlas adalah memiliki niat yang bersih dari keinginan apapun selain memberi. Pemimpin ikhlas, hanya memiliki niat mensukseskan kerjanya; ia bersih dari niatan lain seperti ingin dianggap hebat, ingin terkenal, sehingga sangat mungkin ia pun tidak suka bila fotonya terpampang di banner-banner, baliho-baliho, ataupun ia tidak memaksa orang makan harus menunggu dirinya. "Yang penting kerja kita sukses, tidak penting makan menunggu saya, jalan di belakang saya, ataupun foto saya dibingkai emas." Kira-kira begitulah mindset orang ikhlas.

Ada pendapat mengatakan: Ikhlas itu seperti surat al Ikhlas. Nama suratnya al Ikhlas, tapi tidak ada kalimat "ikhlas" di dalamnya. Tuhan memang mendesain kehidupan ini hanya untuk makhluk-makhluk ikhlas. Matahari tetap bersinar, tak peduli orang merindu sinarnya ataupun bersembunyi darinya. Pohon tetap menjatuhkan buahnya, tak peduli di bawahnya ada orang, ataupun tidak. Pelangi tetap hadir, meski ada yang memujinya ataupun tidak ada yang memujinya. Nabi Muhammad saw pun selalu berzikir padaNya dan menyampaikan pesan-pesanNya; tak peduli ada yang menerimanya ataupun ada yang menghardiknya.

Bahkan, Tuhan pun demikian: Sekiranya seluruh alam semesta beserta isinya, dan ditambahkan 7 lagi sepertinya menentang Tuhan, kekayaanNya dan keagunganNya tak berkurang walau sebesar debu pun. Tuhan tidak mendapatkan untung dengan ketaatan kita, tapi Dia tetap memberi, memberi, memberi, memberi, memberi, memberi, Maha Memberi, itu ikhlas.


WAG Diskusi AFAS, 11/8/20, 15:04

Keramat

Guru! Murid di perguruan sana keramat! Mereka bisa berjalan di atas air, bisa terbang di angkasa, bisa menyelam ke dalam tanah, dan bisa berada di 2 tempat sekaligus! Lapor seorang murid pada seorang Tuan Guru di zaman dulu, dengan ringannya beliau berkata: Kalau hanya itu saja, kayu pun berjalan di air, burung pun terbang di angkasa, cacing pun menyelam ke dalam tanah, dan setan pun bisa berada di 2 tempat sekaligus, itu bukan keramat. Kisah di atas benar² perlu kita renungkan: Betapa banyak orang terobsesi dengan kemampuan kayu, kemampuan burung, kemampuan cacing, yang sebenarnya merupakan kemampuan yang lebih rendah dari seorang anak kecil umur 7 tahun: Berpikir.

Kalau begitu, keramat itu apa? Sebenarnya keramat merupakan bahasa serapan dari bahasa arab; karamah yang terambil dari kata karim yang artinya mulia. Sedangkan dalam berbagai hadis, Nabi saw membuat standard yang sangat ringan dan sederhana untuk kemuliaan, seperti; semulia-mulianya manusia, yang paling banyak manfaatnya. Bila dilihat dari sana, sebenarnya setelah membaca tulisan ini kita pun bisa segera keramat, caranya? Mulai berakhlak mulia; bermanfaat, dst. Ketika kita berakhlak mulia, kita sudah merupakan pemilik kekeramatan (kemuliaan). Itu, adalah dari pendekatan bahasa dan makna.

Kembali pada dialog murid dan Tuan Guru tadi, akhirnya si murid bertanya: Kalau lah keramat itu bukanlah berjalan di atas air, terbang di angkasa, menyelam ke dalam tanah dan berada di 2 tempat sekaligus, maka apakah keramat itu wahai Guru? Guru menjawab: Keramat itu, wahai anakku, hamba Allah yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, karena itu lah yang tak mampu dilakukan bahkan oleh seorang Iblis yang sakti mandraguna, berumur jutaan tahun, dan berwawasan banyak sekalipun.


WAG Diskusi AFAS, 11/8/20, 15:04

Patuh Kepada Pemimpin Dan Peraturan

“Dengarlah dan taat, meskipun pemimpin kalian adalah seorang budak dari Ethiopia yang kepalanya seperti kismis.” (HR. Bukhari no. 693)

Good leader is a good follower. Itulah Nabi saw. Sebelum beliau diangkat menjadi Nabi, sangat banyak kebatilan yang membuat Nabi saw gelisah; menyembah berhala, tawaf dalam keadaan telanjang tanpa pakaian, praktek pinjam rahim, perjudian, minum²an keras, dan lain-lain. Puncak dari kegelisahannya, Nabi saw menjadi gemar menyendiri di gua hira untuk merenungi keadaan masyarakat di zamannya. Menariknya, dengan kegelisahan beliau, beliau bukan seorang kritikus yang gemar mencaci, beliau tetaplah seorang pengikut yang baik dan santun. Sejarah tidak pernah meriwayatkan Nabi saw sebagai seorang tukang kritik, pencela, ataupun frontal/lantang. Justru beliau memiliki julukan al-Amin (terpercaya) dan al-Bassam (suka senyum). Nabi saw adalah orang yang sangat pintar, mahir berdagang, tetapi bukan itu yang paling dikenang masyarakat, yang paling dikenang masyarakat pra-Islam dari Nabi saw adalah kejujuran beliau dan wajah beliau yang selalu tersenyum.

Kepribadian Nabi saw sangat bertolak-belakang dengan netizen zaman sekarang dan rakyat negara yang cenderung demokratis dan liberal. Atas nama kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir, begitu banyak terjadi praktek-praktek mencela, demo, prasangka, dan lain-lain, maka tak heran, di negara yang cenderung demokratis dan di internet; orang yang lantang mengkritik cenderung menjadi terkenal. Demokrasi bagus, kebabasan berpendapat bagus, tapi yang perlu kita ingat Nabi saw tidak pernah menggunakan kebebasan berpikir dan berpendapat untuk melecehkan pemimpin, merendahkan orang lain, dsb. Apa hasil dari segala kritikan dengan dalih berpikir kritis? Lebih sering merupakan provokasi dan perpecahan, ketimbang perbaikan. Negara-negara yang memiliki kebebasan berpendapat tinggi, belum tentu lebih makmur dibanding yang kurang bebas. Sekali lagi, demokrasi itu bagus, kebebasan berpendapat itu bagus, tapi tanpa akhlak mulia; kepatuhan pemimpin dan ketaatan pada aturan, seringkali demokrasi itu menjadi boomerang.

Dalam sebuah hikayat dikisahkan bahwa seorang murid berguru kepada seorang guru sufi yang derajat kerohaniannya rendah. Namun si murid senantiasa menganggap sang guru adalah wali dengan derajat yang tinggi, akhirnya karena sangka baik si murid pada si guru, akhirnya si guru insaf, bertobat dan akhirnya memiliki derajat kerohanian yang luarbiasa tinggi. Demikian juga bermasyarakat, pemimpin yang buruk, bahkan Nabi saw mengistilahkan seperti budak dari Ethiopia pun, jika dipatuhi akan terjadi sinergi dan kemakmuran yang luarbiasa. Abu menyebut: Sebaik apapun pemimpin, bila rakyat tidak patuh, tidak akan makmur. Lebih lanjut beliau berkata: Kemakmuran sebuah negara 70% ditentukan akhlak rakyatnya, 30% oleh kualitas pemimpinnya. Dilihat dari sini, kepatuhan pada pemimpin adalah penting dan mendesak, maka para ibu-ibu yang sering menghardik suaminya dengan berkata: Aku mau berubah kalau kau berubah! Harus merenung serius tentang fatwa YM. Abu tadi, demikian pula kita sebagai warga negara; sudah seberapa patuh kah kita kepada pemimpin kita dan aturan-aturan?


WAG Diskusi AFAS, 6/8/20, 09:21

Psikologi Pegunjing

Kita heran melihat orang² tertentu yang sangat gemar bergunjing (membicarakan keburukan orang lain). Terkadang mereka berbicara dengan wajah yang sangat jengkel, dan menyertakan kalimat-kalimat yang tak pantas seperti: "Si bodoh itu", "Memangnya dia siapa", "Petantang-petenteng", dan bahasa lainnya, yang cukup lazim ditemukan, biasanya saat kaum Ibu membicarakan seseorang yang mereka benci. Yang menarik adalah, cukup sering orang menggunjingkan orang yang tidak terlalu dikenalinya, namun saat menggunjingkannya seakan-akan orang tersebut adalah orang paling jahat di dunia. Dan yang menarik, sering sekali hal yang digunjingkan pun ternyata tidak benar, atau merupakan salah paham semata.

Waktu yang dihabiskan untuk bergunjing pun bukan singkat, terkadang habis berjam-jam waktu, untuk menelpon, chatting di WA, duduk di kedai kopi, ataupun di halaman rumah, hanya untuk membicarakan kejelekan orang lain, yang sebenarnya tak memberikan manfaat setitik pun kepada para pegunjing! Alasan yang paling masuk akal orang bergunjing adalah: Kebencian yang luarbiasa. Dalam hatinya ada berliter-liter kebencian, bersiap-siap untuk ditumpahkan kepada siapa saja yang mengusiknya. Dan, ketika ia tak menemukan orang untuk dibencinya, ia pergi ke teman-temannya untuk mencari siapa orang yang layak aku benci hari ini? Teringat dengan pernyataan YM. Abu: Orang pemarah adalah orang tak bahagia. Dari bangun tidur ia sudah ingin marah. Ia tinggal mencari alasan untuk menumpahkan amarahnya. Jika tak ada orang berbuat salah, kucing yang mengganggu hatinya pun akan dia hantam sebagai pelampiasan kemarahannya.

Demikianlah mengerikannya, psikologi para pegunjing. Sangat mengherankan kita; mengapa ada begitu banyak kebencian dalam hatinya? Dalam sebuah hikayat, dikatakan bahwa ternyata di neraka tidak tersedia api. Lalu, api yang membakar di neraka ternyata adalah api yang ada di dalam dada kita, dada yang penuh kebencian, prasangka, kekesalan, keterusikan, kejengkelan, kesombongan, itu semua adalah bahan bakar api neraka. Kita tidak tau kebenaran hikayat tadi, tapi yang jelas, akhlak² buruk, memang membakar dada kita, membuat kita tak bahagia; sudah sewajarnya kita hentikan.


WAG Diskusi AFAS, 4/8/20, 11:25

Master Mempermudah Pemula Mempersulit

Abu: Orang pintar adalah orang yang menyederhanakan hal rumit. Orang tidak pintar adalah orang yang merumitkan hal yang sederhana.

Dalam kesempatan lain, sering juga Abu menyebutkan: Bekerja adalah membuat sesuatu terjadi. Misalnya: Seorang chef memasak nasi, itu membuat sesuatu terjadi, seorang mekanik memperbaiki mobil rusak, itu membuat sesuatu terjadi. Itu juga sebabnya Abu selalu berusaha membuat divisi/bagian yang beliau pimpin mengeluarkan surat sesedikit mungkin, bahkan beliau "menyindir" divisi yang terlalu banyak mengeluarkan surat yang tidak perlu sebagai pabrik kertas. Karena, sesuatu yang di atas kertas, memiliki pengaruh yang tidak begitu besar terhadap realita.

Contoh: Ada seorang jamaah mendengar musik dengan kuat di kamar mandi masjid, lalu pengurus masjid membuat surat pengumuman dan tempelan kertas "dilarang menghidupkan handphone" di dinding. Seberapa efektif kira² hal tersebut untuk membuat ketertiban? Bagaimana bila dibandingkan dengan cukup menegur orang tersebut saat sedang tidak banyak orang? Sebenarnya kasus mirip pernah terjadi di zaman Nabi saw, seorang arab badui (orang arab kampung) kencing di masjid, para sahabat langsung memaki dan menghardik si arab badui, sementara Nabi saw melarang mereka menghardik, dan Nabi saw hanya mengatakan dengan lembut: Lain kali kalau mau kencing di kamar mandi ya, karena masjid adalah tempat ibadah, ini bukan tempat buang air! Bisa kita bayangkan, kalau tak ada Nabi saw di situ, barangkali para sahabat sudah tergoda untuk membuat pengumuman "larangan kencing" dan menempel larangan kencing yang ditempel di dinding masjid nabawi....

Dalam bermain gitar pun demikian, bagaimana caranya bermain dengan cepat? Caranya adalah bermain lambat. Teruslah bermain dengan lambat, perlahan, nikmati, ulangi, lama-kelamaan kecepatan kita bermain gitar terbangun dengan sendirinya. Seorang gitaris berkata: Kalau kita bisa memainkannya dengan lambat, maka kita pasti bisa memainkannya dengan cepat. Itulah penjelasan seorang master... Namun, bila kita semakin bingung dengan penjelasannya, itulah tanda seseorang tersebut bukan master.

Albert Einstein mengatakan: Kalau anda tidak bisa menjelaskannya pada anak umur 6 tahun, itu tandanya anda belum paham! Demikianlah, tentu kemahiran dan skill dibangun dengan pengalaman. Namun, kalau kita bersedia mempelajari dan meneladani akhlak Nabi saw, kita akan menjadi master dengan lebih cepat! Nabi saw bersabda kira-kira isinya: Permudah, jangan persulit, dan jangan membuat manusia lari karena takut. Seandainya semua orang memegang teguh hadis ini, niscaya semua orang cepat menjadi master.

Namun sering sekali kita tidak berkenan mempermudah segala sesuatu, karena sangat ingin membuat orang lain kagum. Betapa banyak guru, dosen dan "orang-orang pintar" yang menjelaskan sesuatu dengan sangat rumit, berputar-putar, bertele-tele sehingga pendengarnya tak paham, mengapa? Karena ingin membuat orang lain kagum, karena ingin dianggap pintar. Oleh karenanya, pembunuh kemahiran nomor 1 adalah: Ingin dipuji. Menyanyi pun demikian, apa ciri penyanyi top? Ia bersedia mukanya terlihat jelek saat menyanyi. Ia tak lagi mempedulikan "apa yang orang lihat" ia tak lagi mempedulikan "apa kata orang" tapi justru ia larut dalam pekerjaannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, satu lagi hal yang seringkali membuat rumit hal sederhana adalah kedengkian. Betapa banyak orang yang tak bersedia damai dengan orang yang mengkritiknya, atau tak bersedia damai dengan seseorang yang membuat sedikit kesalahan; misalnya seorang waiter restoran tak sengaja menumpahkan air di celana kita. Betapa banyak orang yang ingin menghukumnya, membuatnya merasa sedih, menderita, dll. Itu bukan perilaku orang pintar! Itu bukan perilaku master! Dan yang jelas itu bukan perilaku Nabi saw! Singkatnya, kita akan menjadi pintar dengan membuang 2 hal: Keinginan dipuji dan kedengkian. Dan kita akan terhindar dari banyak masalah dengan membuang 2 hal: Keinginan dipuji dan kedengkian.


WAG Diskusi AFAS, 4/8/20, 11:10

Klarifikasi Tanda Ragu

Yang terbaik tidak ingin membuktikan dirinya; caption pada debuah gambar seekor cheetah melihat segerombolan anjing berlari. Bila kita cermati, hasrat klarifikasi, menjelaskan, sebenarnya adalah pertanda kita tidak terlalu yakin pada diri sendiri, ataupun pada sesuatu yang ingin kita jelaskan. Cukup sering, upaya menampilkan atau menjelaskan bahwa kita baik-baik saja adalah tanda kita sedang tidak baik-baik saja.

Sering terjadi, orang yang kerap kali menampilkan kemesraan sebagai pasangan suami-istri, sebagai sebuah keluarga di media sosial, ternyata adalah justru yang rapuh rumah tangganya. Hari ini tampaknya baik, normal, tiba-tiba besok sudah bubar, cerai, dll. Tulisan ini bukan mencela orang yang kerap mengupload gambarnya bersama pasangan/keluarga, silahkan dilakukan, itu tidak salah, bukan itu fokus tulisan ini.

Demikian juga ketika kita berusaha menjelaskan bahwa kita baik, menjelaskan bahwa teman kita baik, atau menjelaskan bahwa musuh kita sangat jahat, sebenarnya justru menunjukkan bahwa kita sendiri ragu. Itu sebabnya, semakin kita dewasa, cerita hantu yang menakutkan bagi kita saat masih kecil, tidak lagi membuat kita takut. Mudahnya kita terprovokasi, tingginya hasrat kita mengklarifikasi, sukanya kita mengajak berdebat dan adu argumen, menandakan rendahnya kepercayaan diri kita, sekaligus tingginya keraguan kita kepada sesuatu yang kita bela.

Itulah sebabnya, bergunjing, berbicara di belakang, mengkritik adalah tanda lemahnya kepercayaan diri. Sekaligus, tenangnya orang saat menghadapi kritik, dengan tidak merespon kritikan adalah tanda kedewasaan sekaligus kuatnya keyakinan; kepercayaan dirinya tidak menurun karena pendapat orang lain, dan keyakinannya tidak melemah karena kritikan orang lain.


WAG Diskusi AFAS, 28/7/20, 13:45

Mengalir

Abu: Jika kita bingung tatkala hendak memutuskan sesuatu, ambil lah keputusan yang paling jujur.

Itu adalah tips beliau dalam mengambil keputusan, khususnya dalam aspek yang diwajibkan banyak mengambil keputusan, seperti memimpin, mengelola perusahaan/komunitas, maupun dalam kehidupan. Lebih jauh lagi beliau menjelaskan apa maksud keputusan yang paling jujur; maksudnya adalah tidak dipaksakan, mungkin contoh kecilnya adalah tidak memulai bisnis dengan modal hutang yang besar, dari bank pula, dan kita sendiri tidak punya pengalaman/pengetahuan banyak tentang bisnis tersebut, itu maksudnya mengambil keputusan yang jujur, tidak dipaksakan, kalau dalam bahasa inggrisnya: "Don't bite off more than you could chew" artinya Jangan menggigit sesuatu yang lebih besar dari mulut kita, intinya jangan memaksakan. Warren Buffett sebagai salah seorang terkaya di dunia pun selalu menasehatkan demikian: Berinvestasilah dengan apa yang kamu miliki, dan jauhkan dirimu dari pinjaman bank. Lebih lengkapnya kita bisa cek sendiri di internet. Ini berlaku dalam berbagai aspek, bukan hanya keuangan. Akhlak Islam itu tidak ingin menyakiti orang lain, maka hendaknya kita menghitung kemampuan kita sebelum menerima/menjalani sesuatu. Sebelum berbisnis, pastikan kita komit, sebelum menerima tanggungjawab, pastikan kita mampu, sebelum menikahi seseorang, pastikan kita bertanggungjawab, bahkan sebelum membuat sebuah peraturan pun, pastikan peraturan tersebut dapat/mampu ditegakkan.

Banyak orang tergoda membuat aturan yang luarbiasa hebat tapi ujung-ujungnya tidak mampu dikerjakan. Abu sering mengatakan: Jangan buat peraturan yang kita perkirakan pasti dilanggar semua orang. Itu sebabnya beliau sangat berhati-hati dan perlahan-lahan dalam menegakkan aturan, karena beliau menimbang kemampuan masyarakat dalam menjalani aturan/etika, sederhananya, beliau tidak menyukai memaksakan sesuatu. Kembali ke tidak memaksakan sesuatu, ataupun mengambil keputusan jujur. Beliau juga mengatakan, hidup yang paling bagus adalah hidup yang mengalir. Mengalir maksudnya bukan berpangku tangan, tidak berbuat apa-apa menunggu keajaiban. Mengalir maksudnya adalah tidak memaksakan, sambil terus memberikan yang terbaik dari diri kita. Dalam hidup sekarang, sepertinya banyak orang yang beranggapan sebaliknya. Dalam bahasa inggris seseorang berkata: Someone once told me not to bite off more than I could chew, I'd say I'd rather choke on greatness than nibble on mediocrity. Artinya: Aku dinasehatkan untuk tidak menggigit melebihi kemampuanku, menurutku sih lebih bagus tersedak/sesak dengan kehebatan daripada mampu tapi biasa² saja. Kalau kita lihat, akibat dari ungkapan dan keyakinan sejenis ini lah, banyak orang berakhir di penjara, hidup dalam pelarian, dicari-cari rentenir, dst.

Sebenarnya, meniadakan masalah itu sangat sederhana, jangan memaksakan, atau istilah jawanya "jangan ngoyo", ambil lah keputusan yang paling jujur, mengalir saja. Sekali lagi kita tegaskan, mengalir maksudnya bukan menjadi pemalas; tidak bekerja, "keasyikan berdoa tapi tidak berusaha", dst. Mengalir maksudnya adalah terus memberi yang dimampu, terus berikhtiar, terus berdoa dan berserah diri tapi tidak ngoyo, atau tidak memaksakan sesuatu. Mengalir maksudnya adalah: Jangan malu dengan aktivitas sekecil apapun, walaupun hanya membersihkan masjid, berjualan koran, yang penting adalah kita tidak tangan di bawah, tidak menyakiti orang lain, tidak meninggalkan salat, tidak menipu, tidak menjadi beban orang lain. Mengalir maksudnya adalah, jangan silau dengan gaya hidup orang lain, hiduplah di bawah kemampuan kita, jangan makan di tempat makan yang tidak mampu kita bayar, jangan tergoda untuk membeli sesuatu yang orang lain beli. Jikalau semua orang konsisten mengalir dalam pengertian ini, kita bisa memperkirakan pada waktunya rezekinya, konkritnya perekonomiannya akan meningkat dengan sendirinya. Bukan kah Tuhan sudah menjamin rezeki, jodoh, dan maut? Mungkin Tuhan sebenarnya ingin memberi kita rezeki, tapi Dia tahan TanganNya karena akhlak buruk kita, karena ngoyo kita, karena kita menyakiti orang lain, karena gaya hidup kita, karena kemalasan kita, karena kita memaksakan diri.


WAG Diskusi AFAS, 14/7/20, 23:15

Memperoleh Hati Yang Lebih Tenang

Dalam sebuah acara Mario Teguh Golden Ways (MTGW), seseorang bertanya pada Mario Teguh dengan pertanyaan kira-kira: "Saya berbuat baik dengan tulus, tetapi malahan ada orang yang mengatakan saya berbuat baik karena cari muka (ingin terkenal), apa yang harus saya lakukan?" Mario Teguh menjawab kira-kira: "Yang tau ketulusan kita adalah kita sendiri, mengapa harus terganggu dengan komentar orang? Teruslah berbuat baik dan jangan persulit diri kita dengan kesimpulan-kesimpulan orang lain tentang diri kita." Ini adalah pelajaran yang luarbiasa. Betapa seringnya kita terganggu dengan pendapat orang lain. Mari ambil contoh sederhana; tiba-tiba ada orang Eropa mengatakan: "Orang-orang Asia Tenggara, terutama Indonesia itu bodoh!" Bagaimana respon orang-orang? Ada yang mengkritik balik dengan mengutip kelemahan orang Eropa, ada yang marah di sosmed, bahkan mungkin ada yang mencari alamat email bahkan nomor telepon si pengkritik untuk sekedar mengirimkan sumpah serapah dan caci maki. Tetapi, ada pula orang yang hanya tertawa saja menanggapinya. Satu hal yang pasti: Perkataan hanyalah perkataan, pendapat hanyalah pendapat, mengapa kita begitu terganggu?

Coba kita bayangkan usia kita 7 tahun, lalu abang/kakak kita bercerita pada kita di belakang rumah kita ada hantu perempuan, bagaimana sikap kita? Bisa diperkirakan: Sangat terganggu. Kita tidak berani lewat belakang rumah, tidak berani ke belakang rumah, bahkan membicarakan belakang rumah saja tidak mau. Sebenarnya masalahnya sederhana: Kita menyetujui omongan/pendapat orang lain. Dan kualitas hidup kita sebagai anak-anak menurun: Harus ditemani jika lewat belakang rumah, dan seterusnya, dan seterusnya. Sebenarnya, masalahnya selesai jika kita tidak mempercayainya, jika kita mengabaikannya, ingat... omongan hanya omongan, pendapat hanya pendapat. Setelah kita dewasa, kita tidak lagi mudah mempercayai kisah² mistis, tapi sering sekali kita mempercayai teori konspirasi, prasangka buruk, ataupun celaan-celaan terhadap kita ataupun orang yang kita ingin bela. Sebenarnya, jika kita abaikan saja pendapatnya, masalah selesai. Masalah selalu dimulai ketika kita menyetujui pendapat negatif orang lain, atau ketika kita ingin mematahkan pendapat orang lain.

Demi memperoleh hati yang lebih damai, ada 2 hal sederhana yang perlu dilakukan:

1. Tidak perlu mempercayai pendapat orang lain,

2. Tidak perlu berupaya mematahkan pendapat orang lain.

Bila kita marah terhadap orang yang mengatakan kita jelek, berarti kita menyetujui kita memang jelek. Maka, putuskan saja, kita tidak sependapat dengannya, dan tidak perlu mati-matian mematahkan pendapatnya. Itu sebabnya Abu dulu sering menasehati sambil bercanda, bila ada orang yang mengatakan kita bodoh, jawab saja: "Kok baru tau? Saya udah lama tau saya bodoh." Masalah selesai. Masalahnya... begitu sedikit orang yang ingin menjawab seperti itu, karena tidak banyak orang yang ingin hatinya damai, karena tidak banyak orang yang ingin bahagia. Makanya, YM. Abu dari dulu sekali selalu mengatakan: Happiness Is The Key To Success dan beliau selalu meminta kita untuk merenung: "Am I Happy?" atau sudah bahagiakah aku?


WAG Diskusi AFAS, 11/7/20, 23:19

Berani Tampil Sama

Berani tampil beda, adalah doktrin yang sangat mendunia di dunia 20 tahun belakangan ini (atau mungkin lebih). Di antara akibat dari cara berpikir ini adalah lahirnya orang-orang yang suka mencari sensasi; berpakaian, berbicara, berpikir dengan cara yang tidak lazim. Untuk apa? "Supaya beda", tidak jelas juga untuk apa sebenarnya. Perlu kah tampil beda? Bila kita hadapkan kepada Alquran, yang penting bukanlah menjadi berbeda, yang penting adalah menjadi baik.

Di Medan, ada istilah populer "Jangan Cuman Jago Kandang", yakni jangan hebat hanya di kandang. Pernah Abu mengomentari statement ini, beliau bertutur, kira² seperti ini: "Memangnya kalau jago kandang kenapa rupanya? Kita tidak ingin jago, kita hanya ingin bermanfaat. Tidak penting apakah kita jago kandang, jago tandang, ataupun tidak jago keduanya, yang penting adalah menjadi orang baik."

Harus senantiasa dikumandangkan pertanyaan: "Apakah ini baik? Apakah ini bermanfaat? Apakah ini akan menyakiti? Apakah ini tulus?" Bisa dipastikan, bila semua orang benar-benar bertanya akan hal ini sebelum melakukan apapun, populasi pencari sensasi, ataupun jumlah orang aneh di dunia akan menurun. Ketika diri hanya dibebani untuk menjadi orang berbakti pada Tuhan, kebutuhan akan pujian, hasrat tampil beda akan menurun drastis, dan dia tidak akan keberatan untuk menjadi tak berbeda.

Kalu kita lihat Nabi saw, sebenarnya demikian juga, disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa jika ada orang yang baru masuk Islam, orang tidak tau yang mana Nabi saw, karena Nabi saw tidak mencolok; duduknya bersama-sama, bergurau bersama, berpakaian dan makan yang sama, dst. Satu-satunya hal yang membuat Nabi saw mencolok dari orang lain pada zamannya adalah Keislaman beliau, yang itu sendiri pun merupakan tuntutan Tuhan untuk menyebarkan Islam. Bisa diperkirakan, Nabi saw adalah orang yang memilih untuk tidak mencolok, dengan perkataan lain, tidak ingin tampil beda, hanya ingin berbuat baik, memilih menjauh dari popularitas, berani tampil sama.


WAG Diskusi AFAS, 10/7/20, 20:43

Proteksi

Salah satu tugas negara adalah memastikan rakyatnya makmur sejahtera; aman secara sosial dan maju secara ekonomi, dan hal ini merupakan tantangan di banyak negara. Di Malaysia, ada kebijakan "Malay Reserve" yakni memberikan keutamaan bagi orang Melayu untuk mendapatkan pekerjaan, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Di Indonesia, persisnya di Jakarta, dulu jumlah armada taxi berbagai perusahaan dibatasi, tujuannya? Agar perusahaan taxi milik Negara Indonesia tidak kalah saing dengan perusahaan taxi milik swasta (pengusaha), kebijakan ini disebut proteksi (protection). Untuk jangka waktu yang tidak terlalu panjang, memang proteksi akan memberikan dampak, tapi untuk jangka waktu panjang, yang diproteksi akan dikalahkan oleh yang bermutu. Ketika taxi online seperti Grab, Gocar, Uber bermunculan, taxi konvensional khususnya milik negara, kehilangan peminat. Ketika Minimarket seperti Alfamart, Indomaret, 7 Eleven, bermunculan, pasar tradisional mulai kehilangan peminat. Lebih-lebih ketika belanja online bermunculan, perbelanjaan tradisional mulai kehilangan peminat.

Efeknya, kita masih ingat di Jabodetabek dulu ada demo besar²an karyawan perusahaan taxi konvensional, menolak kehadiran taxi online seperti Gocar dll. Namun apa daya, kejujuran juga yang akan menang; masyarakat, dan konsumen umumnya lebih menyukai taxi online karena lebih praktis, singkatnya, pasar tidak bisa berbohong, mereka memilih yang lebih bermutu. Sebenarnya hal seperti ini adalah sebuah keniscayaan, pernah Abu berkata: Alam hanya menumbuhkan yang terbaik. Oleh karenanya, sehebat-hebatnya kita memproteksi/melindungi diri kita, ujung-ujungnya yang berkualitas lah yang akan menang.

Hal ini mengingatkan kita pada studi kasus orang Cina/Tionghoa. Di seluruh negara, ada Pecinan/Chinatown. Dan di setiap negara, selalu ada orang Cina yang sukses, bahkan orang sukses didominasi keturunan Cina. Masyarakat kita terbiasa bersangka buruk dan menuduh; Cina hebat karena korupsi, karena berbohong, karena menjilat, dan lain sebagainya. Sebenarnya ini hanyalah bentuk iri karena kita tak mampu sehebat Cina, kita menuduh berbagai tuduhan. Tentu saja, bahkan banyak orang kaya yang meraih kekuasaan dengan korupsi dan menjilat, tetapi itu bukanlah perilaku warga Cina saja, karena orang di suku Indonesia, orang suku Melayu, pun banyak yang melakukan demikian, pendek kata, tidak baik kita melabeli/mengeneralisir suatu suku dengan menempelkan sikap tertentu.

Yang berpandangan berbeda adalah Abu: Wajar Cina sukses, karena dimanapun mereka adalah pendatang, mereka tidak mendapatkan proteksi (perlindungan). Mau jadi pegawai negeri tidak bisa karena dikhususkan untuk pribumi/bumiputera. Mau beli tidak terlalu bebas, karena banyak tanah yang dikhususkan untuk pribumi/bumiputera. Akhirnya satu²nya pilihan adalah berbisnis menjadi pengusaha, dan bekerja keras, akhirnya mereka kaya, sukses dan berpengaruh. Sangat sepakat dengan Abu, kita semua tau bagaimana etos kerja/work ethic kebanyakan orang Cina, memang mereka umumnya lebih baik dari pribumi/bumiputera, itu sebabnya mereka berjaya.

Oleh karenanya, memenangkan sebuah persaingan bukanlah dengan proteksi (perlindungan), tetapi memenangkannya adalah dengan meningkatkan mutu/kualitas diri. Lihat saja perusahaan-perusahaan di dunia. Sangat sedikit perusahaan keluarga yang bertahan puluhan ratusan tahun, karena perusahaan keluarga dikelola secara tidak fitrah, yakninadanya proteksi (perlindungan) terhadap anggota keluarga. Perusahaan yang berkembang adalah perusahaan yang profesional, boleh menempatkan anggota keluarganya sebagai direksi/jajaran, tetapi anggota keluarga yang memang memiliki kualitas dan kapasitas untuk menjalankan roda perusahaan.

Akhirnya, untuk mencapai sebuah kejayaan ternyata sangatlah sederhana, berakhlak mulia lah. Kalau mau dipersingkat dan lebih spesifik lagi: Kalau mau berjaya, melayanilah. Karena, yang pelayanannya lebih baik, lebih konsisten, lebih praktis, merekalah yang berjaya. Taxi online layanannya lebih baik dari taxi konvensional. Minimarket layanannya lebih baik dari pasar tradisional. Dan kita bersyukur, agama kita memang meminta kita melayani, atau bermanfaat. Disebutkan dalam sebuah hadis: Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. (HR. Ahmad).

Cukuplah hadis tersebut sebagai motivator kita, dan meningkatkan akhlak, khususnya etos kerja/work ethic umat muslim.


WAG Diskusi AFAS, 5/7/20, 20:10

Happy Ending

Imam Syafii: Barangsiapa yang mengharapkan husnul khatimah (happy ending), hendaklah ia selalu bersangka baik dengan manusia.

Beriman atau tidak, beragama atau tidak, semua orang yang berakal sehat dan bermental sehat menghendaki akhir yang baik (happy ending). Mungkin itu sebabnya kebanyakan orang, lebih menyukai menonton film yang berakhir bahagia (happy ending), apalagi anak-anak, rasanya tidak ada anak-anak yang menyukai film ataupun kisah yang berakhir tidak indah ataupun tidak happy ending. Topik mati bahagia, ataupun happy ending, bukan hanya milik umat islam, itu topik semua agama, bahkan orang yang tak beragama sekalipun.

Who will cry when you die? (Siapa yang akan menangis ketika anda meninggal), Buku karangan Robin Sharma, seorang pembicara penganut agama buddha, banyak bercerita tentang upaya memperoleh akhir yang baik. Di dalam bukunya ia menulis kalimat yang sangat menarik, kira-kira kalimatnya (tidak persis aslinya): "Hidup yang baik adalah terlahir dengan menangis sementara orang tersenyum menyambut kehadiran kita, dan meninggal tersenyum sementara orang menangis mengantarkan kepergian kita." Kalimat yang sangat indah, dan tentunya impian banyak orang, mungkin tak semua orang mengimpikan ditangisi atau dikenang banyak orang, tapi yang jelas semuanya mengimpikan sebuah akhir yang indah (happy ending).

Pertanyaan utamanya adalah, bagaimana memperoleh happy ending? Ini adalah sebuah topik yang menarik untuk didiskusikan, dan seluruh jawaban dari hasil diskusi tersebut, tentu tidak muat bila dituliskan dalam tulisan pendek ini. Namun, mari melihat dari sudut pandang yang agak berbeda: Bila kita menonton film, apalagi film bertema romantis/fiksi sudah hampir pasti kita menyangka akhir film itu, pastilah happy ending. Mungkin begitu pula kehidupan kita, Imam Syafii berfatwa, telah kita kutip di awal tadi: Cara memperoleh happy ending adalah bersangka baik pada manusia. Bersangka baik, bila kita teruskan, bukan hanya kepada manusia, tapi juga pada kitab suci; percaya bahwa setelah akhir, segalanya lebih indah, juga kepada Tuhan, bahwa rencanaNya amat baik. Pendek kata, keimanan, sebenarnya adalah sebuah cara memperoleh happy ending.

Dalam Injil, tertulis: "Semua akan indah pada waktunya." (Ref: Pengkhotbah (3):11).

Terkait ayat Injil di atas, kita teringat sebuah ungkapan, yang tidak kita ingat pasti siapa yang mengungkapkannya pertama sekali, tapi cukup sering diulang di film-film: "Semuanya akan berakhir indah, jika belum indah, berarti belum akhir."


WAG Didkusi AFAS, 4/7/20, 03:57

Menghormati Benda Mati

Seorang teman yang pernah ke Jepang menceritakan betapa awetnya barang-barang di Jepang. Taxi yang beredar di jalan raya, kebanyakan adalah mobil second yang dipakai tahun 70an, masih bersih, mesinnya bagus. Bila pergi ke toko penjual barang-barang second, barang-barangnya masih terawat, handphone second tidak ada goresannya. Bila pergi ke kamar mandi di sebuah McD, kamar mandinya bagaikan kamar mandi hotel; licin, wangi, tidak ada bekas air, apalagi tissue yang berserakan. Suasana jalan di Jepang pun demikian, bersih, rapi, tertib lalu lintas.

Berbanding terbalik dengan kita, mobil yang baru kita beli 1 tahun lalu sudah bagaikan mobil dibeli 10 tahun lalu; tak pernah dibersihkan, banyak bekas air hujan tak dibersihkan, kita makan, minum, merokok sesuka hati di dalam mobil, sehingga kursi mobil kita ada bekas makanan, dan bau; rokok, soto, snack, all in one. Handphone yang kita miliki, baru kita beli 6 bulan yang lalu, sudah pecah layarnya, karena sering terbanting. Kamar mandi kita, di sebagian hotel pun bahkan seperti kamar mandi umum, ada bekas-bekas tissue, dan lain-lain, sederhananya jorok. Bagaimana kamar tidur kita? Kapan terakhir kali kita bersihkan? Apakah ada bekas makanan di sana? Atau bahkan ada semangkuk sop yang kita makan 3 hari yang lalu di lemari pakaian kita?

Saya pernah ditegur Abu karena dulu saya kerap sekali tak sengaja menjatuhkan handphone saya. Saya sampaikan ke Abu, saya kan tidak sengaja? Abu menyampaikan; bahwa 6 bulan sekali pun beliau belum tentu menjatuhkan handphone secara tak sengaja, tidak ada tak sengaja, yang ada ialah kita tak menjaga barang kita, tak menghormatinya, kira-kira begitu tutur Abu. Saya pernah membaca, ada satu budaya di Jepang, mensyukuri makanan yang mereka makan. Mereka benar-benar merenungkan betapa sulitnya sebutir nasi diperoleh; petani yang menumbuhkan, toko yang menjual beras, tukang masak yang mengubah beras menjadi nasi, orang yang menghidangkan di piring kita, semua direnungkan, dan mereka berterimakasih pada semua yang terlibat, dan amat mensyukurinya, sehingga cenderung tidak membuang-buang/mubazir makanan mereka.

Inilah rasa hormat, di Jepang, benda mati saja dihormati, apalagi manusia. Kita lazim melihat orang Jepang minta maaf/berterimakasih dengan cara rukuk seperti kita salat. Kita juga lazim mendengar mereka malu atas kesalahan yang dibuatnya; seorang menteri perhubungan di Jepang mengundurkan diri karena ada kecelakaan kendaraan yang melibatkan banyak korban jiwa. Abu berkali-kali memuji Jepang, bahkan kerap kali menceritakan pengalaman seorang teman lainnya yang kerja dengan orang Jepang; selalu meletakkan pulpen dengan posisi yang sama, tegak-lurus, dan itu kebiasaan 5 tahun penuh selama orang Jepang tersebut kerja di sana, dan orang Jepang itu hanya office boy, bukan petinggi. Barangkali, orang Jepang yang paling tak teratur sekalipun, sudah mengimbangi orang Indonesia yang paling teratur.

Sayyidina Ali pernah bertutur: Kebaikan yang terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir. Wajar saja kita kalah dari Jepang, wajar saja muslim kalah, kita tak terorganisir sebagaimana orang-orang yang kita sebut "kafir", sederhananya, dalam akhlak, kita lebih kafir daripada orang kafir sekalipun, pendeknya, masih banyak kekafiran dalam diri kita. Mungkin itu sebabnya, di Rumah Sakit sebelum berpulang, Abu berkali-kali mengulang-ulang kepada kami semua, kita semua tentunya: "Kita harus menjadi Jepang yang beriman ya!"


WAG Diskusi AFAS 2/7/20, 16:09

Bermegah-megahan

Di balik ketertiban yang luarbiasa, biasanya ada pemaksaan.

Di balik keseragaman, biasanya ada penindasan.

Di balik kemegahan, biasanya ada kekejaman.

(Abu)

Sebuah statement yang ringkas, lugas, luarbiasa menjelaskan.

Bila kita lihat, ada banyak orang jahat, namun ada satu persamaan dalam setiap kasus penjahat, biasanya semakin mewah orangnya, semakin kejam dirinya. Secara alami, semua orang lebih menyukai orang yang sederhana dibanding orang yang mewah dan megah. Karena di balik kesederhanaan, ada kejujuran, kerendahan hati dan empati. Jujur untuk menampilkan diri yang nyaman meski tak menarik, rendah hati untuk rela tidak dihormati dan tidak dilihat, dan empati terhadap orang yang tak sekaya dirinya sehingga mencegahnya cemburu terhadap kita.

Abu pernah bertutur; andai terjadi revolusi sosial, orang yang selamat adalah orang yang sederhana, dan yang pertama-pertama menjadi target penjarahan/protes/kekerasan masyarakat adalah orang yang hidup mewah, apalagi kalau suka pamer. Tak heran, polisi, pegawai KPK, dan penegak keadilan di pemerintahan memang memiliki kode etik untuk hidup sederhana, bahkan sebagian kode etiknya; main golf pun tidak boleh. Ketika seseorang mewah, mereka rawan dicemburui secara sosial, bahkan kehilangan efektifitasnya. Abu pernah bertutur: Ciri pakaian yang harus kita sedekahkan adalah yang kita terlalu takut pakaian tersebut kotor. Barangkali maksudnya, fungsi harta adalah menjaga kita, bukan untuk dijaga. Terlalu sibuk dengan harta, membuat kita tidak fokus terhadap kerja kita, terhadap orang lain, bahkan kehilangan fokus terhadap Tuhan.


QS. At Takatsur (102): 1-8

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,

Sampai kamu masuk ke dalam kubur.

Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),

Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,

Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,

Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,

Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin.

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).

Maha benar Allah dengan segala firmanNya.


WAG Diskusi AFAS, 1/7/20 : 00:21

Wudhu

"Seorang muslim adalah orang yang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya."

(HR. Bukhari dan Muslim)

Kita benar-benar perlu memeriksa kembali, apakah muslim lain, dan orang lain, selamat dari kejahatan tangan dan lisan kita. Saat musim lebaran dan tahun baru, apakah tetangga kita selamat dari kebisingan petasan/mercon yang kita nyalakan? Dalam bersosial media, apakah orang lain selamat dari ketikan caci-maki, atau gosip yang kita tuliskan? Dalam hidup berkeluarga dan bertetangga, apakah anggota keluarga kita dan tetangga-tetangga kita aman dari kemarahan dan sumpah serapah yang kita lontarkan? Apabila itu semua belum, maka kita belum pantas menerima predikat/status muslim.

Setiap wudhu, tangan dan mulut kita selalu dibasuh. Bukan kebetulan Tuhan mendesain wudhu membasuh tangan dan mulut, memang sudah menjadi kehendak Tuhan kita menyucikan perbuatan dan ucapan kita. Wudhu, menyucikan anggota² badan yang sering melakukan dosa, sangat luarbiasa Bimbo merilis lagu berjudul Wudhu, sangat mewakili substansi Wudhu. Imam al Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin mengatakan ada 4 level thaharah/wudhu. Level 1: Membersihkan anggota tubuh yang dibasuh wudhu, Level 2: Membersihkan badan, Level 3: Meninggalkan segala akhlak buruk dan menghiasi segala akhlak baik, Level 4: Meninggalkan/menafikan segalanya selain Allah dan menetapkan/mengisbatkan hanya Allah dalam diri.

Kita adalah orang Islam, bahkan, mengamalkan tasawuf. Sudah di level manakah wudhu kita?


WAG Diskusi AFAS, 24/6/20, 22:12

Menjadi Master

Seorang prajurit terkena panah beracun di medan perang. Pasukan medis pun segera mengobatinya dan akan mencabut panah beracunnya. Namun sebelum dicabut, si prajurit malah bertanya: "Tunggu dulu! Tadi yang memanah saya siapa? Warna rambutnya apa? Usianya berapa?" Pasukan medis hanya menanggapi: "Itu tidak penting! Yang penting sekarang anda sembuh!"

Hal yang terdengar konyol, namun sesungguhnya merupakan keseharian kita. Terlalu sering kita mempertanyakan, dan mengurusi hal-hal yang tidak penting dalam hidup kita seperti; hal-hal yang di luar kendali kita, hal-hal yang tidak memberikan dampak apapun bila kita ketahui, contohnya, mengetahui aib orang lain yang tidak berkaitan dengan urusan kita atau urusan orang di sekitar kita, itu benar-benar sesuatu yang tidak mengubah apapun. Bahkan perilaku ini turut terbawa-bawa dalam mempelajari agama. Banyak orang, bahkan ahli agama mempelajari hal-hal yang boleh dikatakan tidak penting. Apa hukumnya salat memakai sarung yang benangnya terkeluar sejauh 2 meter, dan di ujung benang itu ada kotoran kucing, apakah salatnya sah? Apa makna Alif Lam Mim? Dan hal-hal sejenis ini.

Sebenarnya Tuhan sendiri telah mengunci, dalam QS. Ali Imran(3) ayat 7 yang terjemahan bahasa Indonesianya: Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Tuhan sendiri yang mengunci bahwa kecenderungan menyukai hal² yang mutasyabihat (tidak jelas), adalah orang yang condong hatinya pada kesesatan. Demikian juga berbagai hal yang tidak perlu dibahas, yang di luar kendali kita, dan tidak memberikan kemanfaatan apapun pada diri kita, bila kita suka membahasnya, mengkajinya, itu jelas menjauhkan kita dari bahagia, dan menjauhkan kita dari menjadi manusia yang efektif.

Abu pernah bertutur; seorang master (pakar) adalah orang yang efisien dalam perilakunya. Dia bergerak hanya seperlunya. Ini sangat nampak pada pemain bola. Bandingkan permainan bola Lionel Messi sekarang dan pada awal kariernya, jelas sekarang ia lebih efisien dalam bergerak, dan dalam bermanuver. Demikian juga para Sniper (penembak jitu). Dalam sebuah film dikisahkan, seorang Master Sniper adalah orang yang sangat efisien, dimana pada masa mudanya, dia adalah seorang yang banyak melakukan hal yang tidak penting; membawa foto pacarnya saat bertugas, memakai bandana, lensa senjatanya ada 4 macam, dan lain-lain. Dengan kalimat singkat, semakin master seseorang, semakin efisien dirinya. Hidup pun demikian, semakin pakar seseorang menjalani hidup, semakin efisien pergerakannya, semakin ia pakar, semakin ia sadar, mana yang bukan urusannya, mana yang tidak perlu, dan mana yang harus... Ternyata, yang perlu dan yang harus adalah mengerjakan ayat-ayat Alquran yang muhkamat (yang jelas), singkatnya lagi... Master tau betul ternyata tugasnya sebagai manusia hanya 1: Menjalankan Islam secara kaffah, dan ia tidak membebani dirinya dengan selain itu...


WAG Diskusi AFAS, 24/6/20, 22:04

Tazkiyatun Nafs

Apakah 2 anak terlalu banyak?

Tergantung, bila anak itu memiliki kualitas Barack Obama, 7 pun terlalu sedikit. Namun bila anaknya menjadi pelaku bom bunuh diri, 1 pun sudah terlalu banyak. Demikian tutur Abu dahulu. Tentu ini hanyalah renungan, tentang jumlah anak, ikutilah program Keluarga Berencana atau arahan pemerintah setempat, dan perhitungkanlah jumlah kemampuan keuangan dan sejenisnya. Umumnya kita dibesarkan dalam lingkungan keluarga Islam. Adapun perintah Islam, bisa dilihat sebagai kumpulan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Haji, itu tazkiyatun nafs. Ramadan ke Ramadan, adalah tazkiyatun nafs, waktu salat ke waktu salat adalah tazkiyatun nafs, bahkan wudhu itu sendiri sejatinya tazkiyatun nafs. Apalagi bagi kalangan pengamal tasawuf, zikir demi zikir, adalah tazkiyatun nafs. Pertanyannya: Sudah sejauh mana tazkiyatun nafs ini terwujud?

Dalam berbagai ayat Alquran dan hadis Nabi saw, jelas sekali dikatakan bahwa salat, puasa, zikir mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Kita harus memeriksa kembali, sejauh mana jiwa kita telah tersucikan dengan berbagai ritual?

Tanda kesucian jiwa jelas; terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Tanda bahwa kita terhindar dari keji dan mungkar pun jelas, kita menjadi seseorang yang bermanfaat (rahmatan lil alamin). Keberkatan hadir di lingkungan kita; tempat tinggal kita semakin bersih karena kehadiran kita, orang² menjadi gemar salat karena kehadiran kita, kemubaziran berkurang seperti barang² elektronik tak terpakai dimatikan, itu namanya rahmatan lil alamin, berkah bagi alam semesta. Kehadiran orang suci, itu menjadi berkah bagi lingkungannya; semakin bersih, semakin aman, semakin makmur, semakin dekat dengan Tuhan.

Jadi, kalau kita tarik.

Tazkiyatun Nafs -> Jiwa Menjadi Suci -> Menjadi Rahmatan Lil Alamin.

Sederhananya, semakin rajin kita bertazkiyatun nafs (menyucikan jiwa), semakin baik lingkungan sekitar kita.

Mari bersama kita evaluasi:

1. Seberapa sering kita bertazkiyatun nafs?

2. Apakah kita telah menjadi rahmat bagi lingkungan atau justru menjadi bala?

3. Apakah tazkiyatun nafs kita telah mengantarkan kita menjadi rahmatan lil alamin?

4. Jika belum, mengapa tazkiyatun nafs kita belum membuat kita menjadi rahmatan lil alamin?

Semua ini harus selalu kita renungkan, temukan jawabannya, dan harus kita capai. Ini adalah kode etik, setiap umat muslim...


WAG Diskusi AFAS, 24/6/20, 24:45

Change Your Mind Change Your Life

(Ubah pikiranmu, ubah hidupmu)

Sampai dengan detik ini, sangat banyak orang, masyarakat, komunitas, kota, memperjuangkan kemerdekaannya. Lihat saja di berbagai negara, ada wilayah tertentu yang memperjuangkan kemerdekaan. Ada pula sebagian komunitas, memperjuangkan legal standing, keabsahan, atau pengakuan. Ada pula orang-orang yang memperjuangkan dirinya lewat berbagai jenjang studi pendidikan akademis, atau mengganti tempat kerjanya, dan lain sebagainya. Bila kita berpikir lebih kritis, sebenarnya apa tujuan dari itu semua, di level negara; sebenarnya apa tujuan kemerdekaan? Apakah kemerdekaan adalah akhir? Sebenarnya, tujuan kemerdekaan adalah kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan, tetapi apakah semua yang memerdekakan diri berhasil memperolehnya? Apakah semua yang mengubah tempat kerjanya, bahkan mendapatkan gelar kesarjanaannya, berhasil memperoleh kebahagiaan, kemakmuran dan kesejahteraan? Sepertinya, tidak semua memperolehnya.

Kalau demikian, sebenarnya, apa yang perlu diperjuangkan? Apa yang mengubah nasib kita? Apa yang mengubah nasib bangsa kita? Mungkin itulah yang disebut Revolusi Mental, atau Mengubah Mindset. Kita bisa membayangkan, bila seluruh penduduk pulau Jawa pindah ke Jepang dengan membawaserta seluruh kekayaannya, dan seluruh penduduk Jepang pindah ke Jawa dengan hanya membawa pakaian di badannya, apa yang terjadi? Dalam jarak 5 tahun, Jawa akan menjadi Jepang dan Jepang akan menjadi Jawa. Atau sebutkan tempat lainnya, dimanapun itu, karena sejatinya, nasib seseorang adalah produk dari cara berpikirnya. Dalam sebuah tulisan dikatakan, 10% nasib kita ditentukan oleh faktor luar (apa yang terjadi pada kita) dan 90% nasib kita ditentukan oleh faktor dalam (bagaimana kita menanggapinya).

Tulisan ini tidak mencegah kita untuk memperjuangkan hal-hal yang tertulis di atas seperti kemerdekaan, kesarjanaan, pergantian tempat kerja, dan sebagainya. Itu bagus. Namun, yang secara utuh mengubah nasib kita adalah isi kepala kita. Sederhananya, bila kita bermental Jepang, kita akan bernasib Jepang. Bila kita bermental sahabat Rasulullah saw, kita pun akan bernasib seperti sahabat Rasulullah saw. Dalam sebuah teori dikatakan bahwa nasib, dibentuk oleh keputusan, keputusan dibentuk oleh cara berpikir, intinya cara berpikir membentuk nasib. Sama seperti sebuah bangunan (building), sebelum dibangun, terlebih dahulu digambar.

Nasib pun demikian, bermula dari kepala, bermula dari perasaan yang positif. Dalam sebuah film kartun digambarkan bahwa ada suatu alam, di alam tersebut perasaan kita menjadi kenyataan, oleh karenanya jika kita ada di alam tersebut, kita harus menjaga perasaan kita senantiasa positif, agar kita mendapat keadaan yang bagus. Agaknya, itu bukan hanya alam di film kartun saja, itu juga alam kita. Ubah perasaan kita, ubah pikiran kita, niscaya nasib kita berubah. Change your mind, change your life. Silahkan mengganti tempat kerja, silahkan perjuangkan kemerdekaan, tapi di saat yang sama, jangan lupa untuk mengganti mindset, jangan lupa merevolusi mental.


WAG Diskusi AFAS, 2/6/20, 20:23

Staying In Control

(Senantiasa Dalam Kendali)


Dalam sebuah artikel psikologi, terungkap bahwa teori konspirasi dan prasangka, ternyata lebih mungkin dimiliki orang-orang yang:

- Merasa menjadi korban ketidakadilan

- Sedang berada dalam situasi yang penuh ketidakpastian

- Sedang stress

- Dan lain-lain

Intinya, merasa tidak berdaya untuk mengubah berbagai hal, dalam sebuah istilah disebutkan bermental korban (victim mentality). Khususnya dalam suasana pandemi corona saat ini, seluruh dunia sedang lockdown, ada suasana penuh ketidakpastian; tidak bisa beraktivitas bebas seperti biasanya, ada kecemasan akan terkena virus, ada kekhawatiran ekonomi dan kekhawatiran sosial, situasi lockdown yang penuh ketidakpastian benar-benar kondusif untuk menyuburkan teori-teori konspirasi, pendeknya, suasana ketidakberdayaan, adalah pemicu suburnya prasangka-prasangka buruk.

Masih dalam artikel yang sama, terungkap, bahwa teori konspirasi atau prasangka, cenderung tidak dimiliki orang-orang yang intinya, merasa memiliki kekuatan untuk mengubah, merasa memiliki kendali atas hidupnya. Ternyata, prasangka buruk cenderung dimiliki oleh orang-orang yang merasa tidak berdaya, bermental korban, dst. Masih dalam artikel yang sama, orang yang cenderung mempercayai teori konspirasi dan berprasangka, cenderung kehilangan kepercayaan pada banyak hal, pada pemerintah, pada penguasa, dan lain-lain. Dunia dipenuhi berbagai teori konspirasi. Pernah YM. Abu sambil bercanda mengatakan: "Usia saya 65 tahun, setiap saya baca berita, ekonomi negara tidak pernah bagus, masa depan tidak pernah cerah dan dunia tidak pernah tidak mau kiamat." Usia teori konspirasi sudah ratusan, dan banyak hal yang dikonspirasikan, dan kita bisa melihat, orang yang meyakininya, kebanyakannya tidak berbuat banyak, yang pasti cenderung lebih stress.

Kata kuncinya, semakin kita merasa memegang kendali atas hidup kita, semakin rendah prasangka kita dan semakin rendah kemungkinan kita percaya pada beragam teori konspirasi. Nelson Mandela, dipenjara dan disiksa 27 tahun, memaafkan orang yang memenjarakan dan menyiksanya. Dia berkata, dan diabadikan dalam film Invictus; I am the master of my fate, I am the captain of my soul (Akulah yang menentukan nasibku, akulah nakhoda jiwaku). Jelas Nelson Mandela, tidak memiliki mental korban (victim mentality), dia senantiasa dalam kendali (staying in control), karena ia sangat menyadari bahwa nasibnya ada dalam kendalinya, dan tidak ada seorang pun yang bisa mengambil kebebesannya memilih, bersikap dan mengambil keputusan. Sebenarnya Tuhan pun demikian, Tuhan menegaskan dalam QS. 8: 53, 13: 11, bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang, tanpa sekehendak seseorang itu sendiri. Alquran pun memiliki sifat demikian, selalu beriringan menjelaskan nasib orang baik dan nasib orang jahat, agar manusia tersebut memilih.

Staying in control (ada dalam kendali), atau controlled by situation (dikendalikan situasi), itu pilihan kita.

Semua orang, bahkan Tuhan pun memberikan kita kebebasan memilih.

Saran: Pilihlah bahagia.


WAG Diskusi AFAS, 2/6/20, 19:38

Hakikat Sebuah Gagasan

Ada ratusan, mungkin ribuan teroris ditangkap setiap tahunnya di Indonesia, dan di dunia. Namun, mengapa terorisme, khususnya terorisme atas nama agama masih terjadi? Sangat sederhana, karena gagasannya masih hidup. Ada ratusan atau ribuan pelaku teror ditangkap, bahkan dieksekusi, namun penangkapan dan kematian pelaku teror, tidak sama dengan membunuh gagasan atau ide teror. Apabila gagasan tersebut masih hidup, yang ditandai dengan adanya orang-orang yang menyetujuinya, potensi atau kemungkinan terorisme, khususnya atas nama agama, akan selalu ada.

Intinya, terorisme, bahan bakarnya adalah keyakinan atau gagasan. Yang baginya adalah kebenaran. Di sisi lain, ada juga aksi memberi makan, aksi sedekah, aksi memungut sampah di jalanan, aksi melindungi orang lain, bahan bakarnya juga sama, keyakinan atau gagasan.

Kita perlu mengenal secara baik, sebenarnya siapa musuh kita sesungguhnya? Dan siapa yang kita perjuangkan sesungguhnya? Tidak berlebih-lebihan, musuh utama kita adalah gagasan; gagasan yang menganggap orang lain layak dibunuh, layak diambil haknya, layak dizalimi, dst. Bila kita kaji lebih serius, sebenarnya darimana datangnya segala gagasan untuk menyakiti orang lain? Darimana lagi kalau bukan dari setan? Dalam QS. An Nas (114): 4-5 diterangkan bahwa setan, membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia, bisa kita anggap juga, membisikkan gagasan, ide, dan keyakinan yang membuat manusia merugi di dunia dan di akhirat. Itulah yang sesungguhnya kita perangi, dengan perkataan lain, sebenarnya kita memerangi setan.

Sebaliknya, apa yang kita bela? Dalam QS. Al Baqarah (2): 38 disebutkan bahwa tidak akan bersedih hati dan khawatir orang yang mengikuti petunjuk dari Tuhan. Dengan perkataan lain, kita sebenarnya membela gagasan Tuhan, atau boleh dikata, membela Tuhan. Masalahnya adalah, banyak orang yang saat ini membela gagasan setan, sedang merasa dirinya membela gagasan Tuhan, dimana pembedanya? Sangat subjektif, tapi dari QS. 2: 38 tadi kita bisa melihat, ciri gagasan yang datang dari Tuhan adalah mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan, serta menciptakan perbaikan dan kelestarian bagi orang lain dan alam semesta. Sebaliknya, ciri gagasan yang datang dari setan adalah mendatangkan keresahan dan kegelisahan, serta menciptakan kerusakan dan kehancuran bagi orang lain dan alam semesta.

Secara keseluruhan, gagasan Tuhan adalah Alquran, itulah yang mendatangkan ketenangan, kebahagiaan, perbaikan, kelestarian bahkan keabadian. Bahkan itu selalu kita minta dalam surat Al Fatihah: Ditunjuki jalan yang lurus, yakni jalan orang yang Tuhan beri kenikmatan (jalan orang yang menyetujui dan mengimplementasikan gagasan Tuhan), bukan jalan orang yang dimurkai Tuhan dan yang tersesat (jalan orang yang menyetujui dan mengimplementasikan gagasan setan). Sekarang, amat pentingnya kita merevisi diri kita sendiri, apakah kita menjalani hidup dengan gagasan Tuhan, atau dengan gagasan selainNya? Dan lebih jauh dari itu, apa peran kita, peran masyarakat kita, mencegah berkembangnya gagasan setan, dan mendukung berkembangnya gagasan Tuhan? Terlebih-lebih, mencegah berkembangnya gagasan setan, yang mengatasnamakan agama.


WAG Diskusi AFAS, 31/5/20, 20:30

Budaya Baca Tulis (2)

Yang berteman itu otak, kata Abu. Lebih tegas lagi beliau mengatakan, manusia itu disatukan oleh gagasan/pemikiran yang sama. Orang-orang yang setuju akan bersama-sama walau beda suku dan ras. Sebaliknya yang tidak setuju tidak akan menyatu walau suku dan rasnya sama. Dengan perkataan lain, berteman adalah proses bertukar gagasan dan ide. Kita berbicara, sejatinya adalah menyampaikan gagasan, menyampaikan ide. Kita mendengar, sejatinya adalah mendengarkan gagasan, mendengarkan ide. Sama halnya dengan kita menulis dan membaca di Whatsapp: Menyampaikan dan mendengarkan ide.

Abu: Ketika kita membaca buku ataupun tulisan seseorang, kita sedang berteman atau berbincang dengan penulisnya.

Bila kita baca buku karangan Barrack Obama, kita secara intelektual sedang berbincang dengannya. Bila kita baca buku biografi Abu Bakr Siddiq, kita sedang berbincang dengannya. Maka, ketika kita baca hadis, baca Alquran, dengan siapa kita berbincang?


Luaskanlah pertemanan kita, masa lockdown sekarang ini, kita bisa bersahabat dengan orang-orang hebat yang jauh di luar negeri, atau bahkan yang sudah meninggal. Bacalah sebanyaknya, tambahkan orang-orang arif dalam lingkaran pertemanan kita. Yang pasti YM. Abu menegaskan, kita perlu agak memaksa diri membaca Alquran dan hadis agar pikiran Allah dan RasulNya masuk kepada kita.

Dan bisa dibayangkan, betapa dahsyatnya kualitas pemikiran kita, bila kita "menelan" berbagai pemikiran orang-orang hebat. Katakanlah usia kita sekarang 35 tahun, kita baca buku orang berusia 45 tahun. Maka, kualitas pemikiran kita menjadi sekualitas 80 tahun. Bayangkan bila kita terus menambah bacaan kita, berapa kualitas umur kita? Itulah hebatnya membaca.

Belajar, itu sebenarnya substansi atau inti dari budaya membaca.

Kalau demikian, pembelajaran pun bahkan bisa kita lakukan bukan hanya dengan membaca, tapi juga menonton; youtube, film, dan apapun.

Dan belajar, adalah keistimewaan yang Tuhan beri pada manusia. Kucing dari zaman Nabi Adam sampai sekarang nasibnya sama, karena mereka tidak bisa baca tulis, tidak bisa lihat youtube, hewan tidak bisa belajar, maka wajar bila nasib hewan sama dari dulu hingga sekarang. Manusia dikaruniai kemampuan belajar sehingga mereka bisa mengubah nasibnya.

Oleh karenanya, manusia harus memiliki nasib lebih baik dari orangtua dan pendahulunya, tapi anehnya, ada saja manusia yang nasibnya sama atau bahkan lebih buruk dari pendahulunya.

Itulah sebabnya Tuhan mengecam manusia yang tidak mau belajar dalam QS. 7: 179, bahkan manusia yang tidak mau belajar disamakan dengan hewan ternak, bahkan lebih buruk.


WAG Diskusi AFAS, 28/5/20, 01:17

Budaya Baca Tulis

Efek Pandemi Corona, hubungan kita dengan gadget (handphone) menjadi semakin erat. Ketergantungan kita dengannya meningkat. Tidak selamanya buruk. Bahkan banyak positifnya, salah satunya meningkatnya budaya baca-tulis. Kita menjadi rajin membaca berita secara lengkap, membaca share di Whatsapp secara lengkap, lebih-lebih di komunitas kita semakin rutin diskusi CFM Online, yang melibatkan aktivitas membaca dan menulis yang intens.

Manfaat membaca dan menulis di handphone pun banyak, salah satunya kita terlatih berpikir sistematis, dan efisien dalam mengungkapkan pendapat kita. Masalah utama dalam perbincangan hari-hari kita adalah bertele-tele dan tidak to the point. Dalam menulis, kita hanya menyampaikan poin-poin saja tanpa disertai kata-kata boros seperti eee, anu, emmm, _apa namanya itu, dan lain-lain. Terbiasa menulis, akan memperbaiki cara kita berbicara juga.

Intinya, kita terlatih berpikir dengan lebih baik. Dan keterampilan berpikir, juga berbanding lurus dengan efektifitas kita mengatasi masalah-masalah. Orang yang sistematis, tidak bertele-tele dan to the point, mengatasi masalah dengan lebih baik. Singkat kata, terbiasa membaca dan menulis, akan membantu kita mengatasi masalah. Dan bila kita secara beramai-ramai terbiasa membaca dan menulis, masalah-masalah di masyarakat akan teratasi dengan lebih baik.

Abu secara khusus menyuruh saya menulis. Menulis apapun. Menulis masalah. Menulis pemikiran. Dan lain-lain. Bahkan beliau, sebelum pergi ke dokter, menuliskan daftar pertanyaan (questionnaire) yang akan ditanyakan ke dokter. Beliau mengatakan, menulis akan membantu kita lebih efektif dan efisien menyampaikan gagasan kita. Beliau melanjutkan, pembicara yang baik adalah penulis yang baik. Jadi, bila ingin meningkatkan kemampuan berbicara, menulislah.

Lebih jauh lagi, beliau juga mengatakan, bila sudah terbiasa, kita akan kecanduan menulis. Saya mengalami itu sekarang, asyik, larut. Kita pun boleh mencoba. Tulis saja, selama tidak merugikan orang lain dan tidak bertentangan dengan agama. Bila dirasa bermanfaat, silahkan dishare. Sebenarnya, masyarakat negara maju memiliki kebiasaan-kebiasaan ini. Kita pun, perlu membiasakan demikian, dan membangun pertemanan yang tidak mencaci, dan pertemanan yang saling menguatkan, juga saling membangun kemampuan diri masing-masing.


WAG Diskusi AFAS 28/5/20, 01:00

Membangun Kejujuran

Seorang raja yang kaya raya tak puas dengan penampilannya, wajar lah, ia masih muda. Koleksi pakaiannya sudah ratusan, dan berbagai jenis pakaian telah dimilikinya. Itu pun tidak kunjung membuatnya puas. Akhirnya raja mengundang seorang penjahit terhebat di negeri itu. Dimintakannya membuat pakaian terbaik dengan model yang belum pernah ada sebelumnya. Penjahit pusing, karena semua pakaian telah raja miliki, akhirnya datanglah ide penjahit. Dia tak menjahit apapun..... Penjahit datang kepada raja dengan tangan kosong sambil berkata... ini adalah pakaian terbaik... namun hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang beriman... sambil berpura-pura membentangkan baju....

Raja... sebenarnya tidak melihat apapun, tapi karena takut dianggap tidak beriman akhirnya berpura-pura takjub dan memuji-muji pakaian imajiner tersebut. Raja pun menanyakan pendapat para menteri dan pembantu kerajaan yang turut hadir. Sebenarnya mereka tidak melihat apapun, tapi lagi-lagi karena takut dianggap tidak beriman, mereka pun turut memuja-muji pakaian imajiner tersebut.

Masalahya belum berakhir.... raja pun meninggalkan seluruh pakaian di badannya, dan ia mengenakan pakaian imajiner tersebut, sambil berkeliling kerajaan memamerkan baju barunya... tak lupa dengan kalimat penegas: "Hanya orang beriman yang bisa melihat pakaian ini." Semua rakyat yang menyaksikan raja telanjang itu pun berdecak kagum dan memuji pakaian raja, karena takut dianggap tidak beriman. Tiba-tiba di tengah keramaian orang, lewat seorang anak kecil lugu polos usia 4 tahun dan berteriak dengan lugunya: "Raja telanjang!" Dan semua orang langsung berteriak dan kabur.....................

Kisah di atas, sindiran atas perilaku keseharian hidup kita dan masyarakat kita. Betapa sering, kita melakukan sesuatu yang tidak jelas manfaatnya, hanya karena takut dianggap berbeda. Berbagai perkantoran mewajibkan dasi, tali pinggang dan atribut lainnya, tanpa terlalu jelas fungsinya, hanya khawatir dianggap tidak profesional. Padahal, profesional adalah etos kerja, bukan sehelai dasi dan tali pinggang. Betapa banyak, orang berhutang untuk menikahkan anaknya karena takut akan pendapat tetangga, yang berakhir dengan lilitan hutang. Betapa sering, kita melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak nyaman kita lakukan, bahkan merugikan kita, tapi terus kita lakukan tanpa bertanya apa guna perbuatan kita itu? Kita tidak berpikir, kita hanya menjauhi kritikan, demikian pula kita sering tidak meminta nasehat, hanya meminta dukungan, kita ini katak dalam tempurung. Kita lah raja yang ditipu penjahit itu, kemudian kita tipu orang lain sebagaimana raja menipu menteri dan rakyat, kita tertipu, dan mewariskan tipuan, kita tidak jujur, dan mendidik anak-anak kita, teman-teman kita, karyawan-karyawan kita menjadi tidak jujur. Padahal merugikan tapi diteruskan, mungkin inilah yang disebut kebodohan.

Bagaimana membasmi kebodohan?

Dalam kisah raja tadi, hanya satu sosok yang tidak bodoh: Anak kecil. Apa rahasia kecerdasannya? Kejujuran. Anak kecil itu jujur, original, dan tidak khawatir atas tuduhan orang. Ternyata, orang jujur itu cerdas. Bahkan, juga mendapat dukungan... Begitu anak kecil (orang jujur) bersuara, semua orang menyetujui. Dalam kehidupan sehari-hari pun demikian. Mungkin akan banyak orang yang menanyai keputusan-keputusan kita, sebutlah misalnya: Mengapa kita tidak berhutang utk menikahkan anak? Sebenarnya, jawab saja mengapa harus berhutang? Sebenarnya orang yang menyetujui kita, jauh lebih banyak, tapi mereka diam. Kalau dalam politik, istilahnya: The Silent Majority.

Ternyata kita terlatih untuk tidak jujur, masyarakat kita adalah masyarakat yang membiasakan ketidakjujuran. Kita dibiasakan untuk menganggap kebenaran adalah pendapat penguasa, jika di sekolah pendapat guru benar, jika di rumah pendapat orangtua benar, jika di kantor pendapat boss benar, jika di pertemanan pendapat yang paling pemarah yang benar. Akhirnya kita lebih terbiasa menjaga perasaan orang-orang pemarah. Kita sering mengeluhkan premanisme (gangster) dan bully, padahal tanpa sadar, kita sendiri pun telah menjadi preman dalam keluarga, persahabatan, kantor dan masyarakat kita. Kita lah preman itu. Kita lah raja yang memaksa orang lain memuji pakaian imajiner kita.

Abu pernah berkata: Bila ada kemarahan, tidak akan ada kejujuran.

Lagi-lagi kita berhadapan dengan persoalan akhlak mulia. Kemarahan, menghasilkan ketidakjujuran. Kemarahan, menghambat proses berpikir dan merenung. Kemarahan, menghasilkan kebodohan.

Ini situasi tidak ideal, bagaimana mengakhirinya? Berakhlak mulia lah, dan dalam hal ini: Jujur lah dan berhenti marah lah.

Gelap tidak musnah dengan caci-maki, tapi ia musnah dengan nyala lilin. (Martin Luther King Jr).

Budaya buruk, tidak padam dengan kritikan dan celaan kita, nyalakan saja lilin ilmu, lilin kejujuran, dan lilin kasih sayang, mudah-mudahan cahaya petunjuk turun.


WAG Diskusi AFAS 27/5/20, 23:54

Pembenaran Akal dan Pembenaran Hati

Bagaimana caranya agar istiqamah?

Pertanyaan kita semua, dan masalah kita semua. Ada banyak jawaban, dan banyak jawaban itu benar. Namun kali ini, kita ingin melihat dari sudut pandang yang lain.

Semua orang setuju gaya hidup sehat itu baik, namun mengapa sedikit yang istiqamah dengan gaya hidup sehat? Mungkin, itu lantaran pembenarannya belum sampai ke hatinya. Kita setuju gaya hidup sehat, kita mendengar data-data dan kisah-kisah tentang keunggulan orang yang hidup sehat, kita membenarkannya, ataupun menyetujuinya, pada akal kita. Adapun istiqamah dengan gaya hidup sehat, itu terjadi pada orang yang hatinya telah membenarkan, atau dengan bahasa lain telah merasakan indahnya, nyamannya, enaknya gaya hidup sehat.

Akal mencerna baik-buruk dan benar-salah, hati mencerna indah-buruk dan bahagia-sengsara. Orang istiqamah dengan gaya hidup sehat adalah yang akalnya menyetujui hidup sehat, dan hatinya bahagia hidup sehat, kita akan menemukan orang-orang yang demikian, tidak lagi menyukai junk food, begadang, dan berbagai hal yang tidak baik bagi kesehatannya, karena yang mengistiqamahkan mereka hidup sehat, bukan hanya akalnya, tapi hatinya juga terlibat.

Beragama juga demikian.

Ketika kita menyetujui Islam, itu adalah akal kita yang menyetujui. Istiqamah baru diperoleh ketika, hati kita telah membenarkan, kebenaran Islam itu. Mari perhatikan kalimat syahadat: Bersaksi keesaan Allah Swt dan kerasulan Muhammad saw, jelas maksudnya bukan hanya disetujui akal, tapi juga dibenarkan, bahkan disaksikan, oleh hati. Bila keislaman menyentuh akal kita, maka kita akan dan telah memperoleh manfaat yang banyak sekali. Tetapi, bila keislaman telah merasuk ke dalam hati kita, di situlah kita merasakan keindahan Islam, dan tidak akan meninggalkan Islam, bahkan keranjingan/kecanduan Islam.

Islam itu ilmiah dan indah. Ilmiah itu dicerna akal, indah itu dicerna hati. Rasanya sulit seseorang istiqamah menjalani Islam, bila pembenarannya masih sampai di akalnya dan belum sampai ke hatinya, sebagaimana sulitnya orang menerapkan hidup sehat hanya karena menyetujuinya tapi tidak merasakan keindahannya.

Di samping sulit istiqamah, rasanya sangat tidak membahagiakan, menjalani kehidupan, apalagi sebagai orang beragama, menjalani agama tanpa menikmatinya.

Sebagai umat muslim, kita menyetujui kebenaran Islam.

Namun, bagaimana kita membenarkan dan menikmati Islam?

Ada 2 jawaban: Jawaban tak bertanggungjawab dan jawaban bertanggungjawab.

Jawaban tak bertanggungjawab: Pandanglah Alquran sebagai surat cinta dari Tuhan untuk kita, pandanglah agama sebagai hadiah Tuhan agar kita bahagia, dan cintailah Tuhan.

Jawaban bertanggungjawab: Wallahua'lam, mari saling mendoakan.... 🤠😄


WAG Diskusi AFAS 27/5/20 23:05

Standard Kelayakan

Bulan Syawal, masa dimana banyak dilemparkan pertanyaan-pertanyaan yang menyoal kapabilitas, ataupun kelayakan kita sebagai manusia.

Kerja dimana? Berapa gaji? Sudah sekolah sampai tingkat/jenjang mana? Dimana bersekolah/berkuliah?

Jelas merupakan budaya yang sejalan dengan masyarakat kita yang gemar basa-basi dan gemar cari tau terlalu jauh (kepo). Sehingga begitu banyak orangtua, anak, ataupun diri membangun kemampuan dirinya, dengan harapan bisa lolos "hisab" dari penanya-penanyanya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, secara tidak langsung menaruh kepercayaan, bahwa kualitas pendidikan formal, tempat kerja, kenalan, kartu nama yang kita simpan dan hal-hal sejenis adalah syarat utama mendapati kehidupan yang baik.

Apakah benar-benar demikian?

Abu pernah berkata, mari lihat orang China/Tiongkok, di seluruh dunia ada Chinatown (Pecinan kalau di Indonesia). Mereka survive dimanapun, bahkan leading (memimpin) dalam sektor ekonomi, mengapa bisa? Beliau mengatakan, ya wajar saja, mereka "harus jago" karena mereka "lemah. Di banyak negara mereka tidak bisa berpolitik, tidak diterima di perusahaan dan perkantoran milik negara, sehingga satu-satunya jalan adalah berdagang dan mereka menjadi jago, karena mereka tidak mendapatkan berbagai privillege (kemudahan) yang diperoleh pribumi/bumiputera/penduduk lokal.

Bandingkan mutu seorang pekerja/pedagang pribumi/bumiputera dengan seorang pekerja/pedagang China/Tiongkok. Umumnya China/Tiongkok, memiliki kualitas lebih.

Kualitas apa yang dimiliki China/Tiongkok, tentunya yang pernah bekerja intens dengannya yang tau, tetapi dengan kalimat singkat; akhlaknya lebih mulia. Dalam sebuah video terungkap, bahwa di Negara China, sebuah lembaga melakukan rehearsal (gladi resik) untuk sebuah acara peresmian menggunting pita. Bagaimana dengan kita? Bagi kebanyakan umat muslim saat ini (mungkin juga kita), itu kita sebut profesionalisme dan kita tidak menganggap hal tersebut bagian dari agama. Sebenarnya, itu adalah bagian dari agama, persisnya akhlak mulia. Sangat banyak hadis yang menganjurkan profesionalisme, atau dalam bahasa arabnya; itqan.

Abu pernah menegaskan: Profesionalisme adalah sikap yang terbit dari rasa hormat (respect). Dengan perkataan lain, rehearsal (gladi resik) untuk sebuah acara, adalah bentuk hormat kita kepada undangan yang akan hadir. Itulah akhlak mulia.

Sebenarnya, kualitas akhlak mulia itulah yang harus dipersiapkan orangtua-orangtua pada anaknya, diajarkan di sekolah-sekolah pada muridnya, dan didakwahkan oleh ustaz-ustaz dan dai-dai pada umat muslim. Dalam realita, apakah akhlak mulia itu yang benar-benar kita jadikan standard kelayakan untuk segala sesuatu?

Mana yang lebih mencemaskan kita, tempat persekolahan anak, atau kepatuhannya berkendara di jalan?

Apa yang menjadi syarat diterimanya karyawan kita, tingkat pendidikan formalnya, atau ketepatan janjinya?

Kriteria apa yang kita lihat dalam calon pemimpin, kekayaannya dan bintang-bintang penghargaannya, atau kebaikan hatinya dan manfaat yang telah ditebarkannya?

Kita saat ini, atau bahkan mungkin kebanyakan orang di dunia saat ini, mungkin masih berfokus kepada hal-hal yang formal seperti tingkat pendidikan, bukan kepada kualitas akhlaknya. Dan, yang memproduksi karya seseorang jelas adalah kualitas akhlaknya.

Silahkan bersekolah, berkuliah, bekerja dimanapun yang kita sukai. Itu bagus sekali, sangat mengerikan bila semua sekolah kedokteran tutup, tidak akan ada dokter.

Namun, sadari bahwa standard kelayakan utama seseorang menjalani hidup adalah, akhlak mulia. Dan bangunlah akhlak itu.

Akhlak mulia, selama ini pun kita perkecil menjadi sekedar ramah, gemar memberi makan dan sopan santun, kalau memanggil orang lengkap dengan gelarnya, bila lewat di depan kita tangan kanannya diturunkan. Itu akhlak. Tapi akhlak juga maksudnya adalah: Hormat, tidak mubazir, profesional (itqan kalau mau bahasa arabnya), tepat janji, bermanfaat bagi orang lain, dst.


Saran: Jangan bangun pertanyaan tentang dimana bersekolah dan jumlah gaji, tapi bangunlah pertanyaan tentang rencana karya dan rencana kebajikan yang akan ditebarkan.

Karya, karya, karya.

Akhlak, akhlak, akhlak.


WAG Diskusi AFAS 26/5/20, 1:14

Agama dan Jalan Pintas

Seorang Ibu, tengah asyik mendakwahkan keutamaan membaca sebuah surat dalam Alquran. Karena ia baru saja membaca sebuah hadis tentang fadilah (keutamaan) surat tersebut, konon kabarnya bisa membuat kaya.

Sang anak, yang baru saja membaca koran, tentang seorang non-muslim super kaya, dengan lugunya berkata kepada Ibunya:

Anak: Bu, saya baru membaca tentang pebisnis A.

Ibu: Ya, kenapa rupanya?

Anak: Dia bukan muslim.

Ibu: Lalu kenapa?

Anak: Tidak pernah dia membaca surat yang selalu Ibu anjurkan.

Ibu: ......

Kisah di atas adalah ilustrasi, yang sangat menggambarkan situasi masyarakat kita, bagaimana masyarakat kita memandang agama.

Kita percaya, ada sebuah hadis tentang fadilah daripada bacaan ayat-ayat dalam kitab suci, walaupun banyak di antara hadis-hadis tersebut yang ternyata tidak sahih namun populer. Di antara hadis tersebut menjanjikan hal-hal bombastis seperti jika dibaca, seseorang akan kaya. Dan banyak masyarakat kita, khususnya yang suka agama, meyakini hal tersebut sepenuh hati, dan lebih jauh dari itu, kita memandang itulah agama, dan menjadikannya sebagai mindset cara menjalani kehidupan.

Suka jalan pintas (shortcut), banyak orang dalam masyarakat kita, khususnya dari kalangan beragama yang memiliki mindset demikian, dan memandang agama sekedar hal yang demikian. Rasulullah saw bukanlah orang yang suka jalan pintas. Beliau berdagang, mengatasi masalah, dan beliau tidak mengandalkan bacaan-bacaan atau wirid-wirid semata untuk menyelesaikan masalahnya.

Nabi Musa as, yang tongkatnya bisa berubah menjadi ular, tidak pernah menyuruh ularnya berjualan ke pasar atau untuk mencari rezeki.

Banyak umat islam hari ini, terlalu mengandalkan bacaan-bacaan, untuk mengubah nasibnya, tidak bekerja, tidak bermasyarakat, dan menggantungkan nasibnya pada berbagai wirid/bacaan.

Agama, telah kita peras/perkecil menjadi jalan pintas atas masalah-masalah kita. Alquran, kita perlakukan sebatas hanya menjadi jimat, untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudarat.

Pertanyaannya: Apakah untuk itu agama diturunkan? Dan itu saja kah agama?

Sebenarnya bila kita menggali agama lebih mendalam, kita akan menemukan banyak hal yang selama ini kita tinggalkan, tidak diajari di kebanyakan sekolah-sekolah agama, dan tidak didakwahkan oleh banyak ustaz-ustaz dan dai-dai, sebut saja misalnya tentang kebersihan, kemubaziran dan menepati janji.

Mari bandingkan dengan jujur, mana lebih bersih, masjid-masjid, atau rumah ibadah agama lain, atau bahkan tempat-tempat sekuler seperti mall dan taman-taman?

Bandingkan rumah kita, masjid-masjid kita, dan kantor-kantor perusahaan multinasional, mana yang lebih banyak lampu-lampu hidup, ac-ac dan kipas-kipas nyala padahal tak dipakai?

Bandingkan kendaraan yang kita miliki, kamar kita tidur, dengan taxi dan ruangan-ruangan umum, mana yang lebih bersih, lebih rapi?

Seberapa tepat waktu kita berjumpa dengan teman kita? Seberapa on time kantor-kantor dan bisnis-bisnis kita? Seberapa tepat waktu dan tepat target program-program kita di kantor?

Itulah tanda bahwa sebenarnya agama telah kita perkecil menjadi sekedar wirid-wirid/bacaan-bacaan, ritual-ritual saja.

Pemikiran ini bukanlah hal baru.

Tahun 2012 Prof. Hosein Askar pernah membuat penelitian dengan tajuk "How Islamic Muslim Countries Are?" (Seberapa Islami Negara² Islam). Ditemukan waktu itu Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbanyak, menduduki peringkat 147. Dasar penelitian adalah seberapa diterapkannya Nilai-nilai Islam atau Akhlak Islam. Bila dasar penelitiannya Penerapan Ritual, mungkin Indonesia bisa masuk dalam 20 besar, tetapi dalam penerapan akhlak mulia, kita perlu lebih serius.

Lebih detailnya silahkan cek sendiri penelitian tersebut.

Tentu kita percaya dengan hadis tentang fadilah berbagai wirid, atau bacaan Alquran. Tulisan ini sama sekali tidak menganjurkan untuk meninggalkan wirid-wirid yang kita yakini dan kita sukai, itu bagian dari agama, tetapi bukan itu saja agama.

Agama hadir untuk mengubah kita, mengubah perilaku kita, mengubah cara kita hidup, mengubah cara kita mencari makan, mengubah cara kita berkeluarga, mengubah cara berpikir kita, sehingga kita mendapati kebahagiaan dan kemenangan dunia-akhirat.

Rasulullah saw dikirim, dikenal agar kita berpikir dan hidup seperti beliau, itu cara bahagia dan selamat dunia-akhirat.

Ini perlu kita sadari, kita kaji lebih dalam, kita dakwahkan, kita khutbahkan, dan kita diskusikan lebih serius dengan sesama kita.


WAG Diskusi AFAS 25/5/20 22:54

Kemegahan Audiovisual VS Kemegahan Spiritual

Takjil/iftar, kenduri, buka puasa bersama, tarawih, tadarus, salat jemaah. Itulah yang hadir di benak kita tatkala teringat bulan Ramadan.

Mudik/pulang kampung, gulai, opor, kumpul keluarga, sungkem, baju baru, takbiran, kembang api, mercon, petasan, lemang. Itulah yang hadir di benak kita tatkala teringat hari raya Idul Fitri.

Suasana Ramadan, lebih-lebih Idul Fitri memang megah, terdengar (audio) dan tampak (visual); takbir bergemuruh disaingi ledakan mercon, lautan manusia berbaju baru menunaikan salat lalu saling kunjung mengunjungi.

Pertanyaannya: Apakah umat muslim berhasil mencicipi kemegahan spiritual Ramadan dan Idul Fitri, sebagaimana mereka berhasil menampilkan kemegahan audiovisual?

Kedudukan Ramadan dan Idul Fitri secara spiritual tidak perlu diragukan.

Sekedar pengingat: Konon dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa yang salat malam sepanjang Ramadan dosa-dosanya diampuni, dan yang menegakkan salat di malam hari raya karena ridha Allah semata, hatinya tidak akan mati.

Itu, hanyalah sedikit gambaran dari samudera rahmat spiritual dalam Ramadan dan Idul Fitri.

Kembali ke pertanyaan tadi: Berhasil kah kita mencicipinya?

Did we manage to unveil the spiritual splendor?

Covid-19 yang hadir di tengah-tengah kita, sesungguhnya memaksa kita untuk fokus kepada kemegahan spiritual, karena ia sangat membatasi kebebasan audiovisual kita.

Sahur on the road habis.

Buka bersama tinggal rencana.

Lautan manusia saat Idul Fitri pupus.

Bahkan semarak suara tadarus dan tarawih pun sirna.

Kita dipaksa untuk meninggalkan hal-hal yang sangat berpotensi mengurangi pahala kita seperti kuliner makan sahur dan berbuka, jalan-jalan menunggu buka puasa.

Bahkan, kita juga dipaksa untuk meninggalkan ibadah-ibadah audiovisual yang megah dipandang dan didengar seperti tadarus dan tarawih, yang selama ini mungkin kita rajin ikuti, tetapi gagal mencicipi kelezatannya secara spiritual, karena ia telah menjadi sekedar sebatas tradisi rutin tahunan.

Kita tersudutkan untuk mencari kemegahan spiritual, di tengah kesendirian kita, di tengah sayupnya suara azan, di tengah absennya ritual-ritual berjamaah.

Tapi, apakah kita menyadari kesempatan itu?

Lebih penting lagi, apakah kita memanfaatkan kesempatan itu?

Apakah kita mencicipi kemegahan spiritual, atau justru mencipta kemegahan-kemegahan audiovisual lainnya? Bahkan larut di dalamnya?

Secara audiovisual, bagaimana Ramadan dan Lebaran kali ini kita jalani? Penuh selfie dan publikasi, ataukah penuh ibadah dan pelayanan?

Secara spiritual, bagaimana Ramadan dan Lebaran kali ini kita jalani? Penuh kehampaan, ataukah penuh tafakkur? Penuh kebosanan, ataukah penuh keikhlasan dan pengharapan?


Adapun indikator atau pertanda utama dari keberhasilan kita mencicipi kemegahan spiritual Ramadan dan Idul Fitri adalah; seberapa berubah kita?

Apakah kita masih semangat mendirikan salat malam sebagaimana semangat kita bertarawih?

Apakah kita masih semangat berbagi sebagaimana kita semangat membagikan makanan hasil masakan kita sendiri?

Apakah kita menjadi manusia yang lebih mudah diakses, lebih tidak menakutkan, dan lebih memudahkan orang lain?

Apa bekas Ramadan dan Idul Fitri pada kita? Apakah kita semakin murah senyum, atau sekedar ada tambahan koleksi pakaian? Apakah kita semakin menepati janji, atau sekedar menambah berat badan?


Itu semua adalah tanda keberhasilan kita telah mencicipi kemegahan spiritual Ramadan dan Idul Fitri.

Tidak adil, apabila kita mengaku telah mencicipi kemegahan spiritualnya, tetapi tidak ada bekas pada perubahan akhlak kita, tidak ada semangat ibadah yang meningkat, dan seterusnya.

Dan kita amat bersyukur, semua tanda keberhasilan Ramadan dan Idul Fitri, masih bisa kita upayakan.

Bila kita bersegera pada ampunan Tuhan, dengan memperbaiki akhlak dan meningkatkan ibadah kita, maka kita akan merasakan kemegahan spiritual, meski kita telah di luar Ramadan dan Idul Fitri.

Tuhan Maha Luas rahmatNya, bila Dia menghendaki, setiap saat meski di bulan apapun, kita bisa merasakan kemegahan spiritual dari sisiNya.


WAG Diskusi AFAS 24/5/20, 22:46

Meaningful meaninglesness, Meaningless meaningfulness

(Berartinya yang tak berarti dan tak berartinya yang berarti)


Kita selalu mendambakan perubahan nasib, untuk diri kita, keluarga kita, masyarakat kita. Dan kita selalu menghendaki cara yang kita duga tercepat, untuk membuahkan hasil yang berarti. Sebut saja; menukar pemimpin, menukar sistem, menukar pekerjaan kita, menukar tempat tinggal kita, dan lain-lain. Intinya kita sering melakukan upaya besar (major effort) untuk memperbaiki nasib kita.

Namun, kalau kita melihat pengalaman, tak selamanya upaya-upaya besar (major effort) membuahkan hasil yang berarti (meaningful), malah mungkin pergantian-pergantian besar, lebih jarang memberikan hasil berarti.


Dalam pembangunan budaya, ada istilah fast is slow, slow is fast.

Maksudnya: Upaya-upaya represif, menekan, masif, massal, dan cepat, justru lambat membentuk budaya baru, sebaliknya... Upaya-upaya yang terkesan lambat, terkesan tak berarti, justru lebih cepat dan kokoh dalam membangun budaya baru.

Mari kembali melihat pengalaman, terkadang upaya-upaya kecil (minor effort) justru membuahkan hasil yang berarti (meaningful).


Sebuah upaya sederhana untuk mendirikan salat 5 waktu di masjid justru menghadirkan ketenangan yang selama ini kita cari. Sebuah upaya sederhana untuk tepat waktu justru menarik banyak rezeki ke dalam hidup kita. Sebuah tekad sederhana untuk membahagiakan dan membantu orang lain, justru mendatangkan limpahan kebahagiaan ke dalam hidup kita.

Sebuah forum diskusi sederhana yang rutin kita lakukan dengan teman-teman kita, justru memberikan perubahan kepada kehidupan kita dan teman-teman kita.


Di sini kita tersadar, The meaningful of the meaninglessness and the meaningless of the meaningfulness, sesuatu yang kita sangka memberikan dampak besar, ternyata memberikan dampak kecil, sebaliknya, sesuatu yang kita kira amat sepele, justru memberikan dampak perubahan yang berarti.

Slow is fast, fast is slow kalau dalam kaidah corporate culture.

Kalau dalam agama, berkali-kali ditegaskan dalam kitab suci, salah satunya dalam QS. 7: 96 yang terjemahannya lebih kurang; berkah itu diturunkan bagi orang yang beriman dan bertakwa (berislam kaffah).

Dan berkali-kali pula agama menegaskan pentingnya forum diskusi salah satunya di QS. 51: 55 yang kalimatnya lebih kurang; berikanlah peringatan karena itu bermanfaat bagi orang yang beriman.


Ada sebuah teori The Butterfly Effect; kepak sayap kupu-kupu di Sumatera, bisa menyebabkan badai di belahan bumi lain. Intinya, satu sama lain di dunia ini terhubung. Bila di satu belahan bumi menimbulkan aksi, ada reaksi atau respon di belahan bumi lain. Artinya: Sebuah kebajikan kecil yang kita lakukan sendirian di kamar kita dalam gelap gulita malam, akan memberikan dampak pada dunia.

Zikrullah yang kita tegakkan, menunda turunnya azab dan menyegerakan hadirnya rahmat.

Sedekah yang kita kerjakan, mengetuk pintu hati orang-orang sekitar kita untuk hidup lebih dermawan.

Tidak ada perbuatan baik yang sia-sia, itu pun, berkali-kali ditegaskan dalam kitab suci, salah satunya dalam QS. 16: 96-97.


Kesimpulan:

1. Jangan sepelekan perbuatan baik sekecil apapun,

2. Jangan patah semangat dalam berbuat baik,

3. Semua perbuatan baik itu berarti apalagi bila kita kerjakan demi karena Allah Swt

Wallahu a'lam


WAG Diskusi AFAS 25/5/20 17:23